Undang Undang Perjudian Di Indonesia

Undang Undang Perjudian Di Indonesia

a.            bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;

b.            bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang;

c.            bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan;

d.            bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e.            bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan persetujuan bersama

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Presiden Republik Indonesia

Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1.            Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

2.            Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

3.            Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

4.            Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

5.            Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.

6.            Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

7.            Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

8.            Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

9.            Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

10.        Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

11.        Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

12.        Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

13.        Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

14.        Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

15.        Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.

16.        Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

17.        Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

18.        Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

19.        Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

20.        Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

21.        Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.

22.        Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

23.        Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana.

24.        Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan.

25.        Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.

26.        Warga negara adalah Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

27.        Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

28.        Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

29.        Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.

30.        Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.

DASAR, FUNGSI, DAN TUJUAN

Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.

Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.

Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA,

ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH

Hak dan Kewajiban Warga Negara

Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.

Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.

Hak dan Kewajiban Orang Tua

Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.

Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.

Hak dan Kewajiban Masyarakat

Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.

Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.

Hak dan Kewajiban Pemerintah

dan Pemerintah Daerah

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak :

a.             mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;

b.            mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;

c.             mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;

d.            mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;

e.             pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara;

f.              menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.

Setiap peserta didik berkewajiban :

a.             menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan;

b.            ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN

Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.

Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.

Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.

Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.

Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.

Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.

Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.

Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.

Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.

Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.

Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.

Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.

Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan.

Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dinyatakan tidak sah.

Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),  ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.

Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.

Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.

Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.

Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.

Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.

Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.

Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan  hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat   yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),   ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.

Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggara-kan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.

Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah non-departemen.

Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.

Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.

Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pendidikan Jarak Jauh

Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.

Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pendidikan Khusus dan

Pendidikan Layanan Khusus

Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud dalam  ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.

Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.

Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.

Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.

Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.

Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.

Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan :

a.             peningkatan iman dan takwa;

b.            peningkatan akhlak mulia;

c.             peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;

d.            keragaman potensi daerah dan lingkungan;

e.             tuntutan pembangunan daerah dan nasional;

f.              tuntutan dunia kerja;

g.             perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

h.             agama;

i.               dinamika perkembangan global; dan

j.              persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat :

a.             pendidikan agama;

b.            pendidikan kewarganegaraan;

c.             bahasa;

d.            matematika;

e.             ilmu pengetahuan alam;

f.              ilmu pengetahuan sosial;

g.             seni dan budaya;

h.             pendidikan jasmani dan  olahraga;

i.               keterampilan/kejuruan; dan

1.            muatan lokal.

Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat :

a.             pendidikan agama;

b.            pendidikan kewarganegaraan; dan

c.             bahasa.

Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah.

Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah.

Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.

Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.

PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.

Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh :

a.            penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;

b.            penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;

c.            pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;

d.            perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak  atas hasil kekayaan intelektual; dan

e.            kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.

Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban :

a.            menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;

b.            mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan

c.            memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah.

Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.

Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.

Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan.

Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.

Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat.

SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN

Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.

Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Tanggung Jawab Pendanaan

Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Sumber Pendanaan Pendidikan

Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.

Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pengelolaan Dana Pendidikan

Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.

Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pengalokasian Dana Pendidikan

Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dana pendidikan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dana pendidikan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

PENGELOLAAN PENDIDIKAN

Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri.

Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional

Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

Pemerintah Daerah Propinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah Kabupaten/Kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.

Ketentuan mengenai  pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.

Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.

Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.

Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan nonformal sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Badan Hukum Pendidikan

Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.

PERAN SERTA MASYARAKAT

Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.

Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.

Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pendidikan Berbasis Masyarakat

Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah

Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.

Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/ Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.

Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud dalam    ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

EVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI

Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.

Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.

Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.

Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.

Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.

Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.

Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.

Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN

Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.

Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan mengenai pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Satuan pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara lain menggunakan ketentuan Undang-undang ini.

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

OLEH LEMBAGA NEGARA LAIN

Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.

Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia.

Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola Warga Negara Indonesia.

Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pemerintah, Pemerintah Daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/ madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.

Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)  terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

KETENTUAN PERALIHAN

Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang pada saat Undang-undang ini diundangkan belum berbentuk badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan.

Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib memberikan izin paling lambat dua tahun kepada satuan pendidikan formal yang telah berjalan pada saat Undang-undang ini diundangkan belum memiliki izin.

Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem   Pendidikan   Nasional  (Lembaran  Negara  Tahun  1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) yang ada pada saat diundangkannya Undang-undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-undang ini.

Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-undang ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya Undang-undang ini.

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang    :     a.   bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Masa Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta‑Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya;

b.   bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;

c.   bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

d.   bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa‑Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa‑Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia;

e.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk Undang‑undang tentang Hak Asasi Manusia;

Mengingat      :     1.   Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang‑Undang Dasar 1945;

2.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia;

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Menetapkan    :     UNDANG‑UNDANG TENTANG HAK ASASI MANUSIA.

Dalam Undang‑undang ini yang dimaksud dengan :

1.   Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah‑Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;

2.   Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.

3.   Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

4.   Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmasi maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.

5.   Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

6.   Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang‑undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

7.   Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

(1) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati murni untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.

(2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

(3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

(1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.

(2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak.

(3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.

(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

(1) Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima     negara Republik Indonesia.

(2) Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN DASAR MANUSIA

(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.

(2) Setiap orang berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.

(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan

(1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

(2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

Hak Mengembangkan Diri

Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.

Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.

Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia.

(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadinya dan lingkungan sosialnya.

(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.

Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan sosial dan kebijakan, mendirikan organisasi untuk itu, termasuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, serta menghimpun dana untuk maksud tersebut dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

Hak Memperoleh Keadilan

Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang‑undangan.

(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang‑undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana ini dilakukannya.

(3) Setiap ada perubahan dalam perturan perundang‑undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.

(4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

(1) Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah.

(2) Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

Hak Atas Kebebasan Pribadi

(1) Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.

(2) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.

Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi obyek penelitian tanpa persetujuan darinya.

(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing‑masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.

(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan pilitiknya.

(2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak meupun elektronik dengan memperhatikan nilai‑nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

(1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud‑maksud damai.

(2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan            tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

(1) Setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya.

(2) Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak‑hak yang bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

(1) Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.

(2) Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

(1) Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.

(2) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa‑Bangsa.

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.

(2) Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.

Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

(1) Tempat kejadian siapapun tidak boleh diganggu.

(2) Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam hal‑hal yang telah ditetapkan oleh undang‑undang.

Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat‑menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

(1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.

Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, dipaksa, dikecualikan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang‑wenang.

Setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undnag‑undang ini.

Hak atas Kesejahteraan

(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama‑sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.

(2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang‑wenang dan secara melawan hukum.

(3) Hak milik mempunyai fungsi sosial.

(1) Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

(2) Apabila suatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal           itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan kecuali ditentukan lain.

(1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.

(2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat‑syarat ketenagakerjaan yang adil.

(3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat‑syarat perjanjian kerja yang sama.

(4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.

Setiap orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan kententuan peraturan perundang‑undangan.

Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.

(1) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.

(2) Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak‑anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.

Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, miningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Hak Turut Serta dalam Pemerintahan

(1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

(2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang‑undangan.

(3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Setiap orang berhak sendiri maupun bersama‑sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usaha kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan meupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

Hak wanita dalam Undang‑undang ini adalah hak asasi manusia.

Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.

Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.

Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.

(1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang‑undangan.

(2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal‑hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.

(3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.

Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.

(1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak‑anaknya dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.

(2) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak‑anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.

(3) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.

(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

(1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.

(2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.

Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.

(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

(2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik sesuai dengan Undang‑undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

(2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.

(3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.

(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.

(2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan bentuk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.

(1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu demi kepentingan terbaik bagi anak.

(2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang‑undang.

(1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.

(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai‑nilai kesusilaan dan kepatutan.

Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.

Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya.

Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.

(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

(4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.

(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan      harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.

(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.

(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

KEWAJIBAN DASAR MANUSIA

Setiap orang yang ada diwilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang‑undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.

Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, bebangsa, dan bernegara.

(2) Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang‑undang dengan meksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH

Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang‑undang ini, peraturan perundnag‑undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.

PEMBATASAN DAN LARANGAN

Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang‑undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang‑undang, semata‑mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.

Tidak satu ketentuanpun dalam Undang‑undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang‑undang ini.

KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Komnas HAM bertujuan :

a.   mengembangkan kondisi yang konduksif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang‑Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa‑Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan

b.   meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

(1) Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tantang hak asasi manusia.

(2) Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita‑cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.

(3) Komnas HAM berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.

(4) Perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah.

Komnas HAM berasaskan Pancasila.

(1) Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri dari :

a.   sidang paripurna; dan

(2) Komnas HAM mempunyai sebuah Sekretariat Jenderal sebagai unsur palayanan.

(1) Sidang Paripurna adalah pemegang kekuasaan tertinggi Komnas HAM.

(2) Sidang Paripurna terdiri dari seluruh anggota Komnas HAM.

(3) Sidang Paripurna menetapkan Peraturan Tata Tertib, Program Kerja, dan Mekanisme Kerja Komnas HAM.

(1) Pelaksanaan kegiatan Komnas HAM dilakukan oleh Subkomisi.

(2) Ketentuan mengenai Subkomisi diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.

(1) Sekretariat Jenderal memberikan pelayanan administratif bagi pelaksanaan kegiatan Komnas HAM.

(2) Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris Jenderal dengan dibantu oleh unit kerja dalam bantuk biro‑biro.

(3) Sekretaris Jenderal dijabat oleh seorang Pegawai Negeri yang bukan anggota Komnas HAM.

(4) Sekretaris Jenderal diusulkan oleh Sidang Paripurna dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(5) Kedudukan, tugas, tanggung jawab, dan susunan organisasi Sekretariat Jenderal ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Ketentuan mengenai Sidang Paripurna dan Sub Komisi ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.

(1) Anggota Komnas HAM berjumlah 35 (tiga puluh lima) orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.

(2) Komnas HAM dipimpin oleh seorang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua.

(3) Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dipilih oleh dan dari Anggota.

(4) Masa jabatan keanggotaan Komnas HAM selama 5 (lima) tahun dan setelah berakhir dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Yang dapat diangkat menjadi anggota Komnas HAM adalah Warga Negara Indonesia yang :

a.   memiliki pengalaman dalam upaya menunjukan dan melindungi orang atau kelompok yang dialanggar hak asasi manusianya;

b.   berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pengacara, atau pengemban profesi hukum lainnya;

c.   berpengalaman di bidang legeslatif, eksekutif, dan lembaga tinggi negara; atau

d.   merupakan tokoh agama, tokoh masyarakat, anggota lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan perguruan tinggi.

(1) Pemberhentian anggota Komnas HAM dilakukan berdasarkan keputusan Sidang Paripurna dan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(2) Anggota Komnas HAM berhenti antarwaktu sebagai anggota karena:

a.   meninggal dunia;

b.   atas permintaan sendiri;

c.   sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan anggota tidak dapat menjalankan tugas selama 1 (satu) tahun secara terus‑menerus;

d.   dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; atau

e.   melakukan perbuatan tercela dan atau hal‑hal lain yang diputus oleh Sidang Paripurna karena mencemarkan martabat dan reputasi, dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas Komnas HAM.

Ketentuan mengenai tata cara pemilihan, pengangkatan, serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.

(1) Setiap anggota Komnas HAM berkewajiban :

a.   menaati ketentuan peratuan perundang‑undangan yang berlaku dan keputusan Komnas HAM;

b.   berpartisipasi secara aktif dan sungguh sungguh untuk tercapainya tujuan Komnas HAM; dan

c.   menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komnas HAM yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.

(2) Setiap Anggota Komnas HAM berhak:

a.   menyampaikan usulan dan pendapat kepada Sidang Paripurna dan Subkomisi;

b.   memberikan suara dalam pengambilan keputusan Sidang Paripurna dan Subkomisi;

c.   mengajukan dan memilih calon Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dalam Sidang Paripurna; dan

d.   mengajukan bakal calon Anggota Komnas HAM dalam Sidang Paripurna untuk pergantian periodik dan antarwaktu.

Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan hak Anggota Komnas HAM serta tata cara pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.

(1) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan:

a.   pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran‑saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi;

b.   pengkajian dan penelitian berbagai peratuan perundang‑undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundnag‑undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia;

c.   penerbitan hasil pengkajian dan penelitian;

d.   studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia;

e.   pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia; dan

f.    kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, meupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.

(2) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :

a.   penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia;

b.   upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non‑formal serta berbagai kalangan lainnya; dan

c.   kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.

(3) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan:

a.   pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;

b.   penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;

c.   pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun         pihak yang dilakukan untuk dimintai dan didengar keterangannya;

d.   pemanggilan saksi untuk diminta didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;

e.   peninjauan di tempat kejadian dan tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;

f.    pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;

g.   pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat‑tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan

h.   pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.

(4) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :

a.   perdamaian kedua belah pihak;

b.   penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli;

c.   pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;

d.   penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan

e.   penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.

(1) Setiap orang dan atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.

(2) Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan.

(3) Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain, maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak yang hak asasinya dilanggar sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu berdasarkan pertimbangan Komnas HAM.

(4) Pengaduan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi pula pengaduan melalui perwakilan mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh kelompok masyarakat.

(1) Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak dilakukan dihentikan apabila:

a.   tidak memiliki bukti awal yang memadai;

b.   materi pengaduan bukan masalah pelanggaran hak asasi manusia;

c.   pengaduan diajukan dengan itikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu;

d.   terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan; atau

e.   sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

(2) Mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak melakukan atau menghentikan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.

(1) Dalam hal tertentu dan bila dipandang perlu, guna melindungi kepentingan dan hak asasi yang bersangkutan atau terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan identitas pengadu, dan pemberi keterangan atau bukti lainnya serta pihak yang terkait dengan materi aduan atau pemantauan.

(2) Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti lain yang diperoleh Komnas HAM, yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan.

(3) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan pada pertimbangan bahwa penyebarluasan keterangan atau bukti lainnya tersebut dapat:

a.   membahayakan keamanan dan keselamatan negara;

b.   membahayakan keselamatan dan ketertiban umum;

c.   membahayakan keselamatan perorangan;

d.   mencemarkan rahasia negara atau hal‑hal yang wajib dirahasiakan dalam proses pengambilan keputusan Pemerintah;

f.    membocorkan hal‑hal yang wajib dirahasiakan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan suatu perkara pidana.

g.   menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada; atau

h.   membocorkan hal‑hal yang termasuk dalam rahasia dagang.

Pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan secara tertutup, kecuali ditentukan lain oleh Komnas HAM.

(1) Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM.

(2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan, maka bagi mereka berlaku ketentuan Pasal 95.

Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

(1) Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) huruf a dan b, dilakukan oleh Anggota Komnas HAM yang ditunjuk sebagai mediator.

(2) Penyelesaian yang dicapai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa kesepakatan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan dikukuhkan oleh mediator.

(3) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan keputusan mediasi yang mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.

(4) Apabila keputusan mediasi tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan tersebut, maka pihak lainnya dapat dimintakan kepada Pengadilan Negeri setempat agar keputusan tersebut dinyatakan dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

(5) Pengadilan tidak dapat menolak permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).

Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya, serta kondisi hak asasi manusia, dan perkara‑perkara yang ditanganinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.

Anggaran Komnas HAM dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Ketentuan dan tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang serta kegiatan Komnas HAM diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.

PARTISIPASI MASYARAKAT

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lambaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak untuk mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM dan atau lembaga lainnya.

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri‑sendiri maupun bekerja sama dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

(1) Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Pengadilan Umum.

(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang‑undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.

(3) Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus‑kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang.

(1) Segala ketentuan mengenai hak asasi manusia yang diatur dalam peraturan perundang‑undangan lain dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur dengan Undang‑undang ini.

(2) Pada saat berlakunya Undang‑undang ini:

a.   Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut Undang‑undang ini;

b.   Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM masih tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, berdasarkan Undang‑undang ini sampai ditetapkannya keanggotaan Komnas HAM yang baru; dan

c.   semua permasalahan yang sedang ditangani oleh Komnas HAM tetap dinyatakan penyelesaiannya berdasarkan Undang‑undang ini.

(3) Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang‑undang ini susunan organisasi, keanggotaan, tugas dan wewenang serta tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan Undang‑undang ini.

Undang‑undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‑undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

pada tanggal 23 September 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakrta

pada tanggal 23 September 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 165

UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

Kebebasan dasar dan hak‑hak dasar itulah yang disebut hak asasi menusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak‑hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas (bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi.

Kewajiban menghormati hak asasi manusia tersebut, tercermin dalam Pembukaan Undang‑Undang Dasar 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.

Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesegaran dan kesengajaan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horizontal (antarwarga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights).

Pada kenyataannya selama lebih lima puluh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan.

Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka agama beserta keluarganya. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara yang seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa.

Untuk melaksanakan kewajiban yang diatur dalam Undang‑Undang Dasar 1945 tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada Lembaga‑lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat, seta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa‑Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan pancasila dan Undang‑Undang Dasar 1945.

Di samping kedua sumber hukum di atas, pengaturan mengenai hak asasi manusia pada dasarnya sudah tercantum dalam berbagai peraturan perundang‑undangan, termasuk undang‑undang yang menegaskan berbagai konversi internasional mengenai hak asasi manusia. Namun untuk memayungi seluruh peratuan perundang‑undangan yang sudah ada, perlu dibentuk Undang‑undang tentang Hak Asasi Manusia.

Dasar pemikiran pembentukan Undang‑undang ini adalah sebagai berikut:

a.   Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya;

b.   pada dasarnya, manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan, kemauan serta berbagai kemudahan oleh Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya;

c.   untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus);

d.   karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas;

e.   hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun;

f.    setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar;

g.   hak asasi manusia harus benar‑benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu pemerintah,      aparatur negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia.

Dalam Undang‑undang ini, pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa‑Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa‑Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa‑Bangsa tentang Hak‑hak Anak, dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undang‑undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang‑Undang Dasar 1945.

Undang‑undang ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak kehilangan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia.

Di samping itu, Undang‑undang ini mnengatur mengenai Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai lembaga mandiri yang mempunyai fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.

Dalam Undang‑undang ini, diatur pula tentang partisipasi masyarakat berupa pengaduan dan/atau gugatan atas pelanggaran hak asasi manusia, pengajuan usulan mengenai perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM, penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.

Undang‑undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang‑undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

II.   PASAL DEMI PASAL

Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dipaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. oleh karena itu, negara Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan moral untuk melindungi dan memajukan serta mengambil langkah‑langkah konkret demi tegaknya hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia.

Yang dimaksud dengan "dalam keadaan apapun" termasuk keadaan perang, sengketa senjata, dan atau keadaan darurat.

Yang dimaksud dengan "siapapun" adalah Negara, Pemerintah dan atau anggota masyarakat.

Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.

Yang dimaksud dengan "kelompok masyarakat yang rentan" antara lain adalah orang lanjut usia, anak‑anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.

Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang‑undangan.

Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak‑hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas‑asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Yang dimaksud dengan "upaya hukum" adalah jalan yang dapat ditempuh oleh setiap orang atau kelompok orang untuk membela dan memulihkan hak‑haknya yang disediakan oleh hukum Indonesia seperti misalnya, oleh Komnas HAM          atau oleh pengadilan, termasuk upaya untuk naik banding ke Pengadilan Tinggi, mengajukan kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Dalam Pasal ini dimaksudkan bahwa mereka yang ingin menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk menempuh semua upaya hukum tersebut pada tingkat nasional terlebih dahulu (exhaustion of local remedies) sebelum menggunakan forum baik di tingkat regional maupun internasional, kecuali bila tidak mendapatkan tanggapan dari forum hukum nasional.

Yang dimaksud dengan "perlindungan" adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia.

Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam khasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.

Yang dimaksud dengan "perkawinan yang sah" adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

Yang dimaksud dengan "kehendak bebas" adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri.

Yang dimnaksud dengan "seluruh harta kekayaan milik yang bersalah" adalah harta bukan berasal dari pelanggaran atau kejahatan.

Yang dimaksud dengan "menjadi obyek penelitian" adalah kegiatan menempatkan seseorang sebagai yang dimintai komentar, pendapat atau keterangan yang menyangkut kehidupan pribadi dan data‑data pribadinya serta direkam gambar dan suaranya.

Yang dimaksud dengan "hak untuk bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya" adalah hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.

Yang menentukan suatu perbuatan termasuk kejahatan politik atau nonpolitik adalah negara yang menerima pencari suaka.

Yang dimaksud "tidak boleh diganggu" adalah hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam tempat kediamannya.

Yang dimaksud dengan "penghilangan paksa" dalam ayat ini adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seorang tidak diketahui keberadaan dan kedaannya.

Sedangkan yang dimaksud dengan "Penghilangan nyawa" adalah pembunuhan yang dilakukan sewenang‑wenang tidak berdasarkan putusan pengadilan.

Yang dimaksud dengan "hak milik mempunyai fungsi sosial" adalah bahwa setiap penggunaan hak milik harus memperhatikan kepentingan umum.

Apabila kepentingan umum menghendaki atau membutuhkan benar‑benar maka hak milik dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

Yang dimaksud dengan "tidak boleh dihambat" adalah bahwa setiap orang atau pekerja tidak dapat dipaksa untuk menjadi anggota atau untuk tidak menjadi anggota dari suatu serikat pekerja.

Yang dimaksud dengan "berhak atas jaminan sosial" adalah bahwa setiap warga negara mendapat jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan dan kemampuan negara.

Yang dimaksud dengan "kemudahan dan perlakuan khusus" adalah pemberian pelayanan, jasa, atau penyediaan fasilitas dan sarana demi kelancaran, keamanan, kesehatan, dan keselamatan.

Yang dimaksud dengan "keterwakilan wanita" adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan jender.

Yang dimaksud dengan "perlindungan khusus terhadap fungsi reproduksi" adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak.

Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan hukum sendiri" adalah cakap menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum, dan bagi wanita beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan wali.

Yang dimaksud dengan "tanggung jawab yang sama" adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada kedua orang tua dalam hal pendidikan, biaya hidup, kasih sayang, serta pembinaan masa depan yang baik bagi anak.

Yang dimaksud dengan "Kepentingan terbaik bagi anak" adalah sesuai dengan hak anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak).

Yang dimaksud dengan "suatu nama" adalah nama sendiri, dan nama orang tua kandung, dan atau nama keluarga, dan atau nama marga.

Pelaksanaan hak anak yang cacat fisik dan atau mental atas biaya negara diutamakan bagi kalangan yang tidak mampu.

Pasal ini berkaitan dengan perceraian orang tua anak, atau dalam hal kematian salah seorang dari orang tuanya, atau dalam hal kuasa asuh orang tua dicabut, atau bila anak disiksa atau tidak dilindungi atau ketidakmampuan orang tuanya.

Pendidikan dalam ayat ini mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti.

Berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya mencakup kegiatan produksi, peredaran, dan perdagangan sampai dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.

Pembatasan yang dimaksud dalam Pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non‑derogable rights) dengan memperhatikan Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9.

Yang dimaksud dengan "kepentingan bangsa" adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.

Ketentuan Pasal ini menegaskan bahwa siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan atau mendatangkan kerugian pihak lain dalam mengartikan ketentuan dalam Undang‑undang ini, sehingga mengakibatkan berkurangnya dan atau hapusnya hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang‑undang ini.

Yang dimaksud dengan "diresmikan oleh Presiden" adalah dalam bentuk Keputusan Presiden. Peresmian oleh Presiden dikaitkan dengan kemandirian Komnas HAM.

Usulan Komnas HAM yang dimaksud, harus menampung seluruh aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan syarat‑syarat yang ditetapkan, yang jumlahnya paling banyak 70 (tujuh puluh) orang.

Keputusan tentang pemberhentian dilakukan dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan dan diberikan hak untuk membela diri dalam Sidang Paripurna yang diadakan khusus untuk itu.

Yang dimaksud dengan "penyelidikan dan pemeriksaan" dalam rangka pemantauan adalah kegiatan pencarian data, informasi, dan fakta untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia.

Yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik" antara lain mengenai pertanahan, ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup.

Yang dimaksud dengan "mediasi" adalah penyelesaian perkara perdata di luar pengadilan, atas dasar kesepakatan para pihak.

Yang dimaksud dengan "pengaduan melalui perwakilan" adalah pengaduan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok untuk bertindak mewakili masyarakat tertentu yang dilanggar hak asasinya dan atau dasar kesamaan kepentingan hukumnya.

Yang dimaksud dengan "itikad buruk" adalah perbuatan yang mengandung maksud dan tujaun yang tidak baik, misalnya pengaduan yang disertai data palsu atau keterangan tidak benar, dan atau ditujukan semata‑mata untuk mengakibatkan pencemaran nama baik perorangan, keresahan kelompok, dan atau masyarakat.

Yang dimaksud dengan "tidak ada kesungguhan" adalah bahwa pengadu benar‑benar tidak bermaksud menyelesaikan sengketanya, misalnya pengadu telah 3 (tiga) kali dipanggil tidak datang tanpa alasan yang sah.

Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang‑undangan" dalam Pasal ini adalah ketentuan Pasal 140 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 141 ayat (1) Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) atau Pasal 167 ayat (1) Reglemen Luar Jawa dan madura.

Lembar keputusan asli atau salinan otentik keputusan mediasi diserahkan dan didaftarkan oleh mediator kepada Panitera Pengadilan Negeri.

Permintaan terhadap keputusan yang dapat dilaksanakan (fiat eksekusi) kepada Pengadilan Negeri dilakukan melalui Komnas HAM. Apabila pihak yang bersangkutan tetap tidak melaksanakan  keputusan yang telah dinyatakan dapat dilaksanakan oleh pengadilan, maka pengadilan wajib melaksanakan keputusan tersebut.

Terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh keputusan ini, maka pihak ketiga tersebut masih dimungkinkan mengajukan gugatan melalui pengadilan.

Yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi manusia yang berat" adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang‑wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitry/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).

Yang dimaksud dengan "pengadilan yang berwenang" meliputi empat lingkungan peradilan sesuai dengan Undang‑undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang‑undang Nomor 35 Tahun 1999.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3886

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang   :  a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang‑Undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual;

b. bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan sektor ekonomi pada khususnya, teknologi mewakili peranan yang sangat penting artinya dalam usaha peningkatan dan pengembangan industri;

c. bahwa dengan memperhatikan pentingnya peranan teknologi dalam peningkatan dan pengembangan industri tersebut, diperlukan upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi kegiatan penemuan teknologi dan perangkat untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hasil kegiatan tersebut;

d. bahwa untuk mewujudkan iklim dan perangkat perlindungan hukum sebagaimana tersebut di atas, dipandang perlu untuk segera menetapkan pengaturan mengenai paten dalam suatu Undang‑undang;

Mengingat     :  1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) Undang‑Undang Dasar 1945;

2. asal 16 Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Menetapkan : UNDANG‑UNDANG TENTANG PATEN.

Dalam Undang‑undang ini yang dimaksud dengan:

1. Paten adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada orang lain untuk melaksanakannya.

2. Penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi, yang dapat berupa proses atau hasil produksi atau penyempurnaan dan pengembangan proses atau hasil produksi.

3. Penemu adalah seorang atau beberapa orang secara bersama‑sama atau badan hukum, yang melaksanakan kegiatan yang menghasilkan penemuan.

4. Pemegang Paten adalah penemu sebagai pemilik paten atau orang yang menerima hak tersebut dari pemilik paten atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut di atas, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten.

5. Pemeriksa Paten adalah pejabat yang karena keahliannya diangkat oleh Menteri dan ditugasi untuk melakukan pemeriksaan terhadap permintaan paten.

6. Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pembinaan paten.

7. Kantor Paten adalah unit organisasi di lingkungan departemen pemerintahan yang melaksanakan tugas dan kewenangan di bidang paten.

Penemuan Yang Dapat Diberikan Paten

(1)    Paten diberikan untuk penemuan yang baru, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri.

(2)    Suatu penemuan mengandung langkah inventif, jika penemuan tersebut bagi seorang yang mempunyai keahlian biasa mengenai teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.

(3)    Penilaian bahwa suatu penemuan merupakan hal yang tidak dapat diduga harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat diajukan permintaan paten atau yang telah ada pada saat diajukan permintaan pertama dalam hal permintaan itu diajukan dengan hak prioritas.

Suatu penemuan tidak dianggap baru, jika pada saat pengajuan permintaan paten :

a. penemuan tersebut telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan penemuan tersebut; atau

b. penemuan tersebut telah diumumkan di Indonesia dengan penguraian lisan atau melalui peragaan penggunaannya atau dengan cara lain sedemikian rupa sehingga memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan penemuan tersebut.

Suatu penemuan tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu paling lama enam bulan sebelum permintaan paten diajukan:

a. penemuan itu telah dipertunjukkan dalam suatu pameran internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi atau dalam suatu pameran nasional di Indonesia yang resmi atau diakui sebagai resmi;

b. penemuan itu telah digunakan di Indonesia oleh penemunya dalam rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan.

Suatu penemuan dapat diterapkan dalam industri jika penemuan tersebut dapat diproduksi atau dapat digunakan dalam berbagai jenis industri.

Setiap penemuan berupa benda, alat atau hasil produksi yang baru yang tidak memiliki kualitas sebagai penemuan tetapi mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan karena bentuk, konfigurasi, konstruksi atau komposisinya dapat memperoleh perlindungan hukum dalam bentuk Paten Sederhana atas penemuan yang sederhana tersebut.

Penemuan Yang Tidak Dapat Diberikan Paten

Paten tidak diberikan untuk :

a. penemuan tentang proses atau hasil produksi yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku, ketertiban umum atau kesusilaan;

b. penemuan tentang proses atau hasil produksi makanan dan minuman, termasuk hasil produksi berupa bahan yang dibuat melalui proses kimia dengan tujuan untuk membuat makanan dan minuman guna dikonsumsi manusia dan atau hewan;

c. penemuan tentang jenis atau varitas baru tanaman atau hewan, atau tentang proses apapun yang dapat digunakan bagi pembiakan tanaman atau hewan beserta hasilnya;

d. penemuan tentang metoda pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan hewan, tetapi tidak menjangkau produk apapun yang digunakan atau berkaitan dengan metoda tersebut;

e. penemuan tentang teori dan metoda di bidang ilmu pengetahuan dan matematika.

(1)    Dengan Keputusan Presiden dapat ditetapkan bahwa penemuan tertentu baik yang berupa proses maupun hasil produksi ditunda pemberian patennya dalam jangka waktu paling lama lima tahun, dengan ketentuan bahwa penetapan tersebut tidak berlaku terhadap :

a. penemuan yang pada saat itu telah memperoleh atau diberi paten;

b. penemuan yang pada saat dikeluarkannya Keputusan Presiden dapat dimintakan paten berdasarkan hak prioritas.

(2)    Setelah berakhirnya jangka waktu penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), permintaan paten langsung diumumkan dan pemeriksaan substantif dilakukan setelah berakhirnya jangka waktu pengumuman sebagaimana diatur dalam Undang‑undang ini.

(1)    Paten diberikan untuk jangka waktu selama empat belas tahun terhitung sejak tanggal penerimaan permintaan paten.

(2)    Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu paten dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

Paten Sederhana diberikan untuk jangka waktu selama lima tahun terhitung sejak tanggal diberikannya Surat Paten Sederhana.

(1)    Yang berhak memperoleh paten adalah penemu atau yang menerima lebih lanjut hak penemu itu.

(2)    Jika suatu penemuan dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama‑sama maka yang menerima lebih lanjut hak mereka, secara bersama‑sama berhak atas penemuan tersebut.

(1)    Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai penemu adalah mereka yang untuk pertama kali mengajukan permintaan paten.

(2)    Mereka yang mengajukan permintaan paten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diberikan paten, jika isi permintaannya memuat salinan yang diambil dari uraian dan atau gambar mengenai penemuan orang lain yang sedang dimintakan atau telah memperoleh paten.

(1)    Kecuali diperjanjikan lain dalam suatu perjanjian kerja maka yang berhak memperoleh paten atas suatu penemuan yang dihasilkan adalah orang 9 yang memberi pekerjaan itu.

(2)    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga berlaku terhadap penemuan yang dihasilkan baik oleh karyawan maupun pekerja yang menggunakan data dan sarana yang tersedia dalam pekerjaannya, sekalipun perjanjian kerja itu tidak mengharuskannya untuk menghasilkan penemuan.

(3)    Penemu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berhak untuk mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang dapat diperoleh dari penemuan tersebut.

(4)    Imbalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dibayarkan:

a. dalam  jumlah tertentu dan sekaligus; atau

c. gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus; atau

d. gabungan antara prosentase dengan hadiah atau bonus; yang besarnya ditetapkan sendiri oleh pihak‑pihak yang bersangkutan.

(5)    Dalam hal tidak terdapat kesesuaian mengenai cara perhitungan dan penetapan besarnya imbalan, keputusan untuk itu dimintakan kepada Pengadilan Negeri setempat.

(6)    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) sama sekali tidak menghapuskan hak penemu untuk tetap dicantumkan namanya dalam surat pemberian paten.

(1)    Seseorang yang melaksanakan suatu penemuan pada saat atas penemuan serupa dimintakan paten, tetap berhak melaksanakan penemuan tersebut sebagai penemu terdahulu, sekalipun terhadap penemuan yang serupa tersebut kemudian diberi paten.

(2)    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga berlaku terhadap permintaan paten yang diajukan dengan hak prioritas.

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak berlaku bilamana orang yang melaksanakan penemuan tersebut melakukannya dengan menggunakan pengetahuan tentang penemuan tersebut dari uraian, gambar, contoh atau keterangan lainnya dari penemuan yang dimintakan paten.

(1)    Seseorang yang melaksanakan suatu penemuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dapat diakui sebagai penemu terdahulu apabila setelah diberikannya paten terhadap penemuan yang serupa ia mengajukan permintaan untuk itu kepada Kantor Paten.

(2)    Permintaan pengakuan sebagai penemu terdahulu wajib disertai bukti bahwa pelaksanaan penemuan tersebut tidak dilakukan dengan menggunakan uraian, gambar, contoh atau keterangan lainnya dari penemuan yang dimintakan paten.

(3)    Pengakuan sebagai penemu terdahulu diberikan oleh Kantor Paten dalam bentuk Surat Keterangan Penemu Terdahulu dengan membayar biaya untuk itu.

(4)    Surat Keterangan Penemu Terdahulu berakhir pada saat yang bersamaan dengan saat berakhirnya paten atas penemuan yang serupa tersebut.

Hak dan Kewajiban Pemegang Paten

Pemegang Paten memiliki hak khusus untuk melaksanakan secara perusahaan atas patennya baik secara sendiri maupun dengan memberikan persetujuan kepada orang lain, yaitu:

a. membuat, menjual, menyewakan, menyerahkan, memakai, menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan hasil produksi yang diberi paten;

b. menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Pemegang Paten wajib melaksanakan patennya di wilayah Negara Republik Indonesia.

Untuk pengelolaan kelangsungan berlakunya paten dan pencatatan lisensi, Pemegang Paten atau Pemegang Lisensi suatu paten wajib membayar biaya pemeliharaan yang disebut biaya tahunan.

Pengecualian Terhadap Pelaksanaan

dan Pelanggaran Paten

Impor atas hasil produksi yang diberi paten atau dibuat dengan proses yang diberi paten tidak merupakan pelaksanaan paten.

Impor atas hasil produksi yang diberi paten atau dibuat dengan proses yang diberi paten atau padanannya, yang dilakukan oleh orang selain Pemegang Paten tidak merupakan pelanggaran atas paten yang bersangkutan, kecuali dalam hal‑hal tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pemakaian penemuan baik yang berupa proses maupun hasil produksi, penjualan, penyewaan atau penyerahan hasil pemakaian penemuan yang telah berlangsung pada saat atau sebelum diberikannya paten untuk penemuan yang bersangkutan, tidak merupakan pelanggaran terhadap paten tersebut.

Paten diberikan atas dasar permintaan.

Setiap permintaan paten hanya dapat diajukan untuk satu penemuan.

Permintaan paten diajukan dengan membayar biaya kepada Kantor Paten yang besarnya ditetapkan Menteri.

(1)    Apabila permintaan paten diajukan oleh orang yang bukan penemu, permintaan tersebut harus disertai pernyataan yang dilengkapi bukti yang cukup bahwa ia berhak atas penemuan yang bersangkutan.

(2)    Kantor Paten wajib mengirimkan salinan pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada penemu.

(3)    Penemu dapat meneliti surat permintaan paten yang diajukan oleh orang yang bukan penemu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan atas biayanya sendiri dapat meminta salinan dokumen permintaan tersebut.

(1)    Permintaan paten dapat diajukan melalui Konsultan Paten di Indonesia selaku kuasa, kecuali dalam hal tertentu yang diatur lain dalam Undang‑undang ini.

(2)    Konsultan Paten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah konsultan yang telah terdaftar dalam Daftar Konsultan Paten di Kantor Paten.

(3)    Terhitung sejak tanggal penerimaan kuasa, Konsultan Paten berkewajiban menjaga kerahasiaan penemuan dan seluruh dokumen permintaan paten, sampai dengan tanggal diumumkannya permintaan paten yang bersangkutan.

(4)    Ketentuan mengenai syarat‑syarat untuk dapat didaftar sebagai Konsultan Paten, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(1)    Permintaan paten yang diajukan oleh penemu atau yang berhak atas penemuan yang tidak bertempat tinggal atau berkedudukan tetap di wilayah Negara Republik Indonesia harus diajukan melalui Konsultan Paten di Indonesia selaku kuasa.

(2)    Penemu atau yang berhak atas penemuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus menyatakan dan memilih tempat tinggal atau kedudukan hukum di Indonesia untuk kepentingan permintaan paten tersebut.

(1)    Permintaan paten yang diajukan dengan menggunakan hak prioritas sebagaimana diatur dalam konvensi internasional mengenai perlindungan paten yang diikuti oleh Negara Republik Indonesia, harus diajukan dalam waktu dua belas bulan terhitung sejak tanggal permintaan paten yang pertama kali diterima di negara manapun yang juga ikut serta dalam konvensi tersebut.

(2)    Dengan tetap memperhatikan ketentuan Undang‑undang ini mengenai syarat‑syarat yang harus dipenuhi dalam surat permintaan paten, permintaan paten dengan hak prioritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilengkapi dengan salinan surat permintaan paten yang pertama kali yang disahkan oleh pihak yang berwenang di negara yang bersangkutan dalam waktu enam bulan terhitung sejak tanggal surat permintaan tersebut, dengan ketentuan bahwa seluruhnya tidak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3)    Apabila syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dipenuhi, permintaan paten tidak dapat diajukan dengan menggunakan hak prioritas.

(1)    Permintaan paten diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kantor Paten.

(2)    Surat permintaan paten harus memuat:

a. tanggal, bulan dan tahun surat permintaan;

b. alamat lengkap dan jelas orang yang mengajukan permintaan termaksud huruf a;

c. nama lengkap dan kewarganegaraan penemu;

d. dalam hal permintaan diajukan orang lain selaku kuasa dilengkapi pula nama lengkap dan alamat lengkap kuasa yang bersangkutan;

e. surat kuasa khusus, dalam hal permintaan diajukan oleh kuasa;

f. permintaan untuk diberi paten;

h. klaim yang terkandung dalam penemuan;

i.  deskripsi tertulis tentang penemuan, yang secara lengkap memuat keterangan tentang cara melaksanakan penemuan;

j. gambar yang disebut dalam deskripsi yang diperlukan untuk memperjelas;

k. abstraksi mengenai penemuan.

(3)    Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan pengajuan permintaan paten diatur oleh Menteri.

Permintaan Paten Dengan Hak Prioritas

(1)    Selain salinan surat permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2), Kantor Paten dapat meminta agar permintaan paten yang diajukan dengan menggunakan hak prioritas tersebut dilengkapi pula dengan :

a. salinan yang sah surat‑surat yang bertahan dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap permintaan paten yang pertama kali di luar negeri;

b. salinan yang sah dokumen paten yang telah diberikan sehubungan dengan permintaan yang pertama kali di luar negeri;

c. salinan yang sah keputusan mengenai penolakan atas permintaan paten yang pertama kali di luar negeri bilamana permintaan tersebut ditolak;

d. salinan yang sah keputusan pembatalan paten yang bersangkutan yang pernah dikeluarkan di luar negeri, bilamana paten tersebut pernah dibatalkan;

e. lain‑lain dokumen yang diperlukan untuk mempermudah penilaian bahwa penemuan yang dimintakan paten memang merupakan penemuan yang baru dan benar‑benar mengandung langkah yang inventif.

(2)    Penyampaian salinan dokumen‑dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai tambahan penjelasan secara terpisah oleh orang yang mengajukan permintaan paten.

Ketentuan lebih lanjut mengenai permintaan paten yang diajukan dengan hak prioritas diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Waktu Penerimaan Permintaan Paten

(1)    Permintaan paten dianggap diajukan pada tanggal penerimaan surat permintaan paten oleh Kantor paten, setelah diselesaikannya pembayaran biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.

(2)    Tanggal penerimaan permintaan paten adalah tanggal pada saat Kantor Paten menerima surat permintaan paten yang telah memenuhi syarat‑syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan dalam hal permintaan paten berdasarkan hak prioritas telah pula memenuhi syarat‑syarat yang ditentukan dalam Pasal 29 dan Pasal 31.

(3)    Tanggal penerimaan surat permintaan paten dicatat secara khusus oleh Kantor Paten.

(1)    Apabila ternyata terdapat kekurangan pemenuhan syarat‑syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Kantor Paten meminta agar kekurangan tersebut dipenuhi dalam waktu tiga bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat permintaan pemenuhan kekurangan tersebut oleh Kantor Paten.

(2)    Berdasarkan alasan yang disetujui Kantor Paten, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama tiga bulan atas permintaan orang yang mengajukan permintaan paten.

Dalam hal terdapat kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, tanggal penerimaan permintaan paten adalah tanggal diterimanya pemenuhan terakhir kekurangan tersebut oleh Kantor Paten.

Apabila kekurangan tidak dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Kantor Paten memberitahukan secara tertulis kepada orang yang mengajukan permintaan paten bahwa permintaan paten dianggap ditarik kembali.

Apabila selama pemeriksaan awal ditemukan adanya dua atau lebih permintaan paten untuk penemuan yang sama dan salah satu diantaranya diajukan dengan hak prioritas oleh orang yang sama pula, Kantor Paten berhak menolak permintaan tersebut atas dasar alasan bahwa untuk satu penemuan hanya dapat diajukan satu permintaan paten.

(1)    Apabila untuk satu penemuan yang sama ternyata diajukan lebih dari satu permintaan paten oleh orang yang berbeda, hanya permintaan yang diajukan pertama atau terlebih dahulu yang dapat diterima.

(2)    Apabila permintaan paten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan pada tanggal yang sama, maka Kantor Paten minta dengan surat kepada orang‑orang yang mengajukan permintaan tersebut untuk berunding guna memutuskan permintaan mana yang diajukan dan menyampaikan hasil keputusan itu kepada Kantor Paten selambat‑lambatnya enam bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat tersebut.

(3)    Apabila tidak tercapai persetujuan atau keputusan diantara orang‑orang yang mengajukan permintaan paten atau tidak dimungkinkan dilakukannya perundingan atau hasil perundingan tidak disampaikan kepada Kantor Paten dalam waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka permintaan paten tersebut ditolak dan Kantor Paten memberitahukan hal tersebut secara tertulis kepada orang‑orang yang mengajukan permintaan paten tersebut.

Perubahan Permintaan Paten

(1)    Permintaan paten dapat diubah dengan ketentuan bahwa perubahan tersebut tidak memperluas lingkup perlindungan yang telah diajukan dalam permintaan semula.

(2)    Perubahan permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap diajukan pada tanggal yang sama dengan permintaan semula.

(1)    Perubahan permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dapat diajukan secara terpisah dalam satu permintaan atau lebih, tetapi dengan ketentuan bahwa lingkup perlindungan yang dimintakan dalam setiap permintaan tersebut tidak melebihi lingkup perlindungan yang diajukan dalam permintaan semula.

(2)    Dalam hal perubahan tersebut berupa pemecahan permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), permintaan tersebut dianggap diajukan pada tanggal yang sama dengan tanggal pengajuan permintaan semula.

Penarikan Kembali Permintaan Paten

(1)    Surat permintaan paten dapat ditarik kembali dengan mengajukan secara tertulis kepada Kantor Paten.

(2)    Ketentuan lebih lanjut mengenai penarikan kembali surat permintaan paten diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Perpanjangan Jangka Waktu Paten

Atas permintaan Pemegang Paten, jangka waktu paten dapat diperpanjang satu kali untuk selama dua tahun.

(1)    Permintaan perpanjangan jangka waktu paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

a. permintaan harus diajukan secara tertulis dalam waktu tidak lebih dari dua belas bulan dan sekurang‑kurangnya enam bulan sebelum jangka waktu paten berakhir;

b. Pemegang Paten harus menyampaikan bukti yang meyakinkan Kantor Paten, bahwa :

1. Penghasilan yang diperoleh dari pelaksanaan paten belum dapat menutup seluruh biaya kegiatan penelitian dan pengembangan yang menghasilkan penemuan yang diberi paten tersebut;

2. paten tersebut telah secara terus menerus dilaksanakan secukupnya di Indonesia dan akan terus dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan di Indonesia ataupun untuk keperluan ekspor.

(2)    Keputusan tentang persetujuan atau penolakan atas permintaan perpanjangan jangka waktu paten tersebut disampaikan secara tertulis kepada Pemegang Paten.

(3)    Dalam hal permintaan tersebut ditolak, maka alasan penolakan dijelaskan dalam surat pemberitahuan.

Keputusan tentang persetujuan atau penolakan permintaan perpanjangan jangka waktu paten dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

Larangan Mengajukan Permintaan Paten

dan Kewajiban Menjaga Kerahasiaan

Selama masih terikat dinas aktif hingga selama satu tahun sesudah pensiun atau berhenti karena sebab apapun dari Kantor Paten, pegawai Kantor Paten atau orang yang karena penugasannya bekerja untuk dan atas nama Kantor Paten, dilarang mengajukan permintaan paten, memperoleh paten atau dengan cara apapun memperoleh hak atau memegang hak yang berkaitan dengan paten kecuali bila pemilikan paten itu diperoleh karena warisan.

Terhitung sejak tanggal penerimaan surat permintaan paten, seluruh aparat Kantor Paten berkewajiban menjaga kerahasiaan penemuan dan seluruh dokumen permintaan paten, sampai dengan tanggal diumumkannya permintaan paten yang bersangkutan.

Pengumuman Permintaan Paten

(1)    Kantor Paten mengumumkan permintaan paten yang telah memenuhi ketentuan Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 serta permintaan tidak ditarik kembali.

(2)    Pengumuman dilakukan selambat‑lambatnya:

a. enam bulan setelah tanggal penerimaan permintaan paten;

b. dua belas bulan setelah tanggal penerimaan permintaan paten yang pertama kali, dalam hal permintaan paten dengan hak prioritas.

(1)    Pengumuman berlangsung selama enam bulan dan dilakukan dengan:

a. menempatkan pada papan pengumuman yang khusus disediakan untuk itu dan dapat dengan mudah serta jelas dilihat oleh masyarakat, dan

b. menempatkannya dalam Berita Resmi Paten yang diterbitkan secara berkala oleh Kantor Paten.

(2)    Tanggal mulai diumumkannya permintaan paten dicatat oleh Kantor Paten dalam daftar pengumuman.

Pengumuman dilakukan dengan mencantumkan:

a. nama dan alamat lengkap penemu atau yang berhak atas penemuan dan kuasa apabila permintaan diajukan melalui kuasa;

b. jumlah permintaan paten;

d. tanggal pengajuan permintaan paten atau dalam hal permintaan paten dengan hak prioritas : tanggal, nomor dan negara dimana permintaan paten yang pertama kali diajukan;

Kantor Paten menyediakan tempat yang khusus untuk memberikan kesempatan kepada anggota masyarakat yang berkepentingan untuk melihat dokumen permintaan paten yang diumumkan.

(1)    Selama jangka waktu pengumuman, setiap orang setelah melihat pengumuman permintaan paten dapat mengajukan secara tertulis pandangan atau keberatannya atas permintaan yang bersangkutan dengan mencantumkan alasannya.

(2)    Dalam hal terdapat pandangan atau keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kantor Paten segera mengirimkan salinan surat yang berisikan pandangan atau keberatan tersebut kepada orang yang mengajukan permintaan paten.

(3)    Orang yang mengajukan permintaan paten berhak mengajukan secara tertulis sanggahan dan penjelasan terhadap pandangan atau keberatan tersebut kepada Kantor Paten.

(4)    Kantor Paten menggunakan pandangan atau keberatan, sanggahan dan penjelasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) sebagai tambahan bahan pertimbangan dalam tahap pemeriksaan atas permintaan paten yang bersangkutan.

(1)    Dengan persetujuan Menteri, Kantor Paten dapat menetapkan untuk tidak mengumumkan sesuatu permintaan paten, apabila menurut pertimbangannya penemuan tersebut dan pengumumannya diperkirakan akan dapat mengganggu atau bertentangan dengan kepentingan pertahanan keamanan Negara.

(2)    Ketetapan untuk tidak mengumumkan permintaan paten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Kantor Paten kepada orang yang mengajukan permintaan paten, dengan tembusan kepada penemu atau yang berhak atas penemuan apabila permintaan paten diajukan oleh kuasanya.

(3)    Terhadap permintaan paten yang tidak diumumkan, tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49.

(4)    Konsultasi yang dilakukan Kantor Paten dengan instansi Pemerintah lainnya, termasuk penyampaian informasi mengenai penemuan yang dimintakan paten, yang kemudian berakhir dengan ketetapan tidak diumumkannya permintaan paten, tidak dianggap sebagai pelanggaran kewajiban untuk menjaga kerahasiaan penemuan dan dokumen permintaan paten yang bersangkutan.

(5)    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mengurangi kewajiban instansi Pemerintah yang bersangkutan beserta aparatnya untuk tetap menjaga kerahasiaan penemuan dan dokumen permintaan paten yang dikonsultasikan kepadanya terhadap pihak ketiga manapun.

(1)    Terhadap permintaan paten yang tidak diumumkan, dilakukan pemeriksaan mengenai dapat diberi atau tidak dapat diberikannya paten, apabila :

a. telah lewat waktu enam bulan terhitung mulai tanggal penetapan Kantor Paten mengenai tidak diumumkannya permintaan paten yang bersangkutan;

b. permintaan paten tersebut tidak ditarik kembali.

(2)    Pemeriksaan terhadap permintaan paten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah tanpa membebani biaya pemeriksaan kepada orang yang mengajukan permintaan paten.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pengumuman diatur oleh Menteri.

(1)    Permintaan pemeriksaan atas permintaan paten harus diajukan kepada Kantor Paten secara tertulis dan dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan oleh Menteri.

(2)    Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemeriksaan yang bersifat substantif.

(3)    Bentuk dan syarat‑syarat permintaan pemeriksaan diatur lebih lanjut oleh Menteri.

(1)    Permintaan untuk dilakukannya pemeriksaan substantif harus diajukan paling lambat dalam waktu tiga puluh enam bulan sejak tanggal penerimaan permintaan paten, tetapi tidak lebih awal dari tanggal berakhirnya pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.

(2)    Apabila permintaan pemeriksaan tidak dilakukan setelah batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lewat, atau biaya untuk itu tidak dibayar, permintaan paten dianggap telah ditarik kembali.

(3)    Kantor Paten memberitahukan secara tertulis anggapan mengenai ditariknya kembali permintaan paten tersebut kepada orang yang mengajukan permintaan paten, dengan tembusan kepada penemu atau yang berhak atas penemuan apabila permintaan paten diajukan oleh kuasanya.

Dengan tidak mengurangi seluruh ketentuan terdahulu mengenai pemeriksaan, terhadap permintaan paten yang tidak diumumkan tidak berlaku ketentuan Pasal 51.

(1)    Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Kantor Paten dapat meminta bantuan ahli dan atau menggunakan fasilitas yang diperlukan kepada instansi Pemerintah lainnya.

(2)    Penggunaan bantuan ahli dan atau fasilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap dilakukan dengan memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasiaan penemuan yang dimintakan paten.

(1)    Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa Paten pada Kantor Paten atau instansi Pemerintah lainnya yang memiliki kualifikasi sebagai Pemeriksa Paten.

(2)    Pemeriksa Paten berkedudukan sebagai pejabat fungsional dan diangkat oleh Menteri berdasarkan syarat‑syarat tertentu.

(3)    Kepada Pemeriksa Paten diberikan jenjang dan tunjangan fungsional disamping hak lainnya sesuai dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

(1)    Dalam hal Pemeriksa Paten melaporkan bahwa penemuan yang dimintakan paten ternyata mengandung ketidak‑jelasan atau kekurangan lain yang dinilai penting, Kantor Paten memberitahukan secara tertulis hasil pemeriksaan tersebut kepada orang yang mengajukan permintaan paten.

(2)    Pemberitahuan hasil pemeriksaan harus secara jelas dan rinci mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau kekurangan lain yang dinilai penting dengan disertai alasan dan acuan atau referensi yang digunakan dalam pemeriksaan serta pendapat dan saran kepada orang yang mengajukan permintaan paten termasuk kemungkinan perubahan atau perbaikan yang perlu dilakukannya, berikut jangka waktu pemenuhannya.

(3)    Apabila setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) orang yang mengajukan permintaan paten tidak memberikan penjelasan atau memenuhi kekurangan termasuk melakukan perbaikan atau perubahan terhadap permintaan yang telah diajukannya dalam waktu yang ditentukan, Kantor Paten menolak permintaan paten tersebut.

Pemberian atau Penolakan Permintaan Paten

Kantor Paten berkewajiban memberikan keputusan untuk menyetujui permintaan paten dan dengan demikian memberi paten, atau menolaknya, dalam waktu selambat‑lambatnya dua puluh empat bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan pemeriksaan substantif.

(1)    Apabila hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemeriksa Paten menunjukkan bahwa penemuan yang dimintakan paten tidak memenuhi ketentuan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 5, Kantor Paten menolak permintaan paten tersebut dan memberitahukannya secara tertulis kepada orang yang mengajukan permintaan paten.

(2)    Dalam hal permintaan paten diajukan oleh kuasa, maka salinan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan pula kepada penemu atau yang berhak atas penemuan tersebut.

(3)    Surat pemberitahuan yang berisikan penolakan permintaan paten harus dengan jelas mencantumkan pula alasan dan pertimbangan yang menjadi dasar penolakan.

Di samping ketentuan Pasal 62, permintaan paten juga ditolak apabila penemuan tersebut dan pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang‑undangan, ketertiban umum serta kesusilaan.

(1)    Apabila laporan tentang hasil pemeriksaan atas penemuan yang dimintakan paten yang dilakukan Pemeriksa Paten menyimpulkan bahwa penemuan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 dan ketentuan lain dalam Undang‑undang ini, Kantor Paten memberikan secara resmi Surat Paten untuk penemuan yang bersangkutan kepada orang yang mengajukan permintaan paten atau dalam hal permintaan paten diajukan oleh kuasa maka salinan Surat Paten tersebut diberikan pula kepada penemu atau yang berhak atas penemuan tersebut.

(2)    Paten yang telah diberikan dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

(3)    Kantor Paten dapat memberikan salinan dokumen paten kepada anggota masyarakat yang memerlukan dengan membayar biaya salinan dokumen yang besarnya ditetapkan oleh Menteri.

(1)    Surat Paten merupakan bukti pemberian paten oleh Kantor Paten dan dicatat dalam Buku Daftar Umum Paten.

(2)    Surat yang berisikan penolakan permintaan paten, dicatat dalam Buku Resmi Paten yang mencatat permintaan paten yang bersangkutan.

(3)    Pemberian Surat Paten dan penolakan permintaan paten diumumkan oleh Kantor Paten dengan cara yang sama seperti halnya pengumuman permintaan paten.

Paten mulai berlaku pada tanggal diberikan dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan permintaan paten.

(1)    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Surat Paten, berikut bentuk dan isinya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2)    Ketentuan lain mengenai pencatatan dan permintaan salinan dokumen paten diatur oleh Menteri.

(1)    Permintaan banding dapat diajukan terhadap penolakan permintaan paten yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal‑hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1).

(2)    Permintaan banding diajukan secara tertulis oleh orang yang mengajukan permintaan paten atau kuasanya kepada Komisi Banding Paten, dengan tembusan yang disampaikan kepada Kantor Paten.

(3)    Komisi Banding Paten adalah badan khusus yang diketuai secara tetap oleh seorang ketua merangkap anggota dan berada di lingkungan departemen yang dipimpin Menteri.

(4)    Anggota Komisi Banding Paten berjumlah gajil sekurang‑kurangnya tiga orang, terdiri dari beberapa ahli di bidang yang diperlukan dan pemeriksa paten senior yang tidak melakukan pemeriksaan substantif terhadap permintaan paten yang bersangkutan.

(5)    Ketua dan anggota Komisi Banding Paten diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

(1)    Permintaan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan terhadap penolakan permintaan paten berikut alasannya.

(2)    Alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus tidak merupakan alasan atau penjelasan atau bukti yang baru atau merupakan perbaikan atau penyempurnaan permintaan paten yang ditolak.

(1)    Permintaan banding harus diajukan selambat‑lambatnya dalam waktu tiga bulan terhitung sejak tanggal surat pemberitahuan penolakan permintaan paten.

(2)    Apabila jangka waktu permintaan banding tersebut telah lewat tanpa adanya permintaan banding, maka penolakan permintaan paten dianggap diterima oleh orang yang mengajukan permintaan paten.

(3)    Dalam hal penolakan permintaan paten telah dapat dianggap diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Kantor Paten mencatatnya dalam Buku Resmi Paten.

(1)    Keputusan Komisi Banding Paten atas permintaan banding diberikan selambat‑lambatnya dua belas bulan sejak tanggal penerimaan permintaan banding.

(2)    Keputusan Komisi Banding Paten bersifat final.

(3)    Dalam hal Komisi Banding Paten menerima permintaan banding, Kantor Paten memberikan Surat Paten sebagaimana diatur dalam Undang‑ undang ini.

(4)    Apabila Komisi Banding Paten menolak permintaan banding, Kantor Paten segera memberitahukan penolakan tersebut.

Susunan organisasi, tata kerja Komisi Banding Paten, tata cara permintaan dan pemeriksaan banding serta penyelesaiannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(1)    Paten atau pemilikan paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena:

d. perjanjian, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris;

e. sebab‑sebab lain yang dibenarkan oleh Undang‑undang.

(2)    Pengalihan paten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b dan c, harus disertai dengan dokumen paten berikut hak lain yang berkaitan dengan paten itu.

(3)    Segala bentuk pengalihan paten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan pada Kantor Paten dan dicatat dalam Daftar Umum Paten dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan oleh Menteri.

(4)    Pelaksanaan pengalihan yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal ini adalah tidak sah dan tidak berlaku.

(5)    Syarat dan tata cara pendaftaran dan pencatatan pengalihan paten diatur lebih lanjut oleh Menteri.

(1)    Kecuali dalam hal pewarisan dan dalam hal pemindahan atau pengalihan yang dilakukan bersamaan dengan sebagian atau seluruh usahanya, hak sebagai penemu terdahulu tidak dapat dipindahkan atau dialihkan kepada orang lain.

(2)    Pemindahan atau pengalihan hak sebagai penemu terdahulu wajib didaftarkan pada Kantor Paten, yang selanjutnya mencatatnya dalam Daftar Umum Paten.

(3)    Kantor Paten mengumumkan pemindahan atau pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam Berita Resmi Paten.

Peralihan pemilikan paten tidak menghapus hak penemu untuk tetap dicantumkan nama dan identitas lainnya dalam paten yang bersangkutan

(1)    Pemegang Paten berhak memberi lisensi kepada orang lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk, melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.

(2)    Kecuali jika diperjanjikan lain, maka lingkup lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, berlangsung selama jangka waktu lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

Kecuali jika diperjanjikan lain, maka Pemegang Paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberi lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.

(1)    Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan penemuan yang diberi paten tersebut pada khususnya.

(2)    Pendaftaran dan permintaan pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus ditolak oleh Kantor Paten.

(1)    Perjanjian lisensi wajib didaftarkan pada Kantor Paten dan dicatat dalam Daftar Umum Paten dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan oleh Menteri.

(2)    Syarat dan tatacara pendaftaran dan pencatatan perjanjian lisensi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Lisensi Wajib adalah lisensi untuk melaksanakan suatu paten yang diberikan oleh Pengadilan Negeri setelah mendengar Pemegang Paten yang bersangkutan.

(1)    Setiap orang setelah lewat jangka waktu tiga puluh enam bulan terhitung sejak tanggal pemberian paten, dapat mengajukan permintaan Lisensi Wajib kepada Pengadilan Negeri untuk melaksanakan paten yang bersangkutan.

(2)    Permintaan Lisensi Wajib sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan alasan bahwa paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan di Indonesia oleh Pemegang Paten padahal kesempatan untuk melaksanakannya secara komersial sepatutnya ditempuh.

(3)    Dengan memperhatikan kemampuan dan perkembangan keadaan, Pemerintah dapat menetapkan bahwa pada tahap awal pelaksanaan Undang‑undang ini permintaan Lisensi Wajib diajukan kepada Pengadilan Negeri tertentu.

(1)    Selain kebenaran alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2), Lisensi Wajib hanya dapat diberikan apabila:

a. orang yang mengajukan permintaan tersebut dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa ia :

1) mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri paten yang bersangkutan secara penuh.

2) mempunyai sendiri fasilitas untuk melaksanakan paten yang bersangkutan secepatnya.

b. Pengadilan Negeri berpendapat bahwa paten tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberi kemanfaatan kepada sebagian besar masyarakat.

(2)    Pemeriksaan atas permintaan Lisensi Wajib dilakukan oleh Pangadilan Negeri dalam suatu persidangan dengan mendengarkan pula pendapat ahli dari Kantor Paten dan Pemegang Paten yang bersangkutan.

(3)    lisensi Wajib diberikan untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari jangka waktu pelaksanaan paten yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Apabila berdasarkan bukti serta pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 Pengadilan Negeri memperoleh keyakinan bahwa jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 belum cukup bagi Pemegang Paten untuk melaksanakannya secara komersial di Indonesia, Pengadilan Negeri dapat menetapkan penundaan untuk sementara waktu proses persidangan tersebut atau menolaknya.

(1)    Pelaksanaan Lisensi Wajib disertai dengan pemberian pembayaran royalti oleh Pemegang Lisensi Wajib kepada Pemegang Paten.

(2)    Besarnya royalti yang harus dibayarkan dan cara pembayarannya, ditetapkan Pengadilan Negeri yang memberikan Lisensi Wajib.

(3)    Penetapan besarnya royalti dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang lazim digunakan dalam perjanjian lisensi paten atau yang lainnya yang sejenis.

Dalam putusan Pengadilan Negeri mengenai pemberian Lisensi Wajib dicantumkan hal‑hal sebagai berikut :

a. alasan pemberian Lisensi Wajib;

b. bukti termasuk keterangan atau penjelasan yang diyakini untuk dijadikan dasar pemberian Lisensi Wajib;

c. jangka waktu Lisensi Wajib;

d. besarnya royalti yang harus dibayarkan Pemegang Lisensi Wajib kepada Pemegang Paten dan cara pembayarannya;

e. syarat berakhirnya Lisensi Wajib dan hal yang dapat membatalkannya;

f. lain‑lain yang diperlukan untuk menjaga kepentingan para pihak yang bersangkutan secara adil.

(1)    Pemegang lisensi Wajib berkewajiban  mendaftarkan lisensi Wajib yang diterimanya pada Kantor Paten dan dicatat dalam Daftar Umum Paten.

(2)    Lisensi Wajib yang telah didaftarkan secepatnya diumumkan oleh Kantor Paten dalam Berita Resmi Paten.

(3)    Atas pendaftaran Lisensi Wajib dikenakan biaya yang besarnya ditetapkan Menteri.

(4)    Lisensi Wajib baru dapat dilaksanakan setelah didaftarkan dan dibayarnya biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

(5)    Pelaksanaan Lisensi Wajib dianggap sebagai pelaksanaan paten.

(1)    Lisensi Wajib dapat pula sewaktu‑waktu dimintakan oleh Pemegang Paten atas dasar alasan bahwa pelaksanaan patennya tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melanggar paten lainnya yang telah ada.

(2)    Permintaan Lisensi Wajib sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dipertimbangkan apabila paten yang akan dilaksanakan benar‑benar mengandung unsur pembaharuan teknologi yang nyata‑nyata lebih maju daripada paten yang telah ada tersebut.

(3)    Ketentuan mengenai pengajuan permintaan kepada Pengadilan Negeri, pembayaran royalti, isi putusan pengadilan, pendaftaran dan pencatatan, serta jangka waktu atau pembatalan Lisensi Wajib yang diatur dalam Bagian Ketiga Bab ini berlaku pula dalam hal permintaan Lisensi Wajib sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), kecuali ketentuan mengenai jangka waktu pengajuan permintaan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1).

(1)    Atas permintaan Pemegang Paten, Pengadilan Negeri dapat membatalkan Lisensi Wajib yang semula diberikannya apabila:

a. alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian Lisensi Wajib tidak ada lagi;

b. penerima Lisensi Wajib ternyata tidak melaksanakan Lisensi Wajib tersebut atau tidak melakukan usaha persiapan yang sepantasnya untuk segera melaksanakannya;

c. penerima Lisensi Wajib tidak lagi menaati syarat dan ketentuan lainnya termasuk kewajiban pembayaran royalti yang ditetapkan dalam pemberian Lisensi Wajib.

(2)    Dalam hal Pengadilan Negeri memutuskan pembatalan Lisensi Wajib, selambat‑lambatnya empat belas hari sejak tanggal putusan Pengadilan Negeri wajib menyampaikan salinan putusan tersebut kepada Kantor Paten untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

(3)    Kantor Paten wajib memberitahukan pencatatan dan pengumuman Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Pemegang Paten, Pemegang Lisensi Wajib yang dibatalkan dan Pengadilan Negeri yang memutuskan pembatasan tersebut selambat‑lambatnya empat betas hari sejak Kantor Paten menerima salinan putusan Pengadilan Negeri tersebut.

(1)    Lisensi Wajib berakhir dengan selesainya jangka waktu yang ditetapkan dalam pemberiannya, dibatalkan atau dalam hal Pemegang Linsesi wajib menyerahkan kembali lisensi yang diperolehnya kepada Kantor Paten sebelum jangka waktu tersebut berakhir.

(2)    Kantor Paten mencatat Lisensi Wajib yang telah berakhir jangka waktunya dalam buku Daftar Umum Paten, mengumumkan dalam Berita Resmi Paten dan memberitahukannya secara tertulis kepada Pemegang Paten serta Pengadilan Negeri yang memutuskan pemberiannya.

Batal atau berakhirnya Lisensi Wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dan Pasal 90 berakibat pulihnya hak Pemegang Paten atas paten yang bersangkutan terhitung sejak tanggal pencatatannya dalam Daftar Umum Paten.

(1)    Lisensi Wajib tidak dapat dialihkan kecuali karena pewarisan.

(2)    Lisensi Wajib yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh syarat pemberiannya dan ketentuan lainnya terutama mengenai jangka waktu dan harus dilaporkan kepada Kantor Paten untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten.

Ketentuan lebih lanjut mengenai Lisensi Wajib diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paten Yang Batal Demi Hukum

(1)    Paten dinyatakan batal demi hukum oleh Kantor Paten dalam hal:

a. tidak dilaksanakan dalam jangka waktu empat puluh delapan bulan sejak tanggal pemberian paten;

b. tidak dipenuhi kewajiban membayar biaya tahunan dalam jangka waktu yang diatur dalam Undang‑undang ini.

(2)    Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2).

(1)    Batalnya paten demi hukum diberitahukan secara tertulis oleh Kantor Paten kepada Pemegang Paten dan Pemegang Lisensi Paten yang bersangkutan serta mulai berlaku sejak tanggal pemberitahuan tersebut.

(2)    Batalnya Paten dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

Pembatalan Paten Atas Permintaan Pemegang Paten

(1)    Paten dapat dibatalkan oleh Kantor Paten untuk seluruhnya atau sebagian atas permintaan Pemegang Paten yang diajukan secara tertulis kepada Kantor Paten.

(2)    Pembatalan paten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan, jika orang yang menurut catatan dalam Daftar Umum Paten memegang lisensi untuk melaksanakan paten yang bersangkutan tidak memberikan persetujuan secara tertulis yang dilampirkan pada permintaan pembatalan tersebut.

(3)    Keputusan pembatalan paten diberitahukan secara tertulis oleh Kantor Paten kepada Pemegang Paten dan kepada orang yang menurut catatan dalam Daftar Umum Paten menjadi Pemegang Lisensi Paten yang bersangkutan.

(4)   Keputusan pembatalan paten karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

(5)    Pembatalan paten berlaku sejak tanggal ditetapkannya keputusan Kantor Paten mengenai pembatalan tersebut.

Pembatalan Paten Karena Gugatan

(1)    Gugatan pembatalan paten dapat dilakukan dalam hal:

a. menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 7, paten itu seharusnya tidak dapat diberikan;

b. paten tersebut sama dengan paten lain yang telah diberikan kepada orang lain untuk penemuan yang sama berdasarkan Undang‑undang ini.

(2)    Gugatan pembatalan karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a diajukan pihak ketiga kepada Pemegang Paten melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

(3)    Gugatan pembatalan karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dapat diajukan Pemegang Paten atau Pemegang Lisensi kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar paten lain yang sama dengan patennya dibatalkan.

Jika gugatan pembatalan paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 hanya mengenai satu atau beberapa klaim atau bagian dari klaim, maka pembatalan diberikan hanya terhadap hal yang digugat pembatalannya.

(1)    Salinan gugatan dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang pembatalan paten harus segera disampaikan oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada Kantor Paten.

(2)    Kantor Paten mencatat gugatan dan putusan tentang pembatalan paten dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

Akibat Pembatalan Paten

Pembatalan paten menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan dengan paten dan hak‑hak lainnya yang berasal dari paten tersebut.

Kecuali jika ditentukan lain dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pembatalan paten untuk seluruhnya atau sebagian berlaku sejak tanggal putusan pembatalan tersebut.

(1)    Pemegang Lisensi dari paten yang batal demi hukum, tetap berhak melaksanakan lisensi yang dimilikinya sampai dengan berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian lisensi.

(2)    Pemegang Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalti yang seharusnya masih wajib dilakukannya.

(3)    Dalam hal Pemegang Paten terlebih dahulu sudah menerima secara sekaligus royalti dari Pemegang Lisensi, Pemegang Paten tersebut tidak berkewajiban mengembalikan jumlah royalti yang sebanding dengan sisa jangka waktu penggunaan lisensi.

(1)    Lisensi dari paten yang dinyatakan batal oleh sebab‑sebab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf b yang diperoleh dengan itikad baik sebelum diajukannya gugatan pembatalan atas paten yang bersangkutan, tetap berlaku terhadap paten lainnya.

(2)    Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku dengan ketentuan bahwa Pemegang Lisensi tersebut untuk selanjutnya tetap Wajib membayar royalti kepada Pemegang Paten yang tidak dibatalkan, yang besarnya sama dengan jumlah yang diperjanjikan sebelumnya dengan Pemegang Paten yang patennya dibatalkan.

PELAKSANAAN PATEN OLEH PEMERINTAH

(1)    Apabila Pemerintah berpendapat bahwa suatu paten di Indonesia sangat penting artinya bagi penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara, Pemerintah dapat melaksanakan sendiri paten yang bersangkutan.

(2)    Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu paten ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendengar pertimbangan Menteri dan Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertahanan keamanan Negara.

(1)    Ketentuan Pasal 104 berlaku pula bagi penemuan yang dimintakan paten tetapi tidak diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.

(2)    Dalam hal Pemerintah tidak atau belum bermaksud untuk melaksanakan sendiri paten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pelaksanaan paten serupa itu hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Pemerintah.

(3)    Pemegang Paten sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibebaskan dari kewajiban pembayaran biaya tahunan sampai dengan paten tersebut dapat dilaksanakan.

(1)    Dalam hal Pemerintah bermaksud melaksanakan sendiri suatu paten yang penting artinya bagi penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara, Pemerintah memberitahukan secara tertulis hal tersebut kepada Pemegang Paten dengan mencantumkan:

a. paten yang dimaksudkan dengan nama dan nomornya;

c. jangka waktu pelaksanaan;

d. lain‑lain yang dipandang penting.

(2)    Pelaksanaan paten oleh Pemerintah dilakukan dengan pemberian imbalan yang wajar kepada Pemegang Paten.

(1)    Keputusan Pemerintah bahwa suatu paten akan dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah bersifat final.

(2)    Dalam hal Pemegang Paten tidak setuju terhadap besarnya imbalan yang ditetapkan Pemerintah, maka keberatan mengenai hal tersebut dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

(3)    Keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan sebagai gugatan perdata.

(4)    Proses pemeriksaan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak menghentikan pelaksanaan paten oleh Pemerintah.

Pelaksanaan lebih lanjut bagi ketentuan yang terdapat dalam Bab ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Kecuali untuk hal‑hal yang secara khusus diatur untuk Paten Sederhana, ketentuan lain mengenai paten sebagaimana diatur dalam Undang‑undang ini berlaku pula bagi Paten Sederhana.

(1)    Paten Sederhana hanya diberikan untuk satu klaim.

(2)    Terhadap permintaan Paten Sederhana langsung dilakukan pemeriksaan yang bersifat substantif.

(1)    Untuk Paten Sederhana diberikan Surat Paten Sederhana oleh Kantor Paten.

(2)    Paten Sederhana yang diberikan Kantor Paten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicatat dalam Daftar Umum Paten Sederhana.

(3)    Terhadap keputusan penolakan permintaan Paten Sederhana tidak dapat dimintakan banding kepada Komisi Banding Paten.

(1)    Jangka waktu Paten Sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 tidak dapat diperpanjang.

(2)    Untuk Paten Sederhana tidak dapat dimintakan Lisensi Wajib dan tidak dikenakan biaya tahunan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai Paten Sederhana, diatur oleh Menteri.

(1)    Untuk setiap pengajuan permintaan paten, permintaan pemeriksaan, perpanjangan jangka waktu paten, Surat Keterangan Pemakai Terdahulu, petikan Daftar Umum Paten dan salinan Surat Paten, salinan dokumen paten, pencatatan pengalihan paten, pendaftaran Surat Perjanjian Lisensi, pendaftaran Lisensi Wajib, serta lain‑lainnya yang ditentukan dalam Undang‑undang ini, wajib membayar biaya yang besarnya ditetapkan oleh Menteri.

(2)    Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, jangka waktu dan tata cara pembayaran biaya tersebut diatur oleh Menteri.

Pembayaran biaya tahunan untuk pertama kali harus dilakukan selambat‑lambatnya setahun terhitung sejak tanggal pemberian paten atau pencatatan lisensi dan untuk pembayaran tiap‑tiap tahun berikutnya selama paten atau lisensi itu berlaku harus dilakukan selambat‑lambatnya pada tanggal yang sama dengan tanggal pemberian paten atau pencatatan lisensi yang bersangkutan.

(1)    Apabila selama tiga tahun berturut‑turut Pemegang Paten tidak membayar biaya tahunan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 dan Pasal 115, maka paten dianggap berakhir terhitung sejak tanggal yang menjadi akhir batas waktu kewajiban pembayaran untuk tahun yang ketiga tersebut.

(2)    Apabila tidak dipenuhi kewajiban pembayaran biaya tahunan tersebut berkaitan dengan kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun kedua belas dan selanjutnya maka paten dianggap berakhir pada akhir batas waktu kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun yang bersangkutan.

(3)    Berakhirnya jangka waktu paten karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

(1)    Kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (3), pembayaran biaya tahunan yang terlambat dilakukan dari batas waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 115 dikenakan biaya tambahan sebesar dua puluh lima perseratus untuk tiap tahun.

(2)    Keterlambatan pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Kantor Paten dalam waktu tujuh hari setelah lewatnya batas waktu yang ditentukan kepada Pemegang Paten yang bersangkutan

(3)    Tidak diterimanya surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) oleh yang tersangkutan tidak mengurangi berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(1)    Penyelenggaraan administrasi atas paten sebagaimana diatur dalam Undang‑undang ini, dilaksanakan oleh Kantor Paten.

(2)    Penyelenggaraan administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kewenangan instansi lain sebagaimana diatur dalam Undang‑undang ini.

Kantor Paten menyelenggarakan dokumentasi dan pelayanan informasi paten yang dilaksanakan dengan membentuk suatu sistem dokumentasi dan jaringan informasi paten yang bersifat nasional, sehingga seluas mungkin mampu menyediakan informasi kepada masyarakat mengenai teknologi yang diberi paten.

Dalam melaksanakan pengelolaan paten, Kantor Paten memperoleh pembinaan dari dan bertanggungjawab kepada Menteri.

(1)    Jika suatu paten diberikan kepada orang lain selain dari pada orang yang berdasarkan Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 berhak atas paten tersebut, maka orang yang berhak atas paten itu dapat menuntut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat supaya paten yang bersangkutan berikut hak‑hak yang melekat pada paten tersebut diserahkan kepadanya untuk seluruhnya atau untuk sebagian ataupun untuk dimiliki bersama.

(2)    Salinan putusan atas tuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat segera disampaikan kepada Kantor Paten untuk selanjutnya dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

(1)    Pemegang Paten atau Pemegang Lisensi berhak menuntut ganti rugi melalui Pengadilan Negeri setempat, siapapun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 terhadap haknya.

(2)    Tuntutan ganti rugi yang diajukan terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf b hanya dapat diterima apabila hasil produksi itu terbukti dibuat dengan menggunakan penemuan yang telah diberi paten tersebut.

(3)    Putusan Pengadilan Negeri tentang tuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan segera disampaikan kepada Kantor Paten untuk selanjutnya dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

(1)    Untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, maka sewaktu masih dalam pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri, Hakim dapat memerintahkan pelanggar paten tersebut untuk menghentikan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.

(2)    Jika dituntut penyerahan barang hasil pelanggaran paten atau nilai barang tersebut maka Hakim dapat memerintahkan bahwa penyerahan baru dapat dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan setelah dibayar ganti rugi oleh orang yang menuntut kepada pemilik barang‑barang yang beritikad baik.

Hak untuk mengajukan tuntutan sebagaimana diatur dalam Bab ini tidak mengurangi hak Negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran paten.

(1)    Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan banding kepada Pengadilan Tinggi dan kasasi kepada Mahkamah Agung.

(2)    Putusan banding dan putusan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh Panitera Pengadilan Negeri harus segera disampaikan kepada Kantor Paten untuk selanjutnya dicatat dalam Daftar Umum Paten dalam diumumkan dalam Berita Resmi Paten.

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak Pemegang Paten Sederhana dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Barangsiapa dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), Pasal 46 dan Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini adalah kejahatan.

(1)    Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pembinaan paten, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang‑undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang paten.

(2)    Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang paten;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang paten;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang paten;

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang paten;

e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang paten;

f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang paten.

(3)    Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan Pasal 107 Undang‑undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

(1)    Dalam waktu satu tahun terhitung sejak tanggal mulai berlakunya Undang‑undang ini, mereka yang telah mengajukan pendaftaran permintaan paten berdasarkan Pengumuman Pemerintah tahun 1953 dalam 10 (sepuluh) tahun sebelum tanggal mulai berlakunya Undang‑undang ini, dapat mengajukan permintaan paten berdasarkan ketentuan Undang‑undang ini.

(2)    Apabila permintaan paten yang telah terdaftar dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diajukan kembali dalam waktu satu tahun terhitung sejak tanggal berlakunya Undang‑undang ini, permintaan paten tersebut dianggap berakhir.

(3)    Pendaftaran permintaan paten berdasarkan Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang diajukan lebih dari sepuluh tahun sebelum mulai tanggal berlakunya Undang‑undang ini, dinyatakan gugur.

(4)    Terhadap permintaan paten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku ketentuan dalam Undang‑undang ini dan dalam hal. diberikan paten maka jangka waktu berlakunya diperhitungkan sejak tanggal diterimanya permintaan paten berdasarkan Pengumuman tersebut.

Pembentukan badan yang berfungsi memberikan pertimbangan tentang kebijaksanaan strategis dalam masalah paten, dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan.

Semua peraturan yang telah ada mengenai paten sejak tanggal diundangkannya Undang‑undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

Undang‑undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1991.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‑undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

pada tanggal 1 Nopember 1989

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 1 Nopember 1989

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA

UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Dalam Garis‑garis Besar Haluan Negara ditegaskan bahwa sasaran utama pembangunan jangka panjang adalah terciptanya landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Adapun titik beratnya, adalah pembangunan bidang ekonomi dengan sasaran utama terwujudnya struktur ekonomi yang seimbang di mana terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh.

Landasan serupa itu telah diupayakan secara terus‑menerus dan bertahap oleh bangsa Indonesia sejak Repelita pertama. Melalui tahapan Repelita demi Repelita tersebut, bangsa Indonesia pada saat ini telah sampai pada tahap yang sangat penting yaitu mewujudkan struktur ekonomi dengan titik berat kekuatan industri yang didukung oleh bidang pertanian yang kuat. Dengan struktur ekonomi seperti ini, dalam tahap pembangunan lima tahun selanjutnya bangsa Indonesia dapat memasuki era tinggal landas untuk lebih memacu pembangunan atas dasar kekuatan sendiri guna mewujudkan tujuan pembangunan Nasional. Dengan memperhatikan arah dan sasaran pembangunan sebagaimana disebut di atas, khususnya yang berkaitan dengan upaya untuk membangun kekuatan industri, faktor yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan akan teknologi. Faktor ini penting, karena pada dasarnya merupakan salah satu kunci yang sifatnya menentukan kehidupan industri. Bahkan lebih dari itu teknologi adalah faktor penentu dalam pertumbuhan dan perkembangan industri. Apakah teknologi itu berasal dari Negara lain, ataukah hasil penemuan dan pengembangan bangsa Indonesia sendiri, memiliki arti yang sama pentingnya.

Sebagai ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam proses industri, teknologi lahir dari kegiatan penelitian dan pengembangan.

Kegiatan tersebut dapat saja berlangsung dalam bentuk dan cara yang sederhana, tetapi dapat pula dalam bentuk dan cara yang lebih pelik dan memakan waktu, melalui lembaga penelitian dan pengembangan (Research and Development/R & D). Teknologi yang dihasilkan dari kegiatan itupun beraneka ragam sesuai dengan jenis dan kemanfaatannya. Dari segi nilai, kegiatan penemuan teknologi dan pengembangannya, selalu melibatkan tenaga dan pikiran, waktu dan juga biaya yang biasanya sangat besar jumlahnya. Tetapi bagaimanapun bentuk, cara penemuan, waktu dan biaya yang tersangkut dalam kegiatan tersebut, teknologi tetap memiliki arti dan peran yang khusus dalam industri. Dengan teknologi itu pula, segi teknis dan ekonomis suatu produk industri akan dipengaruhi atau ditentukan nilainya di pasar. Dengan pemanfaatan teknologi, akan makin memperkuat daya saing suatu produk industri.

Dengan memperhatikan arti dan peran teknologi yang begitu penting dalam industri, maka tidaklah mungkin bilamana pencapaian sasaran pembangunan industri nasional dapat dilakukan dengan mengabaikan teknologi. Oleh sebab itu, langkah untuk menciptakan iklim atau suasana yang baik dan mampu mendorong gairah atau semangat penemuan teknologi, menjadi sangat penting. Setidaknya, iklim yang lebih memungkinkan bangsa Indonesia untuk mengetahui dan meningkatkan kemampuan dalam menguasai teknologi. Bersamaan dengan langkah untuk mewujudkan iklim atau suasana seperti itu, langkah tersebut sekaligus harus pula memberikan perlindungan hukum yang memadai.

Teknologi pada dasarnya lahir dari karsa intelektual, sebagai karya intelektual manusia. Karena kelahirannya telah melibatkan tenaga, waktu dan biaya ‑berapapun besarnya‑, maka teknologi memiliki nilai atau manfaat ekonomi. Oleh sebab itu, adalah wajar bilamana terhadap hak atas penemuan tersebut diberi perlindungan hukum. Adanya kepastian bahwa hak seseorang akan memperoleh perlindungan hukum itulah, yang pada gilirannya akan memperkuat iklim yang baik bagi penyelenggaraan kegiatan yang melahirkan teknologi.

Dalam ilmu hukum dan praktek yang secara luas dianut oleh bangsa lain, hak atas karya intelektual tersebut diakui sebagai hak milik yang sifatnya tidak berwujud. Hak seperti ini yang dikenal dengan paten.

Dalam kerangka perwujudan iklim yang mampu mendorong semangat penemuan dan sekaligus pemberian perlindungan hukum itulah, ketentuan paten disusun dalam Undang‑undang ini. Sebagai hak, paten diberikan oleh Negara apabila diminta oleh penemu, baik orang atau badan hukum yang berhak atas penemuan tersebut. Paten adalah hak yang khusus (eksklusif) sifatnya. Artinya, paten adalah hak yang hanya diberikan kepada pemegangnya untuk dalam jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuan tersebut, atau untuk memberi kewenangan kepada orang lain guna melaksanakannya. Dalam waktu tertentu itu pula, pihak lain dilarang untuk melaksanakan penemuan tersebut kecuali atas ijin Pemegang Paten yang bersangkutan.

Memperhatikan perkembangan yang sangat pesat di bidang teknologi, khususnya elektronika, peranan Integrated Circuit dalam menunjang perkembangan tersebut membawa dampak sangat luas, maka masalah Integrated Circuit tidak dimasukkan dalam lingkup pengaturan Undang‑undang ini. Bidang tersebut memerlukan pengaturan tersendiri.

Dengan sifat paten seperti tersebut di atas, maka sebagaimana halnya dengan hak milik lainnya, paten juga diperlakukan sedemikian pula dalam Undang‑undang ini. Karenanya, perampasan atau penyitaan paten oleh Negara tidak dianut didalamnya. Namun demikian penghargaan terhadap hak seperti itu tidak berarti pengakuan bahwa paten dapat digunakan tanpa batas. Seperti hak milik lainnya, paten juga memiliki fungsi sosial. Paten dibatasi oleh jangka waktu tertentu. Selain itu, paten wajib untuk dilaksanakan atau digunakan di Indonesia.

Dalam hubungan kewajiban untuk melaksanakan paten ini, masyarakat industri dapat pula melakukan pengawasan. Bila paten tidak dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu, atau tidak cukup dilaksanakan secara komersial, sedangkan kesempatan untuk itu sebenarnya dimiliki, maka masyarakat industri dapat meminta kepada Pengadilan Negeri untuk memberi ijin kepadanya guna melaksanakan paten yang bersangkutan.

Demikian pula halnya apabila sesuatu penemuan (termasuk yang telah mendapat paten) ternyata sangat penting artinya bagi penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara maka Pemerintah dapat melaksanakannya sendiri. Walaupun demikian , sejalan dengan sikap penghargaan terhadap paten sebagai hak dan keinginan untuk mewujudkan iklim yang sebaik‑baiknya guna mendorong kegiatan penemuan teknologi, pembatasan yang dikaitkan dengan prinsip mengenai fungsi sosial itupun tetap dirancang secara seimbang. Artinya, pelaksanaan paten oleh pihak lain, termasuk oleh Pemerintah, tetap harus berlangsung atas dasar ketentuan yang adil. Pelaksanaan paten serupa itu, tetap harus sepengetahuan Pemegang Paten. Ia harus diberitahu pada kesempatan pertama dan didengar penjelasannya. Imbalan yang wajar, dalam arti jumlah dan cara perhitungannya yang sesuai dengan praktek yang lazim, harus tetap diberikan.

Selain pembatasan yang berlandaskan prinsip fungsi sosial, Undang‑undang ini juga mencegah kemungkinan timbulnya penyalahgunaan paten. Hal yang dapat menjurus pada praktek dagang yang merugikan pihak lain dan merugikan masyarakat serta perekonomian Negara pada umumnya, harus dihindari. Oleh karena itu, Undang‑undang ini mengatur antara lain perihal pemasukan (impor) hasil produksi oleh pihak lain dalam kaitannya dengan pemilikan suatu paten dan beberapa hal lain yang berkaitan dengan lisensi. Khusus mengenai masalah lisensi ini, karena luasnya cakupan yang hendak dicapai, Undang‑undang ini mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengaturnya lebih lanjut agar selalu sesuai dengan kebutuhan dan keadaan.

Hal lain yang memperoleh pertimbangan dalam Undang‑undang ini adalah kondisi perekonomian dan kehidupan industri di Indonesia saat ini dan sasaran yang ingin dicapai di masa yang akan datang, serta tingkat penguasaan dan kemampuan bangsa Indonesia di bidang teknologi baik sekarang maupun di masa depan.

Dengan mengkaji hal di atas, Undang‑undang ini dengan tegas menyatakan bidang penemuan teknologi yang tidak dapat dimintakan paten. Begitu pula untuk penemuan teknologi di bidang tertentu yang dalam kebijaksanaan pembangunan industri nasional, dapat ditunda untuk sementara pemberian patennya. Bedanya, hal yang terakhir ini dipertimbangkan secara kasus demi kasus, dan keputusannya diserahkan kepada Presiden.

Hal terakhir yang penting pula untuk dipertimbangkan, adalah segi pengelolaan ketentuan paten. Bidang ini memiliki aspek yang sangat luas : sosial, budaya, ekonomi, hukum, politik dan pertahanan keamanan Negara.

Jangkauannya meliputi sektor yang erat berkaitan satu dengan lainnya. Oleh karenanya, pengelolaannya diharapkan dapat pula dilakukan secara komprehensif dan memadai. Pengelolaan tersebut perlu didorong agar terhindar dari sikap dan cara pandang yang administratif‑rutin, tetapi harus lebih kreatif. Ketentuan paten tidak hanya sekedar diarahkan bagi kemajuan industri yang akan menjadi tulang punggung ekonomi nasional, tetapi juga untuk mendorong kegiatan penemuan dan pengembangan teknologi di kalangan bangsa Indonesia. Dari segi ini, adanya sistem dokumentasi dan jaringan informasi paten yang secara efektif dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat industri ataupun peneliti, perlu diusahakan. Sebab, paten memang merupakan salah satu sumber informasi teknologi.

Karena itu pula, badan yang diserahi tugas untuk mengelolanya perlu diberi sarana dan prasarana yang memungkinkannya untuk melaksanakan tugas secara efisien dan efektif.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Negara dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah, yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan khusus yang ditunjuk dalam Undang‑undang ini. Teknologi pada dasarnya adalah ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam proses industri. Teknologi biasanya lahir atau ditemukan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development).

Bagi penemu, hak khusus tersebut bersifat eksklusif, artinya hak tersebut hanya diberikan kepada penemu sebagai satu‑satunya yang berhak atas penemuannya.

Dalam hal ini, hak seperti itu tetap melekat pada penemu dan tidak berkurang sekalipun di kemudian hari ada pula yang berdasarkan Undang‑undang ini diakui sebagai penemu terdahulu.

Yang dimaksud dengan orang, meliputi pula badan hukum.

Angka 2 sampai dengan Angka 7

Yang dimaksud dengan permintaan pertama adalah permintaan paten yang telah diajukan untuk pertama kali di suatu negara lain. Dalam Undang‑undang ini, penemu dari luar negeri dapat pula mengajukan permintaan paten di Indonesia sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Paris. Terhadap permintaan paten serupa itu diberikan hak untuk didahulukan apabila permintaan tersebut diajukan dalam waktu dan sesuai syarat‑syarat yang ditentukan dalam Undang‑undang ini.

Hak untuk didahulukan seperti itu, disebut hak prioritas.

Dalam hal pengumuman tersebut dilakukan dalam bentuk penguraian, lisan, maka hal itu harus berlangsung dalam forum resmi, apapun namanya, yang disebarluaskan secara nasional. Yang dimaksud dengan diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia, adalah sama dengan diumumkan di dalam negeri atau di luar negeri.

Yang dimaksud dengan pameran yang resmi adalah pameran yang diselenggarakan oleh Pemerintah, sedangkan pameran yang diakui sebagai resmi adalah pameran yang diselenggarakan oleh masyarakat tetapi diakui atau memperoleh persetujuan Pemerintah.

Dapat digunakan dalam berbagai jenis industri maksudnya penemuan mengenai proses.

Karena memiliki nilai kegunaan praktis, maka terkandung pula di dalamnya nilai ekonomis. Benda, alat, atau hasil produksi seperti itu tidak memiliki kualitas penemuan karena penemuan tersebut biasanya diperoleh dengan cara yang lebih sederhana, tidak melalui prosedur sebagaimana lazimnya kegiatan penelitian dan pengembangan.

Barang‑barang seperti itu biasanya berupa peralatan yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari‑hari, seperti misalnya mesin pembuat bakso, alat pemarut kelapa, pemecah kulit kopi, pemipil jagung dan perontok gabah.

Karena itu, barang‑barang tersebut seringkali dikenal pula sebagai "utility model".

Karena sifatnya yang serba sederhana, maka perlindungannya diberikan dalam rangka Paten Sederhana.

Bagi Indonesia, masalah makanan dan minuman merupakan masalah yang sangat pokok sifatnya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, dirasa tidak pada tempatnya bilamana penemuan di bidang pangan baik mengenai cara membuat maupun hasilnya, atau bahan baku untuk membuatnya, diberi paten.

Yang dimaksud dengan jenis atau varitas baru tanaman atau hewan adalah tanaman pangan atau hewan potong.

Bilamana dalam pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan pembedahan tersebut digunakan peralatan kesehatan, maka ketentuan ini hanya berlaku bagi penemuan tentang metoda pemeriksaan dan lain‑lainya.

Peralatan kesehatan yang digunakan baik yang berupa alat, bahan, maupun obat, tidak termasuk didalamnya.

Di luar penemuan yang menurut ketentuan Pasal 7 secara mutlak tidak diberi paten, kemungkinan ada penemuan tertentu di bidang‑bidang lain yang sebenarnya dapat diberi paten tetapi untuk sementara waktu perlu ditunda pemberiannya.        Ketentuan ini pada hakekatnya hanya bersifat penundaan pemberian paten, artinya bilamana sesuatu penemuan dinilai penting bagi rakyat atau bagi kelancaran pelaksanaan program pembangunan di bidang tertentu, Presiden dapat menunda pemberian paten yang diminta untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak tanggal dikeluarkannya Keputusan Presiden tersebut.

Penetapan di atas sifatnya kasus per kasus dan dapat dilakukan dari waktu ke waktu sejak berlakunya Undang‑undang ini. Ketentuan ini tidak berlaku untuk penemuan yang pada waktu itu telah memperoleh paten atau sedang dimintakan paten di Indonesia dengan hak prioritas. Dengan demikian ayat ini hanya berlaku bagi penemuan yang sedang atau akan dimintakan paten.

Ketentuan ini tidak berarti diabaikannya pemenuhan syarat‑syarat administratif, bahkan hal itu tetap harus dipenuhi. Dengan adanya penundaan tersebut maka pengumuman permintaan paten bagi penemuan yang bersangkutan juga ditunda.

Sebagai imbangan dari penundaan, maka terhadap permintaan paten langsung diadakan pemeriksaan substantif setelah berakhirnya jangka waktu pengumuman. Dalam hal ini, yang bersangkutan tidak perlu lagi mengajukan permintaan pemeriksaan substantif.

Jangka waktu paten selama 14 (empat belas) tahun tersebut dapat pula dikatakan sebagai jangka waktu perlindungan hukum atas paten yang bersangkutan.

Jangka waktu itu dihitung sejak tanggal penerimaan permintaan paten (filing date).

Tanggal tersebut dinyatakan dalam Surat Paten (Letter of Patent) yang diberikan oleh Kantor Paten.

Daftar Umum Paten berupa buku yang khusus berisikan catatan tentang Surat Paten, yang dibuat dalam bentuk dan susunan yang sederhana, jelas dan rapi.

Berita Resmi Paten dapat pula disebut Jurnal Paten, yang dikelola dan diterbitkan secara berkala oleh Kantor Paten, serta ditempatkan/ditempelkan di papan pengumuman Kantor Paten yang dapat dilihat dengan mudah oleh masyarakat dan disebarluaskan.

Berita Resmi Paten memiliki kekuatan hukum yang sama dengan Tambahan Berita Negara. Sekalipun demikian, apabila Pemegang Paten menghendaki agar Surat Patennya diumumkan dalam Tambahan Berita Negara, maka hal itu dapat saja diusahakan atas biaya sendiri.

Karena benda atau alat yang dihasilkan tersebut diperoleh dengan waktu yang relatif singkat, dengan cara yang sederhana, dengan biaya yang relatif murah dan secara teknologi juga bersifat sederhana, maka jangka waktu perlindungan selama 5 (lima) tahun dinilai cukup.

Ketentuan ini memberi penegasan bahwa hanya penemu, atau yang menerima lebih lanjut hak penemu, yang berhak memperoleh paten atas penemuan yang bersangkutan. Penerimaan lebih lanjut hak penemu tersebut dapat terjadi karena pewarisan, hibah, wasiat atau perjanjian, sebagaimana diatur dalam Undang‑undang ini.

Yang dimaksud dengan mereka adalah beberapa orang yang secara bersama‑sama menghasilkan penemuan.

Ketentuan ini memberikan penegasan mengenai hak atas penemuan yang dimiliki oleh para penerima lebih lanjut dari orang‑orang yang semula secara bersama‑sama memiliki hak atas penemuan tersebut.

Yang dimaksud dengan mereka adalah orang, beberapa orang secara bersama‑sama atau badan hukum.

Undang‑undang ini memakai titik tolak bahwa yang pertama kali mengajukan permintaan paten dianggap sebagai penemu.

Apabila di kemudian hari terbukti sebaliknya secara kuat dan meyakinkan maka status sebagai penemu tersebut dapat berubah.

Termasuk dalam pengertian perjanjian kerja adalah perjanjian perburuhan. Dalam hal demikian, maka pemberi kerja adalah majikan.

Sekalipun penemu yang sebenarnya tidak memiliki hak atas penemuannya, tetapi dengan mengingat adanya manfaat ekonomi yang diperoleh dari penemuan itu, maka adalah wajar bilamana penemu juga memperoleh kesempatan untuk ikut menikmati manfaat ekonomi tersebut.

Kesempatan untuk ikut menikmati manfaat ekonomi itulah yang diwujudkan dalam bentuk pemberian imbalan. Dalam hubungan ini imbalan diartikan sebagai kompensasi.

Pencantuman nama penemu dalam Surat Paten pada dasarnya adalah lazim. Hak ini sering dikenal dengan istilah "moral right".

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada penemu terdahulu yang beritikad baik, tetapi tidak/belum mengajukan permintaan paten.

Dalam hal ini, kegiatan yang dilakukannya berupa pelaksanaan penemuannya tersebut dapat tetap dilaksanakan olehnya sebagai penemu terdahulu.

Penemuan tersebut dengan demikian harus benar‑benar merupakan hasil kegiatan yang dilakukan dengan itikad baik dan terpisah sama sekali dari kegiatan lain yang menghasilkan penemuan yang diberi paten.

Pemberian perlindungan selama masa yang sama tersebut didasarkan atas prinsip keadilan.

Hak khusus yang dimaksudkan adalah hak yang bersifat eksklusif. Artinya hak yang hanya diberikan kepada Pemegang Paten untuk dalam jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri secara perusahaan atau memberi hak lebih lanjut untuk itu kepada orang lain. Dengan demikian orang lain dilarang melaksanakan paten tersebut tanpa persetujuan Pemegang Paten. Pemberian hak kepada orang lain tersebut dapat melalui pewarisan, penyerahan, perikatan atau mungkin cara peralihan hak yang lain lagi.

Paten pada dasarnya merupakan perlindungan hukum bagi penemu atas penemuannya yang diberikan untuk jangka waktu tertentu. Perlindungan serupa ini, sesuai dengan sifat eksklusif yang dimilikinya, melarang orang lain untuk tanpa hak atau persetujuan dari Pemegang Paten melaksanakan atau melakukan tindakan lainnya yang bersifat pengambilan manfaat ekonomi dari suatu penemuan.

Oleh karenanya unsur yang terpenting terletak pada aspek perlindungan hukum terhadap pemanfaatan hak tersebut di Indonesia.

Pengertian ini mengacu kepada pelaksanaan paten. Dengan demikian adalah wajar bilamana persoalannya dipisahkan dari masalah impor. Sebab impor, seperti halnya ekspor, adalah masalah tata niaga. Pemisahan antara kedua masalah ini yaitu antara perlindungan hak dan masalah tata niaga dengan demikian merupakan hal yang wajar. Bukan saja keduanya       menunjukkan bidang permasalahan yang berbeda tetapi hal inipun perlu untuk mencegah penyalahgunaan paten.

Pengimporan yang dimaksudkan dalam pasal ini, adalah yang dilakukan oleh orang selain Pemegang Paten. Adapun istilah padanan sama artinya dengan "copy product".

Pemikiran mengenai masalah ini bertolak dari prinsip yang pada dasarnya sama seperti yang diuraikan dalam Penjelasan Pasal 20. Adapun pendekatannya juga dilakukan atas asar pertimbangan untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kepentingan, kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Termasuk dalam pengertian ini adalah kepentingan nasional dalam pembinaan dan pengembangan industri di dalam negeri, serta peningkatan kemampuan dalam penguasaan teknologi oleh bangsa Indonesia. Sekalipun begitu memang dipahami bahwa masalah keseimbangan ini sangat bersifat situasional. Artinya, dari waktu ke waktu berkembang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Karena itu dalam masalah ini perlu diberikan kelonggaran kepada Pemerintah untuk menimbang dan mengaturnya sesuai dengan perkembangan keadaan tersebut.

Ketentuan ini diperlukan untuk menjaga kepentingan orang atau badan hukum selain Pemegang Paten yang telah menguasai atau memetik manfaat ekonomi suatu penemuan yang berupa proses atau hasil produksi sebelum diberikannya paten untuk penemuan yang bersangkutan.

Penegasan ini dipandang perlu sebab selama belum diberi paten berarti belum ada perlindungan hukum.

Oleh karenanya, kegiatan pemakaian dan lain‑lain yang dilakukan sebelum adanya paten tidak dapat dinyatakan sebagai pelanggaran.

Selain kepastian hukum, hal ini juga mempunyai arti penting untuk melindungi anggota masyarakat.

Lihat Penjelasan Umum.

Penetapan besarnya biaya dilakukan dengan selalu memperhatikan keadaan dan keperluan yang mampu mendorong para penemu untuk mengajukan permintaan paten bagi penemuannya.

Yang dimaksudkan dengan bukan penemu adalah pihak lain yang menerima hak atas penemuan dari penemu. Hal itu dapat berlangsung misalnya karena pewarisan, penyerahan karena hibah atau karena perjanjian.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi penemu dari kemungkinan yang merugikannya.

Permintaan paten dapat diajukan sendiri oleh penemu atau yang berhak atas penemuan dengan secara langsung datang ke Kantor Paten atau melalui jasa Pos.

Permintaan tersebut dapat pula diajukan melalui Konsultan Paten sebagai kuasa yang ahli di bidang ini. Konsultan seperti ini adalah lembaga yang secara khusus memberikan jasa yang berkaitan dengan pengajuan permintaan paten.

Tujuan pengaturan ini adalah untuk memberi kemudahan bagi penemu atau orang yang menerima hak atas penemuan, yang tidak memahami segi‑segi hukum mengenai paten ataupun segi‑segi teknis administratif yang diperlukan untuk itu. Selain itu, kemungkinan ini juga dimaksudkan untuk mempercepat proses permintaan itu sendiri. Di tangan kuasa yang ahli, diharapkan masalah‑masalah hukum dan teknis yang berkaitan dengan permintaan paten dapat diselesaikan secara cepat. Konsultan ini bertindak sebagai kuasa khusus dalam pengajuan permintaan paten.

Tugas ini menyangkut pengetahuan dan keahlian yang bersifat khusus. Oleh karenanya hanya konsultan yang memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang paten saja yang dapat ditunjuk sebagai kuasa untuk menangani permintaan paten. Mereka terdaftar dalam daftar yang khusus dibuat oleh Kantor Paten dan dapat diketahui oleh masyarakat.

Kewajiban Konsultan Paten untuk menjaga kerahasiaan tersebut berlaku pula terhadap pihak yang terkait yang dipekerjakan oleh konsultan tersebut seperti penterjemah dan lain‑lainnya. Kewajiban tersebut berakhir pada saat permintaan paten mulai diumumkan oleh Kantor Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1).

Ketentuan ini merupakan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1). Maksudnya, untuk mempermudah dan membantu mempercepat proses permintaan paten dari para penemu atau yang berhak atas penemuan yang berdomisili di luar wilayah Negara Republik Indonesia. Sebab, hal ini akan menyangkut bahasa dan pemenuhan aturan lain yang harus diperhatikan, tetapi biasanya tidak mereka kuasai.

Ketentuan ini untuk memudahkan korespondensi, tetapi juga untuk memelihara kepastian tempat tinggal atau              kedudukan di Indonesia. Selebihnya, lihat penjelasan Pasal 27.

Perjanjian internasional mengenai perlindungan paten yang dimaksud adalah Konvensi Paris atau Paris Convention on the Protection of Industrial Property, atau perjanjian internasional atau regional lainnya di bidang tersebut, yang diikuti oleh Negara Republik Indonesia.

Pihak yang berwenang mengesahkan salinan surat permintaan paten yang pertama kali adalah pejabat Kantor Paten suatu Negara di mana permintaan paten untuk pertama kali diajukan. Bila permintaan paten tersebut diajukan berdasar perjanjian internasional di bidang kerjasama paten seperti Patent Cooperation Treaty, maka pihak yang berwenang tersebut adalah WIPO (World Intellectual Property Organization, yaitu badan khusus PBB yang bertugas mengadministrasikan perjanjian internasional mengenai intellectual property).

Permintaan paten dengan hak prioritas tetap harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 30.

Pengajuan dalam bahasa Indonesia tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pemeriksaan ataupun pemanfaatannya sebagai sumber informasi teknologi bagi bangsa Indonesia.

Sudah barang tentu, bagi orang dari luar negeri yang meminta paten di Indonesia baik untuk yang pertama kali ataupun dengan hak prioritas, ada beberapa bagian yang secara teknis menjadi sulit bila harus diterjemahkan, misalnya istilah atau kata yang tercetak dalam gambar (drawing).

Bagian ini dapat tidak diterjemahkan. Begitu pula istilah‑istilah teknis yang mungkin masih dinilai lebih baik ditulis dalam bahasa asing. Namun demikian, surat permintaan, deskripsi, klaim dan abstraksi mutlak perlu dibuat dalam bahasa Indonesia.

Alamat lengkap tersebut harus berisikan nama jalan, nomor bangunan, kode wilayah pos, kota, Negara. Dalam hal ada Negara Bagian, harus pula disebutkan dengan jelas.

Pemohon menyampaikan nama lengkap penemu dan kewarganegaraannya. Demikian pula jika penemuan dilakukan oleh lebih dari satu orang. Apabila penemu adalah badan hukum, harus disebutkan negara di mana badan hukum tersebut didirikan dan memperoleh status sebagai badan hukum.

Huruf d sampai dengan Huruf g

Klaim tersebut mengacu pada inti penemuan teknologi yang bersifat pokok atau strategis. Klaim seperti itu harus dengan tegas menggambarkan inti penemuan yang dimintakan perlindungan hukum, jelas dan tepat, serta didukung uraian teknis.

Abstraksi tersebut semata‑mata dibuat untuk tujuan kejelasan teknis.

Dokumen tersebut diperlukan untuk mempermudah dan mempercepat penilaian terhadap sifat kebaharuan (novelty) dan kadar penemuan (inventiveness) dari penemuan yang dimintakan paten.

Salinan yang sah adalah salinan dari surat atau dokumen yang asli. Mengenai keputusan penolakan permintaan paten yang dimaksud dalam huruf c, adalah keputusan penolakan atas surat permintaan paten, atau penolakan untuk memberikan paten.

Berbeda dengan syarat yang ditetapkan dalam ayat (1) yang apabila tidak dipenuhi dapat berakibat ditolaknya pengajuan surat permintaan paten, dokumen yang disebut dalam ayat ini bersifat sebagai kelengkapan informasi yang diperlukan dalam pemeriksaan.

Ketentuan ini perlu untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut hal‑hal yang bersifat teknis dalam pelaksanaan.

Selain itu, hal ini juga diperlukan untuk menyesuaikan tingkat kebutuhan dengan keadaan kemampuan yang dimiliki dalam pengelolaan sistem paten pada umumnya. Dengan begitu, dapat dijaga keluwesan dalam menghadapi perkembangan di kemudian hari.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian mengenai kapan sebenarnya permintaan paten diterima. Hal ini biasanya terjadi karena tanggal penerimaan surat permintaan oleh Kantor Paten berbeda dengan tanggal yang tercantum dalam surat itu. Dalam hal ini apabila terdapat permintaan paten untuk penemuan yang sama dan diterima pada tanggal yang sama pula, maka    permintaan paten yang diterima adalah permintaan yang diajukan lebih dahulu.

Sekalipun penerimaan surat permintaan paten tersebut hanya berselisih satu detik, tetapi prinsipnya permintaan yang diterima lebih dahulu itulah yang diakui.

Begitu pula bilamana terdapat kekurangan persyaratan, biasanya pemenuhannya baru berlangsung kemudian. Untuk itu, permintaan paten dianggap diajukan pada tanggal penerimaan pemenuhan kelengkapan oleh Kantor Paten.

Pemeriksaan awal dilakukan segera setelah diterimanya surat permintaan paten. Karena obyeknya bersifat administratif, maka pemeriksaan itupun pada dasarnya merupakan pemeriksaan formal.

Apabila dalam pemeriksaan awal tersebut surat permintaan paten ternyata sudah memenuhi ketentuan Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 (untuk permintaan dengan hak prioritas) maka tanggal sewaktu Kantor Paten menerimanya ditetapkan sebagai tanggal penerimaan (filing date). Tetapi apabila dari pemeriksaan kemudian ternyata masih terdapat kekurangan, maka tanggal pada saat Kantor Paten menerima pemenuhan yang terakhir kekurangan tersebut yang digunakan/ditetapkan sebagai tanggal penerimaan.

Oleh karena pentingnya arti tanggal penerimaan tersebut, pencatatan untuk itu diadakan dalam buku daftar tanggal penerimaan yang diadakan secara khusus dan dengan mencantumkan saat atau waktu penerimaan surat permintaan tersebut.

Alasan yang dapat dipertimbangkan tersebut hanya dibatasi untuk hal‑hal yang bersifat teknis saja, misalnya karena belum terselesaikannya pembuatan uraian atau deskripsi penemuan dan gambar‑gambar atau drawings yang mendukungnya.

Dalam hal pengajuan tersebut dilakukan oleh kuasa, maka surat pemberitahuan tersebut disampaikan kepada kuasa yang bersangkutan.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mempertegas prinsip bahwa satu permintaan paten hanya dapat diajukan untuk satu penemuan.

Tanggal yang digunakan sebagai patokan adalah tanggal penerimaan surat permintaan paten oleh Kantor Paten baik yang diajukan sendiri secara langsung maupun yang melalui jasa pos.

Dalam hal surat permintaan paten diterima pada tanggal yang sama, harus diperhatikan waktu atau saat penerimaannya. Bagaimanapun surat permintaan paten yang diterima lebih dahulu, sekalipun hanya berselisih satu detik lebih awal, permintaan paten yang terdahulu itulah yang diterima.

Lihat pula penjelasan Pasal 33.

Sebelum menolak permintaan paten tersebut, Kantor Paten tetap mengupayakan untuk sekali lagi mempertemukan orang‑orang yang mengajukan permintaan paten sehingga dapat diperoleh kesepakatan di antara mereka mengenai siapa yang berhak untuk mengajukan permintaan paten yang bersangkutan.

Apabila upaya tersebut di atas tetap tidak memberikan hasil, maka penentuan siapa yang berhak untuk mengajukan permintaan paten harus diminta kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Yang dimaksud dengan memperluas lingkup perlindungan adalah menambah jumlah klaim. Hal ini tidak diperbolehkan.

Kadangkala penemu atau orang yang berhak atas penemuan karena pertimbangan tertentu mengubah permintaan paten yang telah diajukannya dan memecahnya menjadi beberapa permintaan yang terpisah.

Permintaan serupa itu biasanya memecah pula klaim dalam penemuan yang dimintakan perlindungan.

Hal ini dimungkinkan, sejauh perlindungan yang diminta secara keseluruhan tidak melebihi lingkup perlindungan yang semula diminta. Selain itu, klaim dalam penemuan yang dimintakan perlindungan dengan permintaan yang terpisah tersebut, secara keseluruhan harus tetap merupakan satu kesatuan penemuan.

Dengan penarikan kembali surat permintaan paten, maka permintaan paten dianggap telah dibatalkan oleh orang yang meminta.

Mengenai kemungkinan perpanjangan jangka waktu paten hanya satu kali untuk selama 2 (dua) tahun, lihat pula Penjelasan Umum.

Jangka waktu pengajuan permintaan perpanjangan dimaksudkan untuk memberi waktu yang cukup bagi Kantor Paten guna meneliti dan menilai permintaan tersebut.

Pemegang Paten yang mengajukan permintaan perpanjangan jangka waktu bagi patennya juga diwajibkan untuk memenuhi secara lengkap persyaratan yang ditetapkan. Syarat mengenai bukti penghasilan yang diperoleh dari pelaksanaan paten termasuk pula penghasilan dari pelaksanaan paten di luar negeri. Kantor Paten tidak melayani permintaan yang diajukan lewat batas yang ditentukan.

Kewajiban ini bersifat mutlak dan dimaksudkan terutama untuk menjamin kepentingan penemu atau orang yang berhak atas penemuan terhadap segala bentuk pelanggaran haknya. Kewajiban ini berlangsung sejak tanggal penerimaan surat permintaan paten, selama penelitian awal dan terus berlangsung sampai dengan tanggal dimulainya pengumuman. Khusus mengenai tanggal penerimaan surat permintaan paten tersebut, hal itu mengacu pada tanggal diterimanya untuk pertama kali surat permintaan paten oleh Kantor Paten, sekalipun kemudian ternyata masih terdapat kekurangan syarat yang harus dipenuhi. Jadi tanggal tersebut bukan dalam arti "filing date".

Pengumuman suatu permintaan paten dimaksudkan agar masyarakat luas mengetahui adanya permintaan paten atas suatu penemuan. Ini berarti, masyarakat khususnya pihak yang berkepentingan dengan adanya permintaan paten tersebut dapat memperoleh kesempatan untuk memeriksa ada atau tidaknya pelanggaran terhadap hak yang mungkin dimilikinya atau dimiliki orang lain dalam penemuan mereka, terutama yang telah diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tetapi belum dimintakan paten.

Pengumuman dilakukan dengan cara menempatkannya dalam papan pengumuman yang khusus disediakan dan dapat dilihat dengan mudah oleh masyarakat luas atau dengan cara dan sarana lain dengan maksud yang sama. Selain       itu, pengumuman juga dilakukan dengan menempatkannya dalam Berita Resmi Paten atau Jurnal Paten, yang diterbitkan secara berkala oleh Kantor Paten.

Pelaksanaan pengumuman tersebut dilakukan setelah Kantor Paten berpendapat bahwa berdasar pemeriksaan, segala persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 terpenuhi dan permintaan tersebut tidak ditarik kembali.

Kecuali jika permintaan tersebut ditarik kembali, permintaan paten diumumkan selambat‑lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal penerimaan permintaan paten (filing date). Sedangkan bagi permintaan paten yang diajukan dengan hak prioritas, diumumkan selambat‑lambatnya setelah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerimaan permintaan paten yang pertama kali.

Jangka waktu 6 (enam) bulan tersebut dinilai cukup wajar sebagai pemberitahuan kepada masyarakat mengenai adanya penemuan di sesuatu bidang teknologi yang dimintakan paten. Jangka waktu tersebut juga untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui, terutama bagi mereka yang mungkin berkepentingan dengan adanya permintaan tersebut. Selanjutnya lihat kembali penjelasan Pasal 47. Jangka waktu tersebut dihitung sejak tanggal mulai diumumkannya permintaan paten.

Pengumuman tersebut selain ditempatkan pada papan pengumuman, ditempatkan dalam Berita Resmi Paten, dapat pula disebarluaskan oleh instansi yang bertugas di bidang penerangan.

Mengenai penempatan dalam Berita Resmi Paten, lihat kembali penjelasan Pasal 9 ayat (2).

Apabila permintaan paten yang diajukan dengan hak prioritas tersebut berpangkal pada sistem paten internasional atau regional, maka dicantumkan pula Kantor Paten dan nama Negara atau Negara‑negara di mana permintaan pertama tersebut diajukan.

Pandangan atau keberatan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu pengumuman, yaitu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48. Lewat dari jangka waktu tersebut, maka pandangan atau keberatan tidak dapat diterima. Dalam hal ini Kantor Paten memberitahukan secara tertulis kepada orang yang mengajukan pandangan atau keberatan bahwa hal tersebut telah melewati jangka waktu yang telah ditetapkan dan          karenanya tidak dapat diterima dengan mengembalikan berkas atau surat yang berisikan pandangan atau keberatan tersebut.

Pandangan atau keberatan tersebut harus secepatnya dikirimkan Kantor Paten kepada orang yang mengajukan permintaan paten. Pengiriman oleh Kantor Paten tersebut tidak boleh ditunda‑tunda karena pandangan dan keberatan tersebut sangat penting artinya bagi orang yang mengajukan permintaan paten, sehingga dapat menggunakan haknya untuk memberikan sanggahan dan penjelasan.

Berbeda dengan pengajuan pandangan atau keberatan yang terikat pada jangka waktu pengumuman, maka penyampaian sanggahan dan penjelasan pada dasarnya tidak terikat pada jangka waktu tersebut.

Segala pandangan, keberatan, sanggahan, ataupun penjelasan tersebut dijadikan tambahan pertimbangan para Pemeriksa Paten dalam pemeriksaan permintaan paten yang bersangkutan.

Lebih lanjut lihat penjelasan pasal‑pasal berikutnya mengenai pemeriksaan.

Dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap kelengkapan dokumen permintaan paten, dapat saja Kantor Paten menemukan bahwa sesuatu penemuan diperkirakan sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara atau setidak‑tidaknya, kalau diketahui umum dan dilaksanakan, dapat mempunyai pengaruh yang besar terhadap stabilitas pertahanan keamanan Negara. Tersiarnya suatu penemuan serupa itu dikhawatirkan akan mengganggu ketenteraman, ketertiban dan ketenangan masyarakat. Apalagi bila penemuan tersebut kemudian dilaksanakan secara tidak bertanggung jawab. Untuk itu Kantor Paten diberi kewenangan untuk tidak mengumumkannya. Namun demikian sebelum mengambil keputusan untuk itu Kantor Paten wajib meminta persetujuan terlebih dahulu kepada Menteri.

Untuk mengetahui kebenaran perkiraan dan kekhawatiran tersebut, Kantor Paten mengadakan konsultasi dengan instansi yang berwenang. Dengan sendirinya, hal itu sulit dilakukan tanpa menyampaikan informasi mengenai penemuan tersebut. Pengungkapan informasi ini, tidak dianggap sebagai pembocoran rahasia yang wajib dipegangnya. Ketentuan ini, berlaku pula bagi instansi Pemerintah yang diminta pertimbangan berikut aparatnya. Namun begitu, hal tersebut tetap terbatas sejauh berlangsung di antara Kantor Paten dan instansi yang bersangkutan termasuk aparat mereka dan tidak untuk diungkap kepada pihak ketiga lainnya.

Kalau permintaan paten tersebut diajukan sendiri oleh penemu, maka pemberitahuan tersebut disampaikan kepada penemu. Tetapi dalam hal permintaan paten tersebut diajukan oleh kuasanya, maka pemberitahuan disampaikan kepada kuasa yang bersangkutan dengan tembusan kepada penemu. Apabila permintaan paten tersebut diajukan oleh kuasa untuk dan atas nama orang yang berhak atas penemuan, maka tembusan surat pemberitahuan disampaikan kepada orang yang berhak tersebut.

Ayat (3) sampai dengan Ayat (5)

Lihat penjelasan Ayat (1)

Dengan ketentuan ini, maka terhadap permintaan paten yang tidak diumumkanpun pada dasarnya diberikan hak dan perlakuan yang sama, yaitu untuk diperiksa. Pemeriksaan yang dimaksud adalah pemeriksaan yang bersifat substantif. Sekalipun begitu, untuk adanya pemeriksaan itu sendiri harus diajukan permintaan.

Dibanding dengan permintaan paten yang lain, maka bedanya hanya pada tidak diumumkannya dokumen permintaan paten tersebut. Selebihnya, diberlakukan ketentuan yang sama.

Karena sifat penemuan tersebut dinilai penting bagi pertahanan keamanan Negara, maka inisiatif pemeriksaan ini datang dari Pemerintah. Oleh sebab itu Pemerintah pula yang menanggung biaya pemeriksaan.

Untuk menentukan apakah permintaan paten untuk suatu penemuan dapat dikabulkan atau ditolak, diperlukan pemeriksaan yang bersifat substantif. Tetapi untuk diadakannya pemeriksaan tersebut, harus diajukan permintaan secara tertulis untuk itu kepada Kantor Paten. Oleh karenanya, bila orang yang mengajukan permintaan paten tidak meminta diadakannya pemeriksaan substantif, pada prinsipnya tidak akan dilakukan pemeriksaan tersebut. Dengan begitu, tidak akan ada pemberian paten. Permintaan pemeriksaan harus disertai pembayaran biaya yang ditentukan.

Berbeda dengan pemeriksaan yang bersifat formal, yaitu menyangkut kelengkapan syarat‑syarat berdasar Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31, pemeriksaan substantif ini menentukan dapat diberikan atau ditolaknya permintaan paten.

Pemeriksaan ini lebih tertuju pada hal‑hal yang bersifat substantif, yaitu apakah penemuan benar‑benar baru, mengandung langkah‑langkah inventif dan mungkin atau tidaknya diterapkan dalam proses industri.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan keseragaman tentang bentuk permintaan. Dengan demikian, selain memudahkan pihak yang meminta, juga mempercepat proses yang harus dilakukan oleh Kantor Paten.

Karena sifatnya teknis, maka pengaturan masalah ini diserahkan kepada Menteri.

Permintaan untuk dilakukannya pemeriksaan substantif baru dapat diajukan setelah selesainya masa pengumuman yang berlangsung selama 6 (enam) bulan. Sebaliknya, permintaan pemeriksaan itupun pengajuannya memiliki batas waktu.

Permintaan tersebut terakhir hanya dapat diajukan sebelum lewat waktu 36 (tiga puluh enam) bulan sejak tanggal penerimaan permintaan paten oleh Kantor Paten.

Ketentuan ini berlaku pula bagi permintaan paten yang diajukan dengan hak prioritas.

Adalah mungkin bahwa bidang keahlian yang diperlukan bagi pelaksanaan pemeriksaan substantif sesuatu penemuan yang dimintakan paten, tidak atau kurang dikuasai oleh Pemeriksa Paten. Begitu pula, fasilitas yang diperlukan untuk mengadakan pemeriksaan secara baik, dimiliki oleh instansi atau lembaga lain. Dalam hal demikian, Kantor Paten dapat minta bantuan ahli dan atau menggunakan fasilitas dari instansi atau lembaga lain tersebut. Tidak menjadi masalah, apakah bantuan ahli dan atau fasilitas seperti itu dimiliki oleh unit‑unit penelitian dan pengembangan di lingkungan Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Universitas atau Institut atau lain‑lainnya.

Hal ini tidak berarti bahwa pemeriksaan lantas dilaksanakan oleh pihak‑pinak lain dan bukan oleh Kantor Paten. Pemeriksaan tetap dilakukan oleh Kantor Paten. Badan atau instansi yang memiliki tenaga ahli atau fasilitas yang diperlukan, hanyalah sekedar membantu.

Tanggung jawab dan kewenangan, masih tetap ada pada Kantor Paten. Bantuan tersebut diperlukan untuk memperlancar dan mempercepat jalannya pemeriksaan. Keputusan akhir tentang dapat diberi atau ditolaknya permintaan paten, dengan begitu tetap ada pada Kantor Paten.

Dalam hal Kantor Paten menggunakan bantuan ahli dan atau fasilitas yang ada pada instansi lainnya, maka                mereka yang terlibat secara keseluruhan terikat dengan kewajiban untuk menjaga kerahasiaan penemuan dan segala dokumen permintaan paten, termasuk penjelasan atau informasi yang telah diberikan untuk melengkapinya.

Pemeriksaan substantif atas permintaan paten hanya dilakukan oleh Pemeriksa Paten. Mereka adalah tenaga ahli yang secara khusus dididik untuk itu, dan khusus diangkat untuk tugas itu pula.

Pada umumnya, mereka adalah pejabat di lingkungan Kantor Paten. Tetapi mungkin saja, tenaga ahli seperti itu berasal dari instansi Pemerintah lainnya, sejauh mereka juga pernah dididik secara khusus dan karenanya memiliki kualifikasi sebagai Pemeriksa Paten, serta diangkat sebagai Pemeriksa Paten.

Lihat penjelasan ayat (1)

Karena sifat keahlian dan lingkup pekerjaan yang bersifat khusus, sudah sepantasnya bila jabatan Pemeriksa Paten diberi status sebagai jabatan fungsional. Lebih dari itu, pada dasarnya mereka memang semata‑mata bekerja karena keahlian.

Status ini perlu diberikan dalam rangka pembinaan karier mereka, sehingga tidak tertinggal oleh rekan mereka yang bekerja dalam satuan organisasi yang memiliki jenjang jabatan yang bersifat struktural.

Dalam rangka pembinaan itu pula, kepada para Pemeriksa Paten tersebut diberikan penjenjangan jabatan fungsional dan tunjangan yang bersifat khusus, di samping hak‑hak lainnya yang lazim diterima oleh pegawai negeri berdasarkan peraturan perundang‑ undangan yang berlaku.

Yang dimaksud dengan ketidak‑jelasan atau kekurangan yang dinilai penting misalnya klaim yang tidak jelas, deskripsi yang dirasakan tidak mendukung, termasuk gambar dan cara pelaksanaan penemuan. Bilamana hal‑hal di atas kemudian dipandang perlu untuk diketahui lebih lanjut dalam rangka penyempurnaan, maka masalahnya diberitahukan secara tertulis oleh Kantor Paten kepada orang yang mengajukan permintaan paten.

Dalam hal diperlukan perbaikan atau perubahan, yang dimaksud antara lain penyempurnaan atau perubahan klaim, deskripsi, termasuk gambar‑gambar yang diperlukan dan uraian tentang cara pelaksanaan penemuan.

Ketentuan yang dimaksud adalah mengenai syarat‑syarat bahwa penemuan harus merupakan hal yang benar‑benar baru, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam proses industri.

Paten lazimnya diberikan berupa surat yang bentuk dan isinya tertentu. Karenanya, paten seringkali disebut pula Surat Paten.

Langkah ini dimaksudkan sebagai perwujudan salah satu fungsi paten sebagai sumber informasi mengenai teknologi. Yang dimaksud dengan dokumen paten adalah surat paten beserta lampirannya yang antara lain meliputi deskripsi, gambar dan abstraksi.

Bagi anggota masyarakat yang menginginkannya, dapat meminta salinan dokumen paten tersebut kepada Kantor Paten dengan membayar biaya yang besarnya akan ditetapkan oleh Menteri.

Berbeda dengan Buku Resmi Paten dimana setiap permintaan paten dicatat, maka Daftar Umum Paten khusus diadakan bagi pencatatan setiap paten yang diberikan oleh Kantor Paten.

Lihat penjelasan ayat (1)

Pengumuman dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 yaitu menempatkannya pada papan pengumuman dan pada Berita Resmi Paten.

Tanggal pemberian paten dinyatakan dengan jelas dan tegas dalam Surat Paten. Dengan berlaku surutnya paten yang diberikan sejak tanggal penerimaan permintaan paten berarti perlindungan terhadap penemuan berlaku surut pula sejak tanggal tersebut.

Dengan penegasan ini maka Pemegang Paten mempunyai hak untuk menuntut dihentikannya kegiatan pemakaian penemuan, penjualan dan lain‑lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. Tuntutan serupa itu diajukan kepada Pengadilan Negeri setempat. Apabila setelah diajukannya tuntutan tersebut kegiatan pemakaian, penjualan dan lain‑lain tersebut di atas masih tetap berlangsung, Pemegang Paten dapat mengajukan tuntutan atas dasar pelanggaran hak Pemegang Paten.

Dalam Surat Paten antara lain dimuat hal‑hal pokok mengenai penemuan, klaim, nama Pemegang Paten lengkap dengan alamat yang jelas dan tetap, penemu, tanggal pemberian paten dan nomor paten yang bersangkutan.

Mengenai masalah nomor paten ini, penggunaan dalam arti pencantumannya pada produk yang dihasilkan atau kemasannya pada dasarnya diserahkan kepada Pemegang Paten yang bersangkutan atau yang menerima lebih lanjut hak tersebut.

Permintaan banding dengan demikian hanya dapat diajukan dalam hal penolakan terhadap permintaan paten karena alasan atau pertimbangan yang bersifat substantif dan menjadi dasar penolakan tersebut. Jadi bukan dalam hal penolakan karena alasan lain seperti misalnya diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 38. Alasan atau pertimbangan yang bersifat substantif tersebut adalah alasan atau pertimbangan yang digunakan Pemeriksa Paten dan kemudian menghasilkan penilaian bahwa penemuan yang bersangkutan bukanlah merupakan hal yang baru, tidak mengandung langkah inventif dan tidak pula dapat diterapkan dalam proses industri.

Dengan demikian banding tidak dapat diminta dalam hal penolakan yang disebabkan karena tidak dilakukannya perbaikan atau penyempurnaan klaim yang disarankan selama pemeriksaan substantif. Banding juga tidak dapat dimintakan karena dianggap ditariknya kembali permintaan paten sebagai hasil pemeriksaan awal sebelum permintaan paten diumumkan. Begitu pula, banding tidak dapat dimintakan karena ditolaknya permintaan paten oleh sebab tidak dimintakan pemeriksaan substantif sampai dengan batas waktu yang ditetapkan untuk itu.

Komisi Banding Paten adalah badan yang secara khusus dibentuk untuk memeriksa permintaan banding atas penolakan terhadap permintaan paten dan memberikan hasil pemeriksaan kepada Kantor Paten. Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Banding Paten bekerja berdasarkan keahlian dan tidak tunduk kepada perintah atau kemauan siapapun yang memimpin Departemen ataupun Kantor Paten.

Komisi Banding Paten beranggotakan beberapa orang ahli di bidang yang diperlukan dan pemeriksa paten senior. Kecuali Ketua yang juga merangkap anggota, para anggota Komisi Banding Paten diangkat setiap kali ada permintaan banding hanya untuk memeriksa permintaan banding yang bersangkutan.

Alasan, penjelasan atau bukti yang disertakan dalam permintaan banding harus bersifat pendalaman atas alasan penjelasan atau bukti yang telah atau seharusnya telah disampaikannya. Sebab, kesempatan untuk memberikan kelengkapan alasan atau penjelasan atau bukti, sebenarnya telah diberikan sewaktu pemeriksaan substantif berlangsung.

Larangan ini untuk mencegah timbulnya kemungkinan bahwa banding sekedar digunakan sebagai alat untuk melengkapi kekurangan dalam permintaan paten, sementara hal itu sebenarnya telah diberikan dalam tahap sebelumnya.

Keputusan Komisi Banding Paten diberikan selambat‑lambatnya 12 (dua belas) bulan, artinya dapat pula kurang dari waktu tersebut.

Sifat keputusan Komisi Banding Paten ini final, artinya tidak dapat dimintakan peninjauan lebih lanjut kepada lembaga atau pejabat lainnya. Hal ini dilandaskan pada pertimbangan bahwa penilaian atas penemuan di bidang teknologi seperti ini, menyangkut pertimbangan yang sangat bersifat teknis. Hal ini pula yang menyebabkan mengapa keputusan mengenai diberi atau tidak diberinya paten atas sesuatu penemuan, tidak dikaitkan dengan kewenangan tata usaha Negara pada umumnya yang kemudian dapat dijadikan obyek atau lingkup perkara Tata Usaha Negara.

Yang dimaksud dengan menerima permintaan banding adalah mengabulkan permintaan banding tersebut, dengan demikian Kantor Paten memberikan Surat Paten.

Pemberitahuan penolakan tersebut disampaikan kepada orang yang mengajukan permintaan banding. Dalam hal            permintaan banding diajukan oleh kuasanya, maka pemberitahuan tersebut disampaikan kepada kuasa yang bersangkutan dan salinan diberikan kepada orang yang memberi kuasa.

Seperti halnya Hak Cipta dan Merek Dagang, paten pada dasarnya adalah hak milik perorangan yang tidak berwujud dan timbul karena kemampuan intelektual manusia. Sebagai hak milik, paten dapat pula dialihkan oleh penemunya atau yang berhak atas penemuan itu. Paten dapat dialihkan kepada perorangan atau kepada badan hukum. Paten beralih atau dialihkan baik dengan cara pewarisan, hibah, wasiat, maupun dengan cara perjanjian.

Khusus mengenai pengalihan dengan perjanjian ini ditentukan, bahwa hal itu harus dituangkan dalam bentuk Akta Notaris. Hal ini mengingat begitu luasnya aspek yang terjangkau oleh paten sebagai hak. Adapun sebab lain yang dibenarkan oleh Undang‑undang misalnya pemilikan paten karena pembubaran badan hukum yang semula merupakan Pemegang Paten.

Sifat pendaftaran pada Kantor Paten tersebut adalah wajib, sebab paten merupakan hak milik yang diberikan oleh Negara dan pemakaian atau pemanfaatannya dibatasi dengan kurun waktu tertentu. Begitu pula pelaksanaannya, karenanya setiap peralihannya perlu dicatat dalam Daftar Umum Paten. Biaya pendaftaran dan pencatatan dibebankan kepada pihak yang menerima pengalihan.

Hak sebagai penemu terdahulu tidak dapat dialihkan karena memang bukan merupakan hak khusus seperti halnya paten.

Berbeda dengan pengalihan paten di mana pemilikan hak juga beralih, maka perlisensian melalui suatu perjanjian pada dasarnya hanya bersifat pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi daripada paten, dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu pula.

Kadang‑kadang perjanjian lisensi dibuat khusus, artinya lisensi hanya diberikan kepada pemegangnya. Bilamana dimaksudkan demikian maka hal itu harus secara tegas dinyatakan dalam perjanjian lisensi. Apabila tidak, maka perjanjian lisensi paten dianggap tidak memakai syarat seperti itu.Undang‑undang ini menganut faham yang demikian itu. Oleh karenanya Pemegang Paten pada dasarnya masih boleh melaksanakan sendiri paten yang dilisensikannya, atau memberi lisensi yang sama kepada pihak ketiga lainnya.

Ketentuan ini dengan demikian dimaksudkan. untuk mencegah berlangsungnya keadaan dimana perjanjian lisensi kemudian selalu dianggap bersifat eksklusif.

Paten merupakan salah satu sumber informasi teknologi yang sangat penting.

Perlisensian yang berlangsung dengan syarat yang kurang atau sama sekali menutup jalan kearah penguasaan teknologi dalam paten, hanya akan menghambat pengembangan kemampuan bangsa Indonesia dalam mengetahui dan menguasai teknologi yang bersangkutan.

Dalam kerangka fikir bahwa teknologi sangat penting dan besar artinya terhadap kehidupan dan kemajuan industri, maka adanya ketentuan serupa itu praktis tidak bermanfaat bagi perekonomian nasional.

Penolakan permintaan pendaftaran dan pencatatan tersebut, dengan memperhatikan penjelasan ayat (1), memang sudah seharusnya ditolak oleh Kantor Paten.

Seperti halnya pengalihan pemilikan, perjanjian lisensi juga wajib didaftarkan dan dicatat.

Istilah Lisensi Wajib (non voluntary license/compulsory license) lebih mengacu pada mekanisme, di mana dalam kondisi tertentu dan atas dasar syarat serta cara yang tertentu pula, suatu paten berdasarkan putusan Pengadilan Negeri setelah mendengar Pemegang Paten dapat dilaksanakan oleh pihak lain yang meminta.

Yang dimaksud dengan mendengar Pemegang Paten adalah mendengar penjelasan Pemegang Paten di depan sidang Pengadilan Negeri mengenai hal‑hal yang berkaitan dengan alasan diajukannya permintaan Lisensi Wajib sebagaimana      dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2). Dengan demikian permintaan dan pemberian Lisensi Wajib pada dasarnya berlangsung dengan sepengetahuan Pemegang Paten.

Yang dimaksud dengan orang adalah perorangan atau badan hukum. Dengan ketentuan ini, maka penilaian apakah suatu paten tidak dilaksanakan di Indonesia oleh Pemegang Paten dan inisiatif untuk melaksanakannya, diserahkan kepada masyarakat khususnya masyarakat industri dan bukan kepada Negara.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong kemungkinan pemakaian paten secara luas dan bermanfaat bagi masyarakat dan sekaligus menutup kemungkinan dimanfaatkannya sistem paten untuk tujuan yang sempit dan bertentangan dengan maksud Undang‑undang ini.

Permintaan lisensi dalam rangka Lisensi Wajib ini hanya diajukan kepada Pengadilan Negeri dan bukan kepala Kantor Paten.

Yang dimaksud dengan tidak dilaksanakan adalah, bahwa dalam waktu 36 (tiga puluh enam) bulan sejak tanggal paten diberikan Kantor Paten, paten yang bersangkutan tidak juga digunakan untuk membuat produk, padahal kebutuhan masyarakat akan produk yang bersangkutan sangat besar.

Ketentuan ini bersangkutan dengan kondisi yang harus dipersiapkan, yaitu tersedianya hakim yang memiliki pengetahuan dan penguasaan masalah paten dengan segala aspek hukum, sosial, ekonomi dan teknisnya. Untuk itu, pada tahap pertama kepada Pemerintah diberi kewenangan untuk menetapkan Pengadilan Negeri tertentu yang dapat menerima permintaan lisensi seperti itu.

Selain pembuktian mengenai kebenaran alasan tentang tidak dilaksanakannya paten dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan sejak tanggal diberikannya paten, permintaan Lisensi Wajib harus dilengkapi dengan bukti mengenai hal‑hal yang diatur dalam ayat ini. Perlunya bukti yang meyakinkan bahwa orang yang meminta harus mempunyai kemampuan finansiil dan teknis untuk melaksanakan sendiri paten tersebut, dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan yang dapat pula merusak sistem paten dan menggunakannya untuk tujuan antara, lain persaingan yang tidak sehat atau sekedar menjadi perantara saja.

Pengadilan Negeri juga harus meneliti dengan benar apakah permintaan lisensi Wajib tersebut dapat dilaksanakan orang yang meminta dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberikan kemanfaatan kepada sebagian besar masyarakat.

Dapat dilaksanakan dalam skala ekonomi yang layak, artinya paten tersebut dapat digunakan untuk menghasilkan barang dalam jumlah dan tingkat harga yang sebanding dengan kebutuhan dan kondisi pasar.

Pendapat ahli dari Kantor Paten dan pendapat Pemegang Paten tersebut diperlukan agar Pengadilan Negeri dapat mempertimbangkan dan memutuskan secara obyektif dan benar. Ahli tersebut dapat berasal dari Kantor Paten atau dari instansi Pemerintah yang terkait atas permintaan Kantor Paten.

Keputusan Pengadilan Negeri dapat saja lebih pendek dari jangka waktu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah dan hal itu tergantung dari hasil pemeriksaan selama persidangan.

Pada dasarnya, jangka waktu untuk pelaksanaan paten berdasar Lisensi Wajib ini diatur dalam Peraturan Pemerintah. Selain masalah jangka waktu, dalam Peraturan Pemerintah tersebut diatur pula ketentuan antara lain mengenai tata cara dengar pendapat, dasar dan cara penetapan besarnya royalti, pendaftaran Lisensi Wajib dan pembatalan Lisensi Wajib.

Penundaan tersebut dapat berlangsung selama waktu yang dinilai wajar untuk melihat dan memberi kesempatan kepada Pemegang Paten bahwa ia benar‑benar berusaha dan dapat menunjukkan bukti nyata mengenai kegiatan dan hasil pelaksanaan patennya.

Bilamana demikian halnya, Pengadilan Negeri selanjutnya dapat menolak permintaan lisensi.

Tetapi kalau sampai akhir penundaan tersebut memang terbukti lain, atau selama waktu penundaan tidak ada tanda‑tanda atau bukti akan mampu dilaksanakannya paten tersebut secara komersial, Pengadilan membuka kembali persidangan dan melanjutkan pemeriksaan terhadap permintaan lisensi.

Royalti adalah sejumlah uang yang dibayarkan oleh Pemegang Lisensi Wajib kepada Pemegang Paten.

Perjanjian lain yang sejenis, maksudnya adalah perjanjian yang lazim dibuat dalam pengalihan kemampuan atau pengetahuan tentang teknologi yang tidak dipatenkan.

Mengenai bentuk imbalan dan cara pembayarannya lihat pula ketentuan Pasal 13.

Biaya tersebut adalah untuk pendaftaran dan untuk pemeliharaan catatan untuk setiap tahun selama jangka waktu berlakunya lisensi tersebut.

Keadaan ini biasanya terjadi dalam pelaksanaan paten yang merupakan hasil penyempurnaan atau pengembangan penemuan yang lebih dahulu telah dilindungi paten. Oleh karenanya, pelaksanaan paten yang baru tersebut berarti melaksanakan sebagian atau seluruh penemuan yang telah dilindungi paten yang dipegang oleh orang lain.

Apabila Pemegang Paten terdahulu memberi lisensi bagi pelaksanaan paten yang merupakan hasil penyempurnaan atau pengembangan berikutnya, jelas tidak menjadi masalah.

Tetapi kalau lisensi untuk itu tidak diberikan, semestinya Undang‑ undang ini menyediakan jalan keluarnya.

Oleh karenanya, agar paten yang diberikan belakangan dapat dilaksanakan, sudah sewajarnya bila yang terakhir ini juga dimungkinkan untuk melaksanakannya tanpa melanggar paten yang terdahulu. Hal itu hanya dapat terlaksana apabila Lisensi Wajib diberikan oleh Pengadilan. Contoh mengenai hal ini adalah sebagai berikut :

Paten A terdiri atas 4 klaim, yang seluruhnya merupakan satu kesatuan.

Paten B, yang diperoleh sesudah paten A, pada dasarnya berisikan 3 klaim yang pada hakekatnya merupakan penyempurnaan dan pengembangan 3 klaim diantara 4 klaim dalam paten A. Sebagai hasil penyempurnaan dan pengembangan, sudah barang tentu paten B memiliki basis teknologi yang ada pada paten A. Seandainya Pemegang Paten B bermaksud akan melaksanakan patennya, hal tersebut akan sulit tanpa melanggar salah satu klaim dalam paten A.

Bila Pemegang Paten A memberikan lisensi kepada Pemegang Paten B untuk melaksanakan satu klaim miliknya, jelas tidak akan timbul masalah. Tetapi kalau Pemegang Paten A tidak bersedia memberikan lisensi maka satu‑satunya jalan bagi Pemegang Paten B adalah meminta Lisensi Wajib kepada Pengadilan Negeri.

Alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian Lisensi Wajib adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (2).

Syarat dan ketentuan yang dimaksud adalah sebagaimana antara lain diatur dalam Pasal 83           ayat (1) dan Pasal 85.

Ayat (2) dan ayat (3)

Pemberitahuan putusan pembatalan Lisensi Wajib oleh Pengadilan Negeri dan pemberitahuan pencatatan serta pengumuman oleh Kantor Paten harus dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin. Oleh karena putusan pembatalan tersebut hanya menyangkut lisensi Wajib yang pernah diberikan putusan oleh Pengadilan Negeri atas permintaan bekas Pemegang Lisensi Wajib yang bersangkutan dan pemberian atau pembatalannya juga terikat pada syarat tertentu, maka pembatalan tersebut tidak dimintakan banding dan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125.

Pada prinsipnya Lisensi Wajib tidak dapat dialihkan. Sebab, lisensi seperti ini hanya diberikan dalam keadaan khusus, dan terikat pada syarat‑syarat yang khusus pula dalam pelaksanaannya.

Dikecualikan dari ketentuan tersebut adalah dalam hal pewarisan, yaitu orang perorangan yang memperoleh lisensi tersebut meninggal dunia.

Bagi badan hukum, tidak berlaku ketentuan tentang pewarisan.

Agak berlainan halnya dengan Lisensi Wajib yang dimintakan dalam kaitannya dengan pelaksanaan suatu paten, seperti yang diatur dalam Pasal 88. Dalam hal ini, pengalihan tetap dapat berlangsung. Sebab, yang dialihkan adalah paten yang baru, yang pelaksanaannya tidak mungkin dapat berlangsung tanpa melanggar paten yang lama dan untuk itu dimintakan Lisensi Wajib.

Bagi badan yang baru tadi, ketentuan tentang dapat berlakunya paten sebagaimana diatur dalam Pasal 73 berlaku sepenuhnya.

Dalam hal beralihnya Lisensi Wajib berlangsung karena pewarisan, maka pelaksanaannya oleh ahli waris tetap              terikat pada syarat‑syarat pemberiannya dan ketentuan lainnya, serta berlangsung untuk sisa jangka waktu yang masih ada.

Selain itu, beralihnya Lisensi Wajib karena pewarisan tersebut harus dilaporkan kepada Kantor Paten untuk selanjutnya dicatat.

Karena pelaksanaan paten serupa ini sangat tergantung pada persetujuan Pemerintah, maka tidak dilaksanakannya paten tersebut selama jangka waktu 48 (empat puluh delapan) bulan sejak pemberian paten tidak dianggap sebagai tidak dilaksanakannya paten yang bersangkutan.

Karena paten pada dasarnya hak yang diterima dari Negara untuk selama jangka waktu tertentu, maka kalau yang bersangkutan tidak menghendaki hak tersebut lebih lanjut, dapat saja Negara membatalkan hak yang telah diberikannya.

Permintaan untuk itu diajukan oleh Pemegang Paten secara tertulis kepada Kantor Paten.

Persetujuan Pemegang Lisensi dalam pembatalan paten dimaksudkan untuk melindungi kepentingan Pemegang Lisensi.

Lihat penjelasan ayat (2)

Termasuk pula dalam pengertian ini adalah paten yang sudah ada tetapi kemudian penggunaan, pengumuman atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang‑undangan, ketertiban umum atau kesusilaan. Paten serupa ini dapat pula digugat pembatalannya.

Gugatan pembatalan ini biasanya ditujukan terhadap paten yang diberikan belakangan kepada orang lain, tetapi untuk penemuan yang sebenarnya sama.

Penentuan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk melayani gugatan serupa ini, dimaksudkan untuk memusatkan pemeriksaan mengingat penyelesaiannya sangat memerlukan data dan penjelasan dari Kantor Paten.

Lihat pula penjelasan Ayat (2)

Apabila ada klaim yang dimintakan pembatalan karena alasan seperti yang diatur dalam Pasal 95, dan kemudian dinyatakan benar, maka pembatalan hanya ditujukan terhadap klaim yang dimintakan pembatalan.

Dalam hal ini, berarti sebagian paten dibatalkan.

Sekalipun gugatan tersebut oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat disampaikan kepada Kantor Paten, tetapi penyampaian tersebut lebih bersifat pemberitahuan. Pemanggilan untuk pemeriksaan sehubungan dengan adanya gugatan tersebut, tetap dilakukan sendiri oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Begitu pula halnya dengan penyampaian putusan.

Sejauh mengenai hak Pemegang Lisensi berkenaan dengan pembatalan paten, periksa penjelasan Pasal berikut.

Keputusan mengenai batalnya paten, baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian, tidak mulai berlaku sejak adanya pemberitahuan Kantor Paten atau tanggal pencatatannya dalam Daftar Umum Paten ataupun tanggal pengumumannya.

Yang digunakan untuk titik tolak pada dasarnya adalah tanggal putusan pengadilan, kecuali bilamana dalam putusan itu ditetapkan tanggal yang lain. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pencatatan dan lain‑lain oleh Kantor Paten, biasanya baru berlangsung beberapa waktu setelah putusan Pengadilan. Dengan begitu, perlindungan terhadap pihak lain dapat diberikan sedini mungkin.

Ketentuan ini merupakan perlindungan terhadap Pemegang Lisensi.

Bagi Pemegang Lisensi Paten yang dibatalkan, pada dasarnya terus dapat melaksanakan hak yang diperolehnya. Bedanya, lisensi tersebut menjadi lisensi atas paten lainnya yang tidak dibatalkan.

Kewajiban pembayaran royalti berikutnya berpindah kepada Pemegang Paten yang tidak dibatalkan.

Kewenangan ini terbatas hanya apabila paten mempunyai arti yang penting bagi penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara. Dengan sendirinya, paten yang dimaksud adalah paten yang diberikan di Indonesia saja.

Karena pertahanan keamanan Negara menyangkut kepentingan Nasional, maka adalah wajar bila Pemerintah diberi kewenangan untuk melaksanakannya. Masalahnya bukan sekedar kelangsungan hidup Negara, atau semakin kuatnya Negara di mana paten yang bersangkutan diberikan dan dilindungi, tetapi hal ini juga merupakan salah satu sisi daripada fungsi sosial suatu paten di Indonesia.

Namun begitu, bilamana suatu paten atau pelaksanaannya sekedar memiliki kaitan dengan kebutuhan penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara, tetapi tidak mempunyai arti/pengaruh yang penting dan karenanya tidak diperlukan sekali, Pemerintah tidak perlu menggunakan kewenangan ini.

Sekalipun kewenangan untuk melaksanakan sendiri paten tersebut diberikan, tetapi hal itu tidak berarti bahwa keputusan untuk itu dapat dilakukan setiap orang dalam pemerintahan. Keputusan untuk itu hanya dapat diberikan oleh Presiden, setelah mendengar pertimbangan Menteri dan Menteri yang bertanggung‑ jawab di bidang pertahanan keamanan Negara. Dengan begitu ketentuan ini merupakan pembatasan pertama terhadap kewenangan tersebut, sehingga tidak digunakan secara merugikan penemu atau yang berhak atas penemuan.

Ketentuan ini khusus untuk penemuan yang belum diberi paten, tetapi proses permintaannya sedang berlangsung. Penemuan yang dalam pemeriksaan awal sudah dapat diketahui memiliki arti penting bagi penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara, atau pelaksanaannya akan sangat penting arti dan pengaruhnya terhadap pertahanan keamanan Negara, menurut Pasal 52 tidak boleh diumumkan.

Sekalipun menurut ketentuan Pasal 53 terhadap penemuan serupa itu pada saatnya dan apabila diminta juga akan dilakukan pemeriksaan substantif, tetapi bila kepentingan seperti itu timbul, Negara tetap dapat melaksanakan penemuan tersebut.

Pembebasan kewajiban pembayaran biaya pemeliharaan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pelaksanaan paten tersebut sangat tergantung kepada persetujuan Pemerintah.

Pemberitahuan dilakukan secara tertulis dan disampaikan kepada Pemegang Paten yang bersangkutan dalam waktu yang secukupnya, setelah mendengar pendapat dan saran Pemegang Paten yang bersangkutan.

Apabila suatu paten di Indonesia dianggap penting artinya oleh Pemerintah bagi penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, paten tersebut dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah dalam jangka waktu tertentu dengan mempertimbangkan aspek keamanan.

Apabila Pemerintah tidak lagi bermaksud melaksanakan sendiri paten tersebut sedangkan jangka waktu paten belum berakhir maka hak Pemegang Paten atas patennya menjadi pulih. Dalam hal demikian Pemegang Paten yang bersangkutan dapat melaksanakan sendiri atau memberi lisensi kepada pihak lain dan untuk itu harus mendapat persetujuan Pemerintah.

Imbalan yang diberikan Pemerintah kepada Pemegang Paten lebih berarti sebagai kompensasi yang besarnya disamakan dengan pemakaian atas dasar lisensi dalam suatu kegiatan ekonomi pada umumnya.

Imbalan dalam hal ini lebih berarti sebagai kompensasi daripada sebagai royalti, oleh karena itu imbalan yang wajar harus diberikan.

Penghitungannya, dilakukan dengan memperhatikan cara yang lazim digunakan dalam praktek pemberian lisensi, termasuk komponen harga yang biasa digunakan dalam cara perhitungan tersebut yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Termasuk dalam pengaturan ini adalah kemungkinan pemberian semacam imbalan tambahan dalam bentuk hadiah atau bonus atau apapun yang sejenis bilamana keadaan tertentu dari pelaksanaan paten tersebut ternyata diperoleh manfaat ekonomi yang besarnya melebihi perkiraan awal.

Hal ini penting, karena pemikiran yang mendasari pemberian kewenangan seperti ini sama sekali jauh dari perampasan hak atau penyitaan kekayaan seseorang. Oleh sebab itu, cara penyampaiannya perlu pula dilakukan secara sederhana, cepat dan langsung.

Keputusan Pemerintah dalam bidang ini adalah benar‑benar untuk kepentingan pertahanan keamanan Negara.

Proses penilaian dan pertimbangan berlangsung secara cermat, berjenjang dan berakhir hingga keluarnya Keputusan Presiden. Mengingat kepentingan yang diwakili Pemerintah lebih menguatkan keselamatan, kebutuhan, ketentraman dan ketertiban kehidupan seluruh penduduk Negara, maka keputusan Pemerintah bersifat final.

Ketentuan dalam Bab ini barulah bersifat pokok. Karena menyangkut hak seseorang, sudah sepantasnya bilamana ketentuan ini segera diikuti ketentuan yang lebih bersifat rinci dan mampu memberikan kejelasan operasionalisasinya.

Karena proses penemuannya berlangsung sederhana dan hasil yang diperoleh juga bersifat sederhana, maka penemuan yang dihasilkan biasanya hanya berisikan 1 (satu) klaim.

Dengan ketentuan ini maka terhadap setiap permintaan Paten Sederhana secara langsung dilakukan pemeriksaan substantif tanpa perlu adanya pengumuman.

Sekalipun demikian syarat  kelengkapan sebagaimana lazimnya permintaan paten pada dasarnya tetap harus dipenuhi.

Karena Paten sederhana ini menyangkut teknologi yang proses penemuannya berlangsung sederhana, maka tidak diperlukan adanya mekanisme banding seperti halnya paten pada umumnya.

Dari segi ekonomi dan jangka waktu perlindungan yang relatif pendek, proses yang semakin panjang tidak pula menguntungkan bagi penemu itu sendiri.

Lihat penjelasan Pasal 10.

Karena hasil penemuan tersebut bersifat sederhana, sudah sepantasnya pula bila prosedur perolehan Paten Sederhana juga dibuat sederhana.

Artinya, lebih sederhana kalau dibanding dengan prosedur perolehan paten.

Begitupula untuk hal‑hal lainnya, yang pada dasarnya perlu dibedakan misalnya pengenaan biaya pemeriksaan dan lain‑lain yang dipandang perlu.

Biaya yang dibayarkan tersebut dan biaya lainnya yang ditentukan dalam Undang‑undang ini merupakan penerimaan Negara.

Contoh pembayaran biaya tahunan tersebut adalah :

A memperoleh Paten pada tanggal 1 Januari 1980 maka kewajiban pembayaran biaya tahunan yang pertama harus dipenuhi selambat‑lambatnya tanggal 31 Desember 1980 tersebut. Untuk biaya tahunan tiap‑tiap tahun berikutnya harus dibayar selambat‑lambatnya tanggal 1 Januari setiap tahun.

Ayat (1) dan Ayat (2)

Jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut didasarkan atas pertimbangan untuk memberikan kesempatan yang cukup kepada Pemegang Paten untuk mempertimbangkan sendiri kelangsungan patennya. Pembatalan paten karena tidak membayar biaya tahunan diberitahukan oleh Kantor Paten kepada Pemegang Paten secara tertulis. Dalam pemberitahuan tersebut dimuat tanggal berakhirnya paten yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan Pasal ini.

Pengenaan biaya tambahan sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) untuk tiap tahun tersebut dimaksudkan agar Pemegang Paten benar‑benar memperhatikan kewajibannya.

Ayat (1) dan Ayat (2)

Penyelenggaraan administrasi tersebut meliputi penyelenggaraan dokumentasi dan pelayanan informasi paten.

Sebagai salah satu sumber informasi teknologi, paten merupakan sarana bagi peningkatan penguasaan dan kemampuan bangsa di bidang teknologi. Oleh karenanya, masalah dokumentasi dan informasi paten memiliki arti dan peran yang sangat penting bahkan strategis. Untuk itu, Kantor Paten perlu diberi dorongan untuk menyusun sistem dokumentasi dan khususnya sistem jaringan informasi yang saling terkait dan kuat.

Dalam rangka ini, Kantor Paten memanfaatkan kemampuan dan fasilitas yang dimiliki instansi lainnya baik milik Pemerintah maupun swasta dengan kerjasama sebaik‑baiknya dalam mewujudkan sistem tersebut.

Selain itu, terbinanya dokumentasi dan sistem jaringan informasi yang baik dan tangguh, juga bermanfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas Kantor Paten itu sendiri, terutama dalam melakukan pemeriksaan paten. Masih dalam rangka pembangunan dan pengembangan sistem dokumentasi dan informasi paten secara nasional, Kantor Paten memanfaatkan kesempatan bantuan teknik dan kerjasama luar negeri.

Sekalipun pembinaan Kantor Paten pada dasarnya dilakukan oleh Menteri, tetapi mengingat paten memiliki segi‑segi yang sangat luas baik di bidang sosial‑budaya, ekonomi, politik dan pertahanan keamanan Negara, maka dalam pelaksanaan tugasnya Kantor Paten harus selalu memperhatikan pula kepentingan dan kecenderungan yang berlangsung di bidang di atas. Karenanya, Kantor Paten wajib bekerja seerat‑eratnya dengan berbagai instansi Pemerintah yang bersangkutan, termasuk instansi atau organisasi swasta.

Pertanggungjawabannya, tetap diberikan kepada Menteri.

Tuntutan ini menyangkut pemilikan paten. Dalam hal ini orang yang merasa bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 sebenarnya berhak atas suatu paten, dapat menuntut orang lain yang ternyata telah memperoleh paten.

Penentuan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa tuntutan serupa ini didasarkan pertimbangan antara lain :

a. kemudahan untuk memperoleh data termasuk dokumen yang diperlukan dalam pembuktian;

b. adanya faktor internasional dalam pelaksanaan sistem paten.

Namun demikian bilamana keadaan di masa mendatang telah memungkinkan, Menteri dapat menetapkan Pengadilan Negeri lainnya untuk melayani tuntutan yang serupa.

Yang dimaksud dengan hak yang melekat pada paten antara lain meliputi manfaat ekonomi yang telah dinikmati dari paten yang bersangkutan.

Ketentuan ini berlaku pula dalam hal adanya tuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 121 ayat (1).

Sekalipun paten merupakan hak milik perorangan, tetapi pelaksanaannya memiliki dampak yang sangat luas dalam segi lain terutama di bidang tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan politik.

Oleh karenanya, agar pelaksanaan hak tersebut dapat berlangsung dengan tertib, Negara juga mengancam pidana atas pelanggaran tertentu terhadap Undang‑undang ini.

Yang dimaksud Pengadilan Negeri adalah pengadilan tingkat pertama.

Pemberian wewenang kepada pejabat pegawai negeri sipil dalam ayat ini, sama sekali tidak mengurangi wewenang penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk menyidik tindak pidana di bidang paten.

Dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya pejabat pegawai negeri sipil tersebut berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang‑undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, diminta atau tidak diminta memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada pejabat penyidik pegawai negeri sipil tersebut pada ayat (1).

Yang dimaksud dengan petunjuk antara lain, ialah yang berkaitan dengan teknik dan taktik penyidikan sedangkan bantuan penyidikan antara lain penangkapan, penahanan dan pemeriksaan laboratorium.

Oleh karena itu, pejabat penyidik pegawai negeri sipil sejak awal wajib memberitahukan tentang penyidikan itu kepada penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Selanjutnya hasil penyidikan berupa berkas perkara, tersangka dan barang bukti diserahkan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Yang dimaksud dengan Pengumuman Pemerintah Tahun 1953 adalah Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.S.5/41/4 tanggal 12 Agustus 1953 yang dimuat dalam Berita Negara Nomor 69 tanggal 28 Agustus 1953 dan Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.G. 1/2/17 tanggal 29 Oktober 1953 yang dimuat dalam Berita Negara Nomor 91 tanggal 13 Nopember 1953.

Pembatasan bahwa yang dapat dimintakan paten adalah permintaan yang telah didaftarkan dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir didasarkan atas pertimbangan bahwa sekalipun dalam pengumuman tanggal 12 Agustus 1953 diberitahukan adanya kemungkinan untuk diberikan prioritas untuk diproses, tetapi hal itu pun berkaitan dengan realita yang berkaitan dengan jangka waktu paten yang diatur dalam Undang‑undang ini serta waktu yang dibutuhkan untuk memprosesnya.

Dalam pengajuan permintaan paten tersebut, sepenuhnya harus diikuti ketentuan Undang‑undang ini.

Karena dinyatakan gugur, maka pendaftaran tersebut dianggap tidak memiliki kekuatan hukum lagi dan karenanya tidak berlaku.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

PENERTIBAN PERJUDIAN

DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang    :     a.   bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan dengan Agama, Kesusilaan dan Moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, Bangsa dan Negara;

b.   bahwa oleh karena itu perlu diadakan usaha-usaha untuk menertibkan perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju kepenghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia;

c.   bahwa ketentuan-ketentuan dalam. Ordonansi tanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad Tahun 1912 Nomor 23O) sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan ditambah, terakhir dengan Ordonansi tanggal 31 Oktober 1935 (Staatsblad Tahun 1935 Nomor 526),  telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan;

d.   bahwa ancaman hukuman didalam pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengenai perjudian dianggap tidak sesuai lagi sehingga perlu diadakan perubahan dengan memperberatnya;

e.   bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas perlu disusun Undang-undang tentang Penertiban Perjudian.

Mengingat      :     1.   Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1);

2.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor lV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;

Mengingat pula :  1.   Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 303 ayat (1), (2) dan (3) dan Pasal 542 ayat (1) dan (2);

2.   Undang-undang  Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037).

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENERTIBAN PERJUDIAN.

Menyatakan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan.

(1) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 303 ayat (1) Kitab Undang- undang Hukum Pidana, dari Hukuman penjaara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah.

(2) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (1) Kitab Undang- undang Hukum Pidana,  dari hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah, menjadi hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah.

(3) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (2) Kitab Undang- undang Hukum Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta rupiah.

(4) Merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis.

(1) Pemerintah mengatur penertiban perjudian sesuai dengan jiwa dan maksud Undang-undang ini.

(2) Pelaksanaan ayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Perundang- undangan.

Terhitung mulai berlakunya peraturan Perundang-undangan dalam rangka penertiban perjudian dimaksud pada Pasal 3 Undang-undang ini, mencabut Ordonansi tanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad Tahun 1912 Nomor 230) sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan ditambah, terakhir dengan Ordonansi tanggal 31 Oktober 1935 (Staatsblad Tahun 1935 Nomor 526).

Undang-undang ini berlaku berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta,

pada tanggal 6 Nopember 1974

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 6 Nopember 1974

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 54

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

PENERTIBAN PERJUDIAN

Bahwa pada hakekatnya perjudian adalah bertentangan dengan Agama, Kesusilaan, dan Moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, Bangsa, dan Negara.

Namun melihat kenyataan dewasa ini, perjudian dengan segala macam bentuknya masih banyak dilakukan dalam masyarakat, sedangkan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad Tahun 1912 Nomor 230) dengan segala perubahan dan tambahannya, tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan.

Ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Meskipun kenyataan juga menunjukkan, bahwa hasil perjudian yang diperoleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, namun ekses negatipnya lebih besar daripada ekses positipnya.

Apabila Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 BAB II huruf C angka 5 menyimpulkan, bahwa usaha pembangunan dalam bidang materiil tidak boleh menelantarkan usaha dalam bidang spiritual, malahan kedua bidang tersebut harus dibangun secara simultan, maka adanya dua kepentingan yang berbeda tersebut perlu segera diselesaikan.

Pemerintah harus mengambil langkah dan usaha untuk menertibkan dan mengatur kembali perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju ke penghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia.

Penjudian adalah salah satu penyakit masyarakat yang manunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah dari generasi ke generasi ternyata tidak mudah diberantas. Oleh karena itu pada tingkat dewasa ini perlu diusahakan agar masyarakat menjauhi melakukan perjudian, perjudian terbatas pada lingkungan sekecil-kecilnya, dan terhindarnya ekses-ekses negatip yang lebih parah, untuk akhirnya dapat berhenti melakukan perjudian.

Maka untuk maksud tersebut perlu mengklasifikasikan segala macam bentuk tindak pidana perjudian sebagai kejahatan, dan memberatkan ancaman hukumannya, karena ancaman hukuman yang sekarang berlaku ternyata sudah tidak sesuai lagi dan tidak membuat pelakunya jera.

Selanjutnya kepada Pemerintah ditugaskan untuk menertibkan perjudian sesuai dengan jiwa dan maksud Undang-undang ini, antara lain dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk itu.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Dengan Pasal 3 ayat (1) ini Pemerintah dimaksudkan menggunakan kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk menertibkan perjudian, hingga akhirnya menuju kepenghapusan perjudian sama sekali dari Bumi Indonesia

Agar tidak terjadi kekosongan hukum selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur penertiban perjudian sebagai pelaksanaan Undang-undang ini, maka pasal ini dimaksudkan sebagai aturan peralihan.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3040

UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA

SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang    :     a.   bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan dan lembaga perwakilan rakyat yang mampu mencerminkan kedaulatan rakyat serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat sesuai dengan tuntutan politik yang berkembang;

b.   bahwa untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan dan lembaga perwakilan rakyat yang lebih mampu mencerminkan kedaulatan rakyat, diperlukan penataan ulang susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

c.   bahwa penataan ulang tersebut dimungkinkan sehubungan dengan telah dilakukannya penggantian terhadap undang‑undang mengenai partai politik dan undang‑undang mengenai pemilihan umum;

d.   bahwa sehubungan dengan itu dan dalam rangka mengoptimalkan peran rakyat dalam penyelenggaraan negara melalui lembaga permusyawaratan dan lembaga perwakilan rakyat dipandang perlu mencabut Undang‑undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1995 dan diganti dengan undang‑undang yang baru.

Mengingat      :     1.   Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 5 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 20 ayat (1) Undang‑Undang Dasar 1945;

2.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/1998;

3.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum;

4.   Undang‑undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3809);

5.   Undang‑undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3810);

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Menetapkan    :     UNDANG‑UNDANG TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.

Yang dimaksud dalam undang‑undang ini dengan:

1.   Majelis Permusyawaratan Rakyat yang selanjutnya disebut MPR adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang‑Undang Dasar 1945;

2.   Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang‑Undang Dasar 1945;

3.   Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II yang selanjutnya disebut DPRD I dan DPRD II;

4.   Utusan Daerah adalah tokoh masyarakat yang dianggap dapat membawakan kepentingan rakyat yang ada di daerahnya, yang mengetahui dan mempunyai wawasan serta tinjauan yang menyeluruh mengenai persoalan negara pada umumnya, dan yang dipilih oleh DPRD I dalam Rapat Paripurna untuk menjadi Anggota MPR mewakili daerahnya;

5.   Utusan Golongan adalah mereka yang berasal dari organisasi atau badan yang bersifat nasional, mandiri dan tidak menjadi bagian dari suatu partai politik serta yang kurang atau tidak terwakili secara proporsional di DPR dan terdiri atas golongan ekonomi, agama, sosial, budaya, ilmuwan, dan badan‑badan kolektif lainnya;

6.   Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut KPU adalah badan penyelenggara pemilihan umum yang bebas dan mandiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (2) Undang‑undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum;

7.   ABRI adalah singkatan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

(1) MPR terdiri atas Anggota DPR ditambah dengan:

b.   Utusan Golongan.

(2) Jumlah Anggota MPR adalah 700 orang dengan rincian:

a.   Anggota DPR sebanyak 500 orang;

b.   Utusan Daerah sebanyak 135 orang, yaitu 5 (lima) orang dari setiap Daerah Tingkat I;

c.   Utusan Golongan sebanyak 65 orang.

(3) Utusan Daerah dipilih oleh DPRD I.

(4) Tata cara pemilihan Anggota MPR Utusan Daerah sebagaimana dimaksud ayat (3) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD I.

(5) DPR menetapkan jenis dan jumlah wakil dari masing‑masing golongan.

(6) Utusan Golongan sebagaimana yang dimaksud ayat (5) diusulkan oleh golongannya masing‑masing kepada DPR untuk ditetapkan.

(7) Tata cara penetapan Anggota MPR Utusan Golongan sebagaimana yang dimaksud ayat (5) dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.

(1) Untuk dapat menjadi Anggota MPR, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a.   warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b.   dapat berbahasa Indonesia dan cakap menulis serta membaca dan berpendidikan serendah‑rendahnya sekolah lanjutan tingkat pertama atau yang berpengetahuan sederajat dan berpengalaman di bidang kemasyarakatan dan/atau kenegaraan;

c.   setia kepada cita‑cita Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila sebagai dasar negara, dan Undang‑Undang Dasar 1945;

d.   bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan seseorang yang terlibat langsung atau tak langsung dalam G‑30‑S/PKI atau organisasi terlarang lainnya;

e.   tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap;

f.    tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

g.   nyata‑nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.

(2) Anggota MPR harus bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3) Keanggotaan MPR diresmikan secara administrasi dengan Keputusan Presiden sebagai Kepala Negara.

Masa keanggotaan MPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir bersama‑sama pada saat Anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.

(1) Anggota MPR berhenti antarwaktu sebagai anggota karena:

a.   meninggal dunia;

b.   permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan MPR;

c.   bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d.   berhenti sebagai Anggota DPR;

e.   tidak lagi memenuhi syarat‑syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1) berdasarkan keterangan yang berwajib;

f.    dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai wakil rakyat dengan keputusan MPR;

g.   terkena larangan perangkapan jabatan sebagaimana yang dimaksud Pasa 41 ayat (1).

(2) Anggota MPR dari DPR yang berhenti antarwaktu sebagaimana yang dimaksud ayat (1) akan diganti menurut ketentuan Pasal 14 ayat (2).

(3) Anggota tambahan MPR yang berhenti antarwaktu sebagaimana yang dimaksud ayat (1) diganti menurut prosedur penetapan Utusan Daerah sebagaimana yang dimaksud Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) dan Utusan Golongan sebagaimana yang dimaksud Pasal 2 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7).

(4) Anggota Pengganti antarwaktu menyelesaikan masa kerja anggota yang digantikannya.

(5) Pemberhentian anggota karena tidak memenuhi lagi syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan/atau huruf f, dan/atau karena yang bersangkutan melanggar sumpah/janji Anggota MPR sebagaimana yang dimaksud Pasal 8 adalah pemberhentian dengan tidak hormat.

Pemberhentian Anggota MPR diresmikan secara administrasi dengan Keputusan Presiden sebagai Kepala Negara.

(1) Sebelum memangku jabatannya Anggota MPR bersumpah/berjanji bersama‑sama, yang pengucapannya dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam Rapat paripurna untuk peresmian anggota yang dihadiri oleh anggota‑anggota yang sudah ditetapkan menurut peraturan perundang‑undangan yang berlaku serta dipimpin oleh anggota tertua dan termuda usianya.

(2) Ketua Majelis atau Anggota Pimpinan yang lain memandu pengucapan sumpah/janji anggota yang belum bersumpah/berjanji sebagaimana yang dimaksud ayat (1).

(3) Tata cara pengucapan sumpah/janji diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR.

Bunyi Sumpah/Janji sebagaimana yang dimaksud Pasal 7 adalah sebagai berikut:

"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:

bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (Ketua/Wakil Ketua) Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan sebaik‑baiknya dan seadil‑adilnya;

bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang‑Undang Dasar 1945 serta peraturan perundang‑undangan yang berlaku;

bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."

(1) Pimpinan MPR terdiri atas seorang Ketua dan sebanyak‑banyaknya 5 (lima) orang Wakil Ketua yang mencerminkan fraksi‑fraksi berdasarkan urutan besarnya jumlah anggota fraksi.

(2) Pimpinan MPR terpisah dari Pimpinan DPR.

(3) Selama Pimpinan MPR belum terbentuk, rapat‑rapatnya untuk sementara waktu dipimpin oleh anggota yang tertua dan yang termuda usianya, yang disebut Pimpinan Sementara.

(4) Dalam hal anggota yang tertua dan/atau yang termuda usianya sebagaimana yang dimaksud ayat (3) berhalangan hadir, maka yang bersangkutan diganti oleh anggota yang tertua dan/atau termuda usianya di antara yang hadir dalam rapat tersebut.

(5) Tata cara pemilihan Pimpinan MPR diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR.

(1) Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang MPR, Pimpinan MPR membentuk Badan Pekerja MPR.

(2) Susunan anggota, tugas, dan wewenang Badan Pekerja MPR diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

(1) Pengisian Anggota DPR dilakukan berdasarkan hasil Pemilihan Umum dan pengangkatan.

(2) DPR terdiri atas:

a.   anggota partai politik hasil Pemilihan Umum;

b.   anggota ABRI yang diangkat.

(3) Jumlah Anggota DPR adalah 500 orang dengan rincian:

a.   anggota partai politik hasil Pemilihan Umum, sebanyak 462 orang;

b.   anggota ABRI yang diangkat, sebanyak 38 orang.

(1) Untuk dapat menjadi Anggota DPR, seseorang harus memenuhi syarat‑syarat  sebagaimana  yang  dimaksud  Pasal  3  ayat  (1)  dan ayat (2).

(2) Keanggotaan DPR diresmikan secara administrasi dengan Keputusan Presiden sebagai Kepala Negara.

Masa keanggotaan DPR adalah 5 (lima) tahun, dan berakhir bersama‑sama pada saat Anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.

(1) Anggota DPR berhenti antarwaktu sebagai anggota karena:

a.   meninggal dunia;

b.   permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan DPR;

c.   bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d.   tidak lagi memenuhi syarat‑syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1) berdasarkan keterangan yang berwajib;

e.   dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai wakil rakyat dengan keputusan DPR;

f.    terkena larangan perangkapan jabatan sebagaimana yang dimaksud Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3);

g.   diganti menurut Pasal 42 undang‑undang ini.

(2) Anggota DPR yang berhenti antarwaktu sebagaimana yang dimaksud ayat (1) digantikan oleh:

a.   calon yang diusulkan Dewan Pimpinan Partai Politik tingkat pusat yang bersangkutan yang diambil dari daftar calon tetap wakil partai politik dari daerah pemilihan yang sama dengan yang digantikannya;

b.   calon yang diajukan oleh Pimpinan ABRI bagi Anggota DPR yang berasal dari ABRI.

(3) Anggota pengganti antarwaktu menyelesaikan masa kerja anggota yang digantikannya.

(4) Tata cara penggantian sebagaimana yang dimaksud ayat (2) ditetapkan oleh KPU.

(5) Pemberhentian anggota karena tidak memenuhi lagi syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan/atau huruf f, dan/atau karena yang bersangkutan melanggar sumpah/janji Anggota DPR sebagaimana yang dimaksud Pasal 16, dan/atau diberhentikan menurut Pasal 42 undang‑undang ini adalah pemberhentian dengan tidak hormat.

(1) Sebelum memangku jabatannya Anggota DPR bersumpah/berjanji bersama‑sama, yang pengucapannya dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam Rapat Paripurna untuk peresmian anggota yang dihadiri oleh anggota‑anggota yang sudah ditetapkan menurut peraturan perundang‑undangan yang berlaku serta dipimpin oleh anggota tertua dan termuda usianya.

(2) Ketua DPR atau Anggota Pimpinan yang lain memandu pengucapan sumpah/janji anggota yang belum bersumpah/berjanji sebagaimana yang dimaksud ayat (1).

(3) Tata cara pengucapan sumpah/janji diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.

Bunyi Sumpah/Janji sebagaimana yang dimaksud Pasal 15 adalah sebagai berikut:

"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:

bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (Ketua/Wakil Ketua) Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik‑baiknya dan seadil‑adilnya;

bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang‑Undang Dasar 1945 serta peraturan perundang‑undangan yang berlaku;

bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."

(1) Pimpinan DPR bersifat kolektif terdiri atas seorang Ketua dan sebanyak‑banyaknya 4 (empat) orang Wakil Ketua yang mencerminkan fraksi‑fraksi berdasarkan urutan besarnya jumlah anggota fraksi.

(2) Pimpinan DPR terpisah dari Pimpinan MPR.

(3) Selama Pimpinan DPR belum terbentuk, rapat‑rapatnya untuk sementara waktu dipimpin oleh anggota yang tertua dan yang termuda usianya, yang disebut Pimpinan Sementara.

(4) Dalam hal anggota yang tertua dan/atau yang termuda usianya sebagaimana yang dimaksud ayat (3) berhalangan, sebagai penggantinya adalah anggota yang tertua dan/atau termuda usianya di antara yang hadir dalam rapat tersebut.

(5) Tata cara pemilihan Pimpinan DPR diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TINGKAT I

(1) Pengisian Anggota DPRD I dilakukan berdasarkan hasil Pemilihan Umum dan pengangkatan.

(2) DPRD I terdiri atas:

a.   anggota partai politik hasil Pemilihan Umum;

b.   anggota ABRI yang diangkat.

(3) Jumlah Anggota DPRD I ditetapkan sekurang‑kurangnya 45 orang dan sebanyak‑banyaknya 100 orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.

(1) Untuk dapat menjadi Anggota DPRD I, seseorang harus memenuhi syarat‑syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1).

(2) Anggota DPRD I harus bertempat tinggal di dalam wilayah Daerah Tingkat I yang bersangkutan.

(3) Keanggotaan DPRD I diresmikan secara administrasi dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden sebagai Kepala Negara.

Masa keanggotaan DPRD I adalah 5 (lima) tahun, dan berakhir bersama‑sama pada saat Anggota DPRD I yang baru mengucapkan sumpah/janji.

(1) Anggota DPRD I berhenti antarwaktu sebagai anggota karena:

a.   meninggal dunia;

b.   permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan DPRD I;

c.   bertempat tinggal di luar wilayah Daerah Tingkat I yang bersangkutan;

d.   tidak lagi memenuhi syarat‑syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1) berdasarkan keterangan yang berwajib;

e.   dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai Anggota DPRD I;

f.    terkena larangan perangkapan jabatan sebagaimana yang dimaksud Pasal 41 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4);

g.   diganti menurut Pasal 42 undang‑undang ini.

(2) Anggota DPRD I yang berhenti antarwaktu sebagaimana yang dimaksud ayat (1) digantikan oleh:

a.   calon yang diusulkan Dewan Pimpinan Partai Politik di Daerah Tingkat I yang bersangkutan yang diambil dari daftar calon tetap wakil partai politik dari daerah pemilihan yang sama;

b.   calon yang diajukan oleh Pimpinan ABRI bagi anggota DPRD I yang berasal dari ABRI.

(3) Anggota pengganti antarwaktu menyelesaikan masa kerja anggota yang digantikannya.

(4) Pemberhentian DPRD I diresmikan secara administrasi dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden sebagai Kepala Negara.

(5) Pemberhentian anggota karena tidak memenuhi lagi syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan/atau huruf f, dan/atau karena yang bersangkutan melanggar sumpah/janji Anggota DPRD I sebagaimana yang dimaksud Pasal 23, dan/atau diberhentikan menurut Pasal 42 undang‑undang ini adalah pemberhentian dengan tidak hormat.

(1) Sebelum memangku jabatannya Anggota DPRD I bersumpah/berjanji bersama‑sama, yang pengucapannya dipandu oleh Ketua Pengadilan Tinggi dalam Rapat Paripurna untuk peresmian anggota yang dihadiri oleh anggota‑anggota yang sudah ditetapkan menurut peraturan perundang‑undangan yang berlaku serta dipimpin oleh anggota tertua dan termuda usianya.

(2) Ketua DPRD I atau Anggota Pimpinan yang lain memandu pengucapan sumpah/janji anggota yang belum bersumpah/berjanji sebagaimana yang dimaksud ayat (1).

(3) Tata cara pengucapan sumpah/janji diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD I.

Bunyi Sumpah/Janji sebagaimana yang dimaksud Pasal 22 adalah sebagai berikut:

"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:

bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (Ketua/Wakil Ketua) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I dengan sebaik‑baiknya dan seadil‑adilnya;

bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang‑Undang Dasar 1945 serta peraturan perundang‑undangan yang berlaku;

bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."

(1) Pimpinan DPRD I bersifat kolektif terdiri atas seorang Ketua dan sebanyak‑banyaknya tiga orang Wakil Ketua yang mencerminkan fraksi‑fraksi berdasarkan urutan besarnya jumlah anggota fraksi.

(2) Selama Pimpinan DPRD I belum terbentuk, rapat‑rapatnya untuk sementara waktu dipimpin oleh anggota yang tertua usianya dibantu oleh anggota termuda usianya.

(3) Dalam hal anggota yang tertua dan/atau yang termuda usianya sebagaimana yang dimaksud ayat (2) berhalangan, sebagai penggantinya adalah anggota yang tertua dan/atau termuda usianya di antara yang hadir dalam rapat tersebut.

(4) Tata cara Pemilihan Umum DPRD I diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD I.

(1) Pengisian Anggota DPRD II dilakukan berdasarkan hasil Pemilihan Umum dan pengangkatan.

(2)      DPRD II terdiri atas:

a.   anggota partai politik hasil Pemilihan Umum;

b.   anggota ABRI yang diangkat.

(3) Jumlah Anggota DPRD II ditetapkan sekurang‑kurangnya 20 orang dan sebanyak‑banyaknya 45 orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.

(1) Untuk dapat menjadi Anggota DPRD II, seseorang harus memenuhi syarat‑syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1).

(2) Anggota DPRD II harus bertempat tinggal di dalam wilayah Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

(3) Keanggotaan DPRD II diresmikan secara administrasi dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden sebagai Kepala Negara.

Masa keanggotaan DPRD II adalah 5 (lima) tahun, dan berakhir bersama‑sama pada saat Anggota DPRD II yang baru mengucapkan sumpah/janji.

(1) Anggota DPRD II berhenti antarwaktu sebagai anggota karena:

a.   meninggal dunia;

b.   permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan DPRD II;

c.   bertempat tinggal di luar wilayah Daerah Tingkat I yang bersangkutan;

d.   tidak lagi memenuhi syarat‑syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1) berdasarkan keterangan yang berwajib;

e.   dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai Anggota DPRD II;

f.    terkena larangan perangkapan jabatan sebagaimana yang dimaksud Pasal 41 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4);

g.   diganti menurut Pasal 42 undang‑undang ini.

(2) Anggota DPRD II yang berhenti antarwaktu sebagaimana yang dimaksud ayat (1) digantikan oleh:

a.   calon yang diusulkan Dewan Pimpinan Partai Politik di Daerah Tingkat II yang bersangkutan yang diambil dari daftar calon tetap wakil partai politik dari daerah pemilihan yang sama;

b.   calon yang diajukan oleh Pimpinan ABRI bagi anggota DPRD II yang berasal dari ABRI.

(3) Anggota pengganti antarwaktu menyelesaikan masa kerja anggota yang digantikannya.

(4) Pemberhentian Anggota DPRD II diresmikan secara administrasi dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden sebagai Kepala Negara.

(5) Pemberhentian anggota karena tidak memenuhi lagi syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan/atau huruf f, dan/atau karena yang bersangkutan melanggar sumpah/janji Anggota DPRD II sebagaimana yang dimaksud Pasal 30, dan/atau diberhentikan menurut Pasal 42 undang‑undang ini adalah pemberhentian dengan tidak hormat.

(1) Sebelum memangku jabatannya Anggota DPRD II bersumpah/berjanji bersama‑sama, yang pengucapannya dipandu oleh Ketua Pengadilan Tinggi dalam Rapat Paripurna untuk peresmian anggota yang dihadiri oleh anggota‑anggota yang sudah ditetapkan menurut peraturan perundang‑undangan yang berlaku serta dipimpin oleh anggota tertua dan termuda usianya.

(2) Ketua DPRD II atau Anggota Pimpinan yang lain memandu pengucapan sumpah/janji anggota yang belum bersumpah/berjanji sebagaimana yang dimaksud ayat (1).

(3) Tata cara pengucapan sumpah/janji diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD II.

Bunyi Sumpah/Janji sebagaimana yang dimaksud Pasal 22 adalah sebagai berikut:

"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:

bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (Ketua/Wakil Ketua) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II dengan sebaik‑baiknya dan seadil‑adilnya;

bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang‑Undang Dasar 1945 serta peraturan perundang‑undangan yang berlaku;

bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."

(1) Pimpinan DPRD II bersifat kolektif terdiri atas seorang Ketua dan sebanyak‑banyaknya 3 (tiga) orang Wakil Ketua yang mencerminkan fraksi‑fraksi berdasarkan urutan besarnya jumlah anggota fraksi.

(2) Selama Pimpinan DPRD II belum terbentuk, rapat‑rapatnya untuk sementara waktu dipimpin oleh anggota yang tertua usianya dibantu oleh anggota termuda usianya.

(3) Dalam hal anggota yang tertua dan/atau yang termuda usianya sebagaimana yang dimaksud ayat (2) berhalangan, sebagai penggantinya adalah anggota yang tertua dan/atau termuda usianya di antara yang hadir dalam rapat tersebut.

(4) Tata cara Pemilihan Umum DPRD II diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD II.

KEDUDUKAN MPR, DPR, DAN DPRD

Tugas, Wewenang, dan Hak MPR, DPR, dan DPRD

(1) MPR, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, merupakan lembaga tertinggi negara dan pemegang serta pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.

(2) MPR mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam Undang‑Undang Dasar 1945.

(3) Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, MPR mempunyai hak sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR.

(1) DPR, sebagai lembaga tinggi negara, merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila.

(2) DPR mempunyai tugas dan wewenang:

a.   bersama‑sama dengan Presiden membentuk undang‑undang;

b.   bersama‑sama dengan Presiden menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

c.   melaksanakan pengawasan terhadap:

1)  pelaksanaan undang‑undang;

2)  pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

3)  kebijakan Pemerintah sesuai dengan jiwa Undang‑Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR;

d.   membahas hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang diberitahukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, yang disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR, untuk dipergunakan sebagai bahan pengawasan;

e.   membahas untuk meratifikasi dan/atau memberi persetujuan atas pernyataan perang serta pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh Presiden;

f.    menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat;

g.   melaksanakan hal‑hal yang ditugaskan oleh Ketetapan MPR dan/atau undang‑undang kepada DPR.

(3) Untuk melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana yang dimaksud ayat (2), DPR mempunyai hak:

a.   meminta keterangan kepada Presiden;

b.   mengadakan penyelidikan;

c.   mengadakan perubahan atas rancangan undang‑undang;

d.   mengajukan pernyataan pendapat;

e.   mengajukan rancangan undang‑undang;

f.    mengajukan/menganjurkan seseorang untuk jabatan tertentu jika ditentukan oleh suatu peraturan perundang‑undangan;

g.   menentukan anggaran DPR.

(4) Selain hak‑hak DPR sebagaimana yang dimaksud ayat (3), yang pada hakekatnya merupakan hak‑hak anggota, Anggota DPR juga mempunyai hak :

a.   mengajukan pertanyaan;

c.   keuangan/administrasi.

(5) Pelaksanaan sebagaimana yang dimaksud ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.

(1) DPRD, sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah, merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila.

(2) DPRD mempunyai tugas dan wewenang:

a.   memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota;

b.   mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota kepada Presiden;

c.   bersama dengan Gubernur, Bupati, dan Walikota menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

d.   bersama dengan Gubernur, Bupati, dan Walikota membentuk peraturan daerah;

e.   melaksanakan pengawasan terhadap;

1)  pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang‑undangan lain;

2)  pelaksanaan peraturan‑peraturan dan keputusan Gubernur, Bupati, dan Walikota;

3)  pelaksanaan peraturan‑peraturan dan keputusan Gubernur, Bupati, dan Walikota;

4)  kebijakan Pemerintah Daerah yang disesuaikan dengan pola dasar pembangunan daerah;

5)  pelaksanaan kerja sama internasional di daerah;

f.    memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah;

g.   menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;

(3) Untuk melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana yang dimaksud ayat (2), DPRD mempunyai hak:

a.   meminta pertanggungjawaban Gubernur, Bupati, dan Walikota;

b.   meminta keterangan kepada Pemerintah Daerah;

c.   mengadakan penyelidikan;

d.   mengadakan perubahan atas rancangan peraturan daerah;

e.   mengajukan pernyataan pendapat;

f.    mengajukan rancangan peraturan daerah;

g.   menentukan anggaran DPRD.

(4) Selain hak‑hak DPRD sebagaimana yang dimaksud ayat (3), yang pada hakekatnya merupakan hak‑hak anggota, Anggota DPRD juga mempunyai hak:

a.   mengajukan pertanyaan;

c.   keuangan/administrasi.

(5) Pelaksanaan sebagaimana yang dimaksud ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.

(1) DPR dan DPRD, dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan tingkatannya masing‑masing, berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan negara, bangsa, pemerintahan, dan pembangunan.

(2) Pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat yang menolak permintaan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) diancam karena merendahkan martabat dan kehormatan DPR dan DPRD dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun.

(3) Pelaksanaan hak sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR dan DPRD.

(1) Perjanjian‑perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak, bangsa, dan negara baik di bidang politik, keamanan, sosial budaya, ekonomi, maupun keuangan yang dilakukan Pemerintah memerlukan persetujuan DPR sesuai dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal kerjasama internasional yang berkaitan dengan kepentingan daerah, Pemerintah wajib memperhatikan sungguh‑sungguh suara dari Pemerintah Daerah dan DPRD.

Alat Kelengkapan MPR, DPR, dan DPRD

(1) Alat kelengkapan MPR terdiri atas:

(2) Alat kelengkapan DPR terdiri atas:

b.   Komisi dan Subkomisi;

c.   Badan Musyawarah, Badan Urusan Rumah Tangga, Badan Kerja Sama Antar‑Parlemen, dan badan lain yang dianggap perlu;

d.   Panitia‑Panitia.

(3) Alat kelengkapan DPRD terdiri atas:

c.   Panitia‑Panitia.

(4) Selain alat kelengkapan sebagaimana yang dimaksud ayat (2) dan ayat (3), DPR, dan DPRD membentuk fraksi‑fraksi.

(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang dimaksud ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR, DPR, dan DPRD.

Kekebalan Anggota MPR, DPR, dan DPRD

(1) Anggota MPR, DPR, dan DPRD tidak dapat dituntut di muka Pengadilan karena pernyataan dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat MPR, DPR, dan DPRD, baik terbuka maupun tertutup, yang diajukannya secara lisan ataupun tertulis, kecuali jika yang bersangkutan mengumumkan apa yang disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal‑hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam Buku Kedua Bab I KUHP.

(2) Anggota MPR, DPR, dan DPRD tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat‑rapat MPR, DPR, dan DPRD.

Kedudukan Protokoler dan Keuangan

Kedudukan protokoler dan keuangan Pimpinan dan Anggota MPR, DPR, dan DPRD diatur oleh masing‑masing badan tersebut bersama‑sama Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

Peraturan Tata Tertib

Peraturan Tata Tertib MPR, DPR, dan DPRD ditentukan sendiri oleh masing‑masing lembaga tersebut.

LARANGAN DAN PENYIDIKAN TERHADAP ANGGOTA

(1) Keanggotaan MPR tidak boleh dirangkap oleh:

b.   pejabat struktural pada pemerintahan;

c.   pejabat pada lembaga peradilan;

d.   pejabat lain sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

(2) Keanggotaan DPR dan DPRD tidak boleh dirangkap dengan jabatan apapun di lingkungan pemerintahan dan peradilan pada semua tingkatan.

(3) Keanggotaan DPR tidak boleh dirangkap dengan keanggotaan DPRD atau sebaliknya.

(4) Keanggotaan DPRD di suatu daerah tidak boleh dirangkap dengan keanggotaan DPRD dari daerah lain.

(1) Anggota DPR dan DPRD dilarang melakukan pekerjaan/usaha yang biayanya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(2) Pelanggaran sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat dikenakan sanksi sampai dengan diberhentikan sebagai Anggota DPR dan DPRD.

(3) Penerapan sanksi atas pelanggaran ketentuan sebagaimana yang dimaksud ayat (1), dilaksanakan secara administrasi oleh Pimpinan DPR dan DPRD atas usul dan pertimbangan fraksi yang bersangkutan setelah mendengar pertimbangan dan penilaian dari badan yang dibentuk khusus untuk itu.

(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang dimaksud ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR dan DPRD.

Dalam hal seorang Anggota MPR, DPR, dan DPRD patut disangka telah melakukan perbuatan pidana, maka pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikan harus mendapat persetujuan tertulis Presiden bagi Anggota MPR dan DPR, persetujuan tertulis Menteri Dalam Negeri bagi Anggota DPRD I, dan persetujuan tertulis Gubernur bagi Anggota DPRD II sesuai dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

Anggota MPR, DPR, dan DPRD periode Tahun 1997‑2002 berakhir keanggotaannya secara bersama‑sama pada  saat  Anggota  MPR,  DPR, dan DPRD yang baru hasil Pemilihan Umum Tahun 1999 mengucapkan sumpah/janji.

Khusus pengisian Anggota MPR hasil Pemilihan Umum Tahun 1999 dari Utusan Golongan sebagaimana yang dimaksud Pasal 2 ayat (2) huruf c, ayat (5), dan ayat (6) diatur sebagai berikut:

a.   KPU menetapkan jenis dan jumlah wakil masing‑masing golongan;

b.   Utusan Golongan sebagaimana yang dimaksud huruf a diusulkan oleh golongannya masing‑masing kepada KPU untuk ditetapkan yang selanjutnya diresmikan secara administrasi dengan Keputusan Presiden sebagai Kepala Negara;

c.   Tata cara penetapan Anggota MPR dari Utusan Golongan sebagaimana yang dimaksud huruf a dan huruf b diatur lebih lanjut oleh KPU.

Pelaksanaan tugas, wewenang, dan hak DPRD sebagaimana yang dimaksud Pasal 34 mulai berlaku, pada saat berlakunya undang‑undang mengenai pemerintahan daerah, sebagai pengganti Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok‑Pokok Pemerintahan di Daerah.

Dengan berlakunya undang‑undang ini, maka Undang‑undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1995 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Undang‑Undang ini dapat disebut Undang‑undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Undang‑undang ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang‑undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

pada tanggal 1 Februari 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 1 Februari 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 24

UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA

SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

Menurut Undang‑Undang Dasar 1945, kekuasaan tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan asas kedaulatan rakyat dengan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Keanggotaan MPR itu terdiri atas anggota DPR ditambah dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan sehingga seluruh rakyat, seluruh golongan, dan seluruh daerah mempunyai wakil dalam MPR dan MPR betul‑betul merupakan penjelmaan rakyat.

Sejalan dengan hal itu, pemerintahan negara dan pemerintahan daerah juga diselenggarakan dengan dasar dan sendi permusyawaratan/perwakilan sehingga diperlukan adanya badan permusyawaratan/perwakilan, yaitu MPR, DPR, dan DPRD, yang sesuai dengan kewenangan dan lingkup tugas masing‑masing, mewakili rakyat dalam membentuk pemerintahan dan menyusun peraturan perundang‑undangan.

Agar lebih mampu mencerminkan penegakan kedaulatan rakyat, Undang‑undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang ada perlu diganti.

Penggantian undang‑undang tersebut dimaksudkan untuk lebih menjamin keterwakilan penduduk dan daerah, menjamin pertanggungjawaban wakil rakyat kepada pemilihnya, menjamin keberdayaan MPR, DPR, dan DPRD dalam melaksanakan tugas, wewenang serta haknya, dan mengembangkan kemitraan dan kesetaraan dengan lembaga eksekutif, sehingga kualitas dan kinerja MPR, DPR, dan DPRD makin meningkat.

Pembaruan dalam Undang‑Undang ini cukup mendasar; tidak hanya mencakup komposisi dan jumlah anggota MPR, DPR, dan DPRD, tetapi juga menyangkut penjabaran ataupun penegasan tugas, wewenang, dan hak MPR, DPR, dan DPRD, serta perluasan ruang gerak anggota badan‑badan ini untuk melaksanakan hak‑haknya. Pembaruan itu dilakukan karena adanya penggantian undang‑undang mengenai partai politik dan undang‑undang mengenai pemilihan umum.

Dalam rangka menjamin keterwakilan penduduk seperti yang disebutkan di atas, jumlah anggota yang dipilih makin ditingkatkan, sesuai dengan sistem pemilihan umum yang ditetapkan. Prinsip keterwakilan daerah diwujudkan dengan penetapan jumlah yang sama bagi Utusan Daerah di MPR dari setiap Propinsi Daerah Tingkat I. Sementara itu, untuk menjamin keterwakilan golongan‑golongan masyarakat, Utusan Golongan di MPR dipilih dari mereka yang kurang terwakili di DPR.

Rasa tanggung jawab wakil rakyat kepada para pemilihnya ditingkatkan dengan menampilkan wakil yang dikenal oleh rakyat di daerah pemilihannya. Kualitas dan kinerja anggota MPR, DPR, dan DPRD ditingkatkan melalui penetapan persyaratan kemampuan, pengalaman, dan integritas pribadi yang tinggi. Kinerja kelembagaan dicapai dengan menjamin adanya kesempatan yang lebih luas kepada MPR, DPR, dan DPRD untuk melaksanakan tugas, wewenang, dan hak‑haknya.

Pemberdayaan MPR dilaksanakan dengan memisahkan pimpinan MPR dari pimpinan DPR dan membentuk Badan Pekerja MPR yang bersifat tetap. Sementara itu, pemberdayaan DPR dan DPRD dilakukan tidak hanya dengan meningkatkan jumlah anggota DPR dan DPRD yang dipilih, tetapi juga dengan menjabarkan dan menegaskan tugas, wewenang, dan hak‑hak DPR dan DPRD dalam perumusan kebijakan publik, penyusunan anggaran, pengawasan, dan rekomendasi untuk pengisian jabatan tertentu sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.

Peraturan Tata Tertib DPR menetapkan kriteria, jenis, dan jumlah wakil masing‑masing golongan secara objektif dan representatif.

Tidak pernah melakukan tindakan atau mengajukan pernyataan yang bertentangan dengan cita‑cita Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana yang dirumuskan dalam pembukaan Undang‑Undang Dasar 1945.

Yang dimaksud dengan "terlibat secara langsung dalam G‑30‑S/PKI" adalah:

1)  Mereka yang merencanakan, turut merencanakan, atau mengetahui adanya perencanaan G‑30‑S/PKI, tetapi tidak melaporkan kepada pejabat yang berwajib.

2)  Mereka yang dengan kesadaran akan tujuannya melakukan kegiatan‑kegiatan dalam pelaksanaan G‑30‑S/PKI tersebut.

Yang dimaksud "terlibat secara tidak langsung dalam G‑30‑S/PKI" adalah:

1)  Mereka yang menunjukkan sikap, baik dalam perbuatan atau dalam ucapan‑ucapan, yang bersifat menyetujui G‑30‑S/PKI.

2)  Mereka yang secara sadar menunjukkan sikap, baik dalam perbuatan atau dalam ucapan, yang menentang usaha penumpasan G‑30‑S/PKI.

Yang dimaksud dengan organisasi terlarang dalam pasal ini ialah organisasi‑organisasi yang tegas‑tegas dinyatakan terlarang dengan peraturan perundang‑undangan.

Ketentuan‑ketentuan ini tidak berlaku bagi mereka yang berdasarkan suatu peraturan perundang‑undangan telah mendapat amnesti atau abolisi atau grasi.

Dinyatakan dengan surat keterangan dokter yang berwenang.

Proses administrasi dilakukan KPU.

Yang dimaksud "permintaan sendiri" adalah juga permintaan Pimpinan ABRI bagi anggota MPR dari ABRI.

Proses administrasi dilakukan oleh KPU.

Termasuk pengucapan sumpah/janji anggota pengganti antarwaktu.

Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai kata‑kata tertentu sesuai dengan agama masing‑masing,    yaitu misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan kata "Demi Allah" dan untuk penganut agama Kristen/Katolik diakhiri dengan kata‑kata "Semoga Tuhan menolong saya".

Badan Pekerja MPR bersifat tetap. Untuk mendukung pelaksanaan tugas pimpinan MPR dan Badan Pekerja MPR dibentuk suatu sekretariat.

Proses administrasi dilakukan oleh KPU.

Yang dimaksud "permintaan sendiri" adalah juga permintaan Pimpinan ABRI bagi anggota DPR dari ABRI.

Termasuk pengucapan sumpah/janji anggota pengganti antarwaktu.

Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai kata‑kata tertentu sesuai dengan agama masing‑masing, yaitu misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan kata "Demi Allah" dan untuk penganut agama Kristen/Katolik diakhiri dengan kata‑kata "Semoga Tuhan menolong saya".

Jumlah Anggota DPRD I ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk yaitu:

Sampai dengan 3.000.000 sebanyak 45 orang;

3.000.001 ‑ 5.000.000 sebanyak 55 orang;

5.000.001 ‑ 7.000.000 sebanyak 65 orang;

7.000.001 ‑ 9.000.000 sebanyak 75 orang;

9.000.001 ‑ 12.000.000 sebanyak 100 orang.

Hasil perhitungan 10% dari jumlah Anggota DPRD I yang berasal dari ABRI mulai dari 0,5 ke atas dibulatkan menjadi 1 (satu).

Proses administrasi dilakukan oleh Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I.

Yang dimaksud "permintaan sendiri" adalah juga permintaan Pimpinan ABRI bagi anggota DPRD I dari ABRI.

Proses administrasi penggantian antarwaktu Anggota DPRD I dilakukan oleh DPRD I dan pengajuannya dilakukan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri.

Termasuk pengucapan sumpah/janji anggota pengganti antarwaktu.

Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai kata‑kata tertentu sesuai dengan agama masing‑masing, yaitu misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan kata "Demi Allah" dan untuk penganut agama Kristen/Katolik diakhiri dengan kata‑kata "Semoga Tuhan menolong saya".

Jumlah Anggota DPRD II ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk yaitu:

Sampai dengan 100.000 sebanyak 20 orang;

100.001 ‑ 200.000 sebanyak 25 orang;

200.001 ‑ 300.000 sebanyak 30 orang;

300.001 ‑ 400.000 sebanyak 35 orang;

400.001 ‑ 500.000 sebanyak 40 orang;

lebih dari 500.000 sebanyak 45 orang.

Hasil perhitungan 10% dari jumlah Anggota DPRD II yang berasal dari ABRI mulai dari 0,5 ke atas dibulatkan menjadi 1 (satu).

Proses administrasi dilakukan oleh Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II.

Yang dimaksud "permintaan sendiri" adalah juga permintaan Pimpinan ABRI bagi anggota DPRD II dari ABRI.

Proses administrasi penggantian antarwaktu Anggota DPRD II dilakukan oleh DPRD II dan pengajuannya dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya kepada Gubernur.

Termasuk pengucapan sumpah/janji anggota pengganti antarwaktu.

Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai kata‑kata tertentu sesuai dengan agama masing‑masing, yaitu misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan kata "Demi Allah" dan untuk penganut agama Kristen/Katolik diakhiri dengan kata‑kata "Semoga Tuhan menolong saya".

DPRD, sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah, melaksanakan fungsi legislatif sepenuhnya sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat di daerah dan berkedudukan sejajar sebagai mitra Pemerintah Daerah serta bukan bagian dari Pemerintah Daerah.

DPR dan DPRD adalah lembaga yang merefleksikan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, setiap warganegara wajib menjunjung tinggi kehormatan dan martabat DPR/DPRD dengan memenuhi permintaan lembaga tersebut dan memberi keterangan seperti yang diminta, termasuk menunjukkan dan/atau menyerahkan segala dokumen yang diperlukan.

Badan Pekerja dan Komisi‑komisi dapat membentuk alat kelengkapannya.

Panitia‑panitia sebagai alat kelengkapan DPR dibentuk dan disahkan oleh Rapat Paripurna.

Apabila dipandang perlu dapat dibentuk Subkomisi.

Panitia‑panitia sebagai alat kelengkapan DPRD dibentuk dan disahkan oleh Rapat Paripurna.

Fraksi‑fraksi di DPR dan DPRD mencerminkan konfigurasi politik yang ada di DPR dan DPRD.

Pembentukan fraksi dimaksud agar DPR dan DPRD mampu melaksanakan tugas, wewenang, dan haknya secara optimal dan efektif.

Pengertian "anggota" pada ayat ini termasuk anggota sebagai Pimpinan.

yang dimaksud dengan "rapat" adalah semua rapat MPR, DPR, dan DPRD, baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar gedung MPR, DPR, dan DPRD.

Yang dimaksud dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku termasuk peraturan daerah.

Para pejabat yang dimaksud pada ayat (1) adalah Presiden, Wakil Presiden, Anggota Kabinet, Jaksa Agung,      Anggota dan Pimpinan DPA, Anggota dan Pimpinan Mahkamah Agung, Anggota dan Pimpinan BPK, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Lembaga Pemerintahan Non‑Departemen, Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Bupati/Walikotamadya, Wakil Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, dan jabatan lain yang tidak boleh dirangkap sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

Badan khusus yang dibentuk untuk itu bersifat sementara dan berfungsi meneliti pelanggaran yang dilakukan Anggota DPR dan DPRD sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), sebagai bahan pertimbangan pengambilan tindakan atau untuk merehabilitasi nama baik.

Untuk meneliti pelanggaran lain dapat dibentuk badan khusus.

Persetujuan yang dimaksud adalah persetujuan tertulis langsung tanpa hak substitusi.

Ketentuan ini diperlukan mengingat akan adanya penggantian Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok‑pokok Pemerintahan di Daerah.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3811

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

TATA CARA PENCALONAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,

DEWAN PERKALILAN RAKYAT DAERAH TINGKAT I (PROPINSI), DAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TINGKAT II (KABUPATEN/KOTA)

DARI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang    :     a.   bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 11, Pasal 18, dan Pasal 25 Undang‑undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pengisian Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I (Propinsi), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota) dilakukan berdasarkan hasil Pemilihan Umum dan Pengangkatan;

b.   bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I (Propinsi), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota) yang diangkat tersebut pada huruf a, berasal dari anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;

c.   bahwa berdasarkan hal tersebut pada huruf a dan b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 84 Undang‑undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, dipandang perlu mengatur Tata Cara Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I (Propinsi), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota) dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden;

Mengingat      :     1.   Pasal 4 ayat (1) Undang‑Undang Dasar 1945;

2.   Undang‑undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang‑undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang‑undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368);

3.   Undang‑undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3810);

4.   Undang‑undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3811);

5.   Undang‑undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

Menetapkan    :     KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PENCALONAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERKALILAN RAKYAT DAERAH TINGKAT I (PROPINSI), DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TINGKAT II (KABUPATEN/KOTA) DARI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan :

a.   Dewan Perwakilan Rakyat adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang‑Undang Dasar 1945;

b.   Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II yang selanjutnya disebut DPRD I (Propinsi) dan DPRD II (Kabupaten/Kota);

c.   ABRI adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia);

d.   Pejabat ABRI yang berwenang adalah pejabat yang ditunjuk oleh PANGAB (Panglima TNI) untuk menandatangani surat‑surat pemenuhan syarat calon Anggota DPR, DPRD I (Propinsi), dan DPR II (Kabupaten/Kota) yang berasal dari ABRI yang diangkat;

e.   Tim Peneliti  adalah Tim yang bertugas meneliti pemenuhan persyaratan administrasi dan ketentuan pengajuan calon Anggota DPR, DPRD I (Propinsi), dan DPRD II (Kabupaten/Kota) yang berasal dari ABRI yang diangkat.

Anggota DPR, DPRD I (Propinsi), dan DPRD II (Kabupaten/Kota) terdiri dari anggota yang dipilih melalui pemilihan umum dan ABRI yang diangkat.

(1) Jumlah Anggota DPR yang berasal dari ABRI yang diangkat ditetapkan sebanyak 38 (tiga puluh delapan) orang.

(2) Jumlah Anggota DPRD I (Propinsi) yang berasal dari ABRI yang diangkat ditetapkan sebanyak 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah Anggota DPRD I (Propinsi) yang ditetapkan untuk setiap daerah pemilihan.

(3) Jumlah Anggota DPRD II (Kabupaten/Kota) yang berasal dari ABRI yang diangkat ditetapkan sebanyak 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah Anggota DPRD II (Kabupaten/Kota) yang ditetapkan untuk setiap daerah pemilihan.

Jumlah Anggota DPRD I (Propinsi) dan DPRD II (Kabupaten/Kota) dari ABRI yang diangkat untuk setiap daerah pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan (3) ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum.

(1) Calon Anggota DPR, DPRD I (Propinsi), dan DPRD II (Kabupaten/Kota) yang berasal dari ABRI yang diangkat, harus memenuhi syarat‑syarat sebagai berikut :

a.   Warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b.   dapat berbahasa Indonesia, cakap menulis dan membaca huruf latin serta berpendidikan serendah‑rendahnya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau yang berpengetahuan sederajat dan berpengalaman dibidang kemasyarakatan dan atau kenegaraan;

c.   setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang‑Undang Dasar 1945 dan cita‑cita Proklamasi 17 Agustus 1945;

d.   bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya;

(2) Selain memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diperlukan kelengkapan persyaratan lainya, yaitu :

a.   Surat Pernyataan Daftar Kekayaan Pribadi;

b.   bagi calon Anggota DPR harus bertempat tinggal di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi calon Anggota DPRD I (Propinsi) harus bertempat tinggal di Wilayah Daerah Tingkat I yang bersangkutan dan bagi calon Anggota DPRD II (Kabupaten/Kota) harus mengenal Wilayah Daerah Tingkat II yang bersangkutan;

c.   Surat Persetujuan dari PANGAB (Panglima TNI) bagi calon Anggota DPR dan Surat Persetujuan dari PANGDAM (selaku Koordinator) bagi calon Anggota DPRD I (Propinsi) dan calon Anggota DPRD II (Kabupaten/Kota);

d.   keanggotaan DPR dan DPRD tidak boleh dirangkap dengan jabatan apapun di lingkungan Pemerintahan dan Peradilan pada semua tingkatan;

e.   keanggotaan DPR tidak boleh dirangkap dengan keanggotaan DPRD atau sebaliknya dan keanggotaan DPRD disuatu daerah tidak boleh dirangkap dengan keanggotaan DPRD dari daerah lain.

(1) Pengajuan calon Anggota DPR yang berasal dari ABRI dilakukan secara tertulis oleh PANGAB (Panglima TNI) kepada Presiden dengan menggunakan Formulir Surat Pencalonan (Formulir Model B‑ ABRI).

(2) Pengajuan calon Anggota DPRD I (Propinsi) yang berasal dari ABRI dilakukan secara tertulis oleh PANGDAM setempat kepada Menteri Dalam Negeri dengan menggunakan Formulir Surat Pencalonan (Formulir Model B ‑ ABRI).

(3) Pengajuan calon Anggota DPRD II (Kabupaten/Kota) yang berasal dari ABRI dilakukan secara tertulis oleh PANGDAM setempat kepada Gubernur dengan menggunakan Formulir  Surat Pencalonan (Formulir B ‑ ABRI).

Jumlah calon yang diajukan sebanyak‑banyaknya dua kali dan sekurang‑kurangnya sama dengan jumlah anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Nama calon yang diajukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 disusun dalam satu Daftar Nama calon anggota DPR, DPRD I (Propinsi), dan DPRD II (Kabupaten/Kota) yang berasal dari ABRI dengan menggunakan Formulir Daftar Nama Calon (Formulir Model BA ‑ ABRI).

(1) Daftar Nama Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 berisi antara lain :

g.   Nama Kesatuan dan Tempat Kedudukan;

g.   Alamat Tempat Tinggal.

(2) Penulisan Nama dalam Daftar Nama Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan ABRI.

(1) Setiap calon yang namanya tercantum dalam Daftar Nama Calon (Model BA‑ABRI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus dilengkapi dengan Surat Keterangan dan Surat Pernyataan mengenai diri calon

(2) Surat Keterangan dan Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :

a.   Surat Penyertaan Kesediaan dan Persetujuan Menjadi Calon, dibuat oleh calon sendiri dengan menggunakan Formulir Model BB‑ABRI dan diketahui oleh Pejabat ABRI yang berwenang;

b.   Surat Keterangan sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, dibuat oleh Pejabat ABRI yang berwenang dengan menggunakan Formulir Model BB1‑ABRI;

c.   Surat Pernyataan sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, dibuat oleh calon sendiri dengan menggunakan Formulir Model BB2‑ABRI dan diketahui oleh Pejabat ABRI yang berwenang;

d.   Surat Pernyataan sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, dibuat oleh calon sendiri dalam bentuk Surat Pernyataan Daftar kekayaan Pribadi dengan menggunakan Formulir Model BB3‑ABRI dan diketahui oleh Pejabat ABRI yang berwenang;

e.   Daftar Riwayat Hidup, dibuat oleh calon sendiri dengan menggunakan Formulir Model BB4‑ABRI dan diketahui oleh Pejabat ABRI yang berwenang, dengan menyertakan pas photo calon ukuran 4x6 cm sebanyak 5 (lima) lembar;

f.    Surat Keterangan sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e, dibuat oleh dokter Pemerintah dalam bentuk Surat Keterangan Kesehatan dan diketahui oleh Pejabat ABRI yang berwenang;

g.   Surat Persetujuan sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c, dibuat oleh PANGAB (Panglima TNI) bagi calon Anggota DPR, oleh PANGDAM (selaku Koordinator) bagi calon Anggota DPRD I (Propinsi) dan calon Anggota DPRD II (Kabupaten/Kota);

h.   Surat Pernyataan sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d, dan e dibuat oleh calon sendiri dalam bentuk Surat Pernyataan Tidak Merangkap Jabatan dan diketahui oleh Pejabat ABRI yang berwenang.

Surat pengajuan calon beserta lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 dibubuhi dengan Cap Jabatan.

(1) Surat pencalonan bagi Anggota DPR dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan masing‑masing dimasukkan dalam map tersendiri.

(2) Surat pencalonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Presiden dan tembusannya sebanyak 2 (dua) rangkap disampaikan masing‑masing :

a.   1 (satu) rangkap untuk Tim Peneliti Tingkat Pusat;

b.   1 (satu) rangkap untuk Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum.

(1) Surat pencalonan bagi Anggota DPRD I (Propinsi) dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan masing‑masing dimasukkan dalam map tersendiri.

(2) Surat pencalonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri Dalam Negeri, dan terbusannya sebanyak 2 (dua) rangkap disampaikan masing‑masing :

a.   1 (satu) rangkap untuk Gubernur;

b.   1 (satu) rangkap untuk Sekretariat Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I.

(1) Surat pencalonan bagi Anggota DPRD II (Kabupaten/Kota) dibuat dalam rangkap 4 (empat) dan masing‑masing dimasukkan dalam map tersendiri.

(2) Surat pencalonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Gubenur dan tembusannya sebanyak 3 (tiga) rangkap disampaikan masing‑masing :

a.   1 (satu) rangkap untuk Bupati/Walikota;

b.   1 (satu) rangkap untuk Tim Peneliti Tingkat Daerah;

c.   1 (satu) rangkap untuk Sekretariat Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II.

(1) Untuk melaksanakan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan administrasi dan ketentuan pengajuan calon, dibentuk Tim Peneliti yang terdiri :

a.   Tim Peneliti Tingkat Pusat;

b.   Tim Peneliti Tingkat Daerah.

(2) Tim peneliti Tingkat Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri dari Unsur Departemen Dalam Negeri, Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, Departemen Pertahanan Keamanan, Markas Besar ABRI, dan Sekretariat Negara yang bertugas meneliti pemenuhan persyaratan administrasi dan ketentuan pengajuan calon Anggota DPR dan Anggota DPRD I (Propinsi) yang berasal dari ABRI yang diangkat.

(3) Tim Peneliti Tingkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri dari Unsur Direktorat Sosial Politik Propinsi, Sekretariat Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I, Kodam/Korem, Biro Pemerintahan dan Biro Hukum Sekretariat Wilayah Daerah Tingkat I yang bertugas meneliti pemenuhan persyaratan administrasi dan ketentuan pengajuan calon Anggota DPRD II (Kabupaten/Kota) yang berasal dari ABRI yang diangkat.

(1) Penelitian terhadap pemenuhan persyaratan administrasi dan ketentuan pengajuan calon Anggota DPR dan Anggota DPRD I (Propinsi) dilakukan oleh Tim Peneliti Tingkat Pusat yang dibentuk dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri

(2) Penelitian terhadap pemenuhan persyaratan administrasi dan ketentuan pengajuan calon Anggota DPRD II (Kabupaten/Kota) dilakukan oleh Tim Peneliti Tingkat Daerah yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur.

Dalam melaksanakan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan administrasi dan ketentuan pengajuan calon, yang diteliti adalah :

a.   Formulir Model B ‑ ABRI (Surat Pencalonan Anggota DPR/DPRD I (Propinsi)/DPRD II (Kabupaten/Kota);

b.   Formulir Model BA ‑ ABRI (Daftar Nama Calon Anggota DPR/DPRD I (Propinsi)/DPRD II (Kabupaten/Kota);

c.   Formulir Model BB ‑ ABRI (Surat Pernyataan Kesediaan dan Persetujuan Menjadi Calon);

d.   Formulir Model BB1 ‑ ABRI (Surat Keterangan Syarat‑syarat Calon);

e.   Formulir Model BB2 ‑ ABRI (Surat Pernyataan Setia Kepada Pancasila dan UUD 1945 bagi Calon);

f.    Formulir Model BB3 ‑ ABRI (Surat Pernyataan Daftar Kekayaan Pribadi Calon);

g.   Formulir Model BB4 ‑ ABRI (Daftar Riwayat Hidup Calon);

h.   Surat Keterangan Kesehatan;

I.    Surat Persetujuan;

j.    Surat Pernyataan Tidak Merangkap Jabatan.

Tim Peneliti melaksanakan kegiatan sebagai berikut :

a.   meneliti dengan cermat dan objektif terhadap nama‑nama calon yang diajukan melalui Surat Pengajuan Calon;

b.   meneliti kelengkapan, keabsahan dan kebenaran isi surat keterangan dan surat pernyataan masing‑masing calon;

c.   melakukan klarifikasi terhadap masing‑masing calon, baik melalui Pejabat ABRI yang berwenang ataupun secara langsung terhadap calon yang bersangkutan apabila diperlukan; dan

d.   melakukan pengecekan terhadap surat keterangan dan surat pernyataan dari masing‑masing calon yang diperoleh dari Pejabat ABRI yang berwenang untuk meyakinkan keabsahan dan kebenaran persyaratan administrasi dan ketentuan pengajuan calon.

(1) Hasil Penelitian Calon Anggota DPR dan Anggota DPRD I (Propinsi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dibuat secara tertulis dalam Berita Acara Hasil Penelitian Tim Peneliti Tingkat Pusat yang ditandatangani oleh Ketua dan Wakil Ketua, Sekretaris dan beberapa orang anggota.

(2) Hasil Penelitian Calon Anggota DPRD II (Kabupaten/Kota) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dibuat secara tertulis dalam Berita Acara Hasil Penelitian Tim Peneliti Tingkat Daerah yang ditandatangani oleh Ketua dan Wakil Ketua, Sekretaris dan beberapa orang anggota.

(1) Berita Acara Hasil Penelitian Tim Peneliti Tingkat Pusat terhadap pemenuhan persyaratan administrasi dan ketentuan pengajuan calon Anggota DPR diserahkan kepada Presiden.

(2) Berita Acara Hasil Penelitian Tim Peneliti Tingkat Pusat terhadap pemenuhan persyaratan administrasi dan ketentuan pengajuan calon Anggota DPRD I (Propinsi) diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Sosial dan Politik.

(3) Berita Acara Hasil Penelitian Tim Peneliti Tingkat Daerah terhadap pemenuhan persyaratan administrasi dan ketentuan pengajuan calon Anggota DPRD II (Kabupaten/Kota) diserahkan kepada Gubernur melalui Kepala Direktorat Sosial Politik Propinsi.

PERESMIAN KEANGGOTAAN

(1) Anggota DPR yang berasal dari ABRI yang diangkat, keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia.

(2) Anggota DPRD I (Propinsi) yang berasal dari ABRI yang diangkat, keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.

(3) Anggota DPRD II (Kabupaten/Kota) yang berasal dari ABRI yang diangkat, keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Gubernur atas nama Presiden.

Penerbitan Keputusan Pengangkatan dan Peresmian Keanggotaan DPR, DPRD I (Propinsi) dan DPRD II (Kabupaten/Kota) yang berasal dari ABRI yang diangkat adalah sebagai berikut :

a.   setelah menerima Surat Pengajuan Calon beserta Berita Acara Hasil Penelitian Tim Peneliti Tingkat Pusat, Presiden menerbitkan Keputusan Pengangkatan dan Peresmian Keanggotaan DPR yang berasal dari ABRI yang diangkat;

b.   setelah menerima Surat Pengajuan Calon beserta Berita Acara Hasil Penelitian Tim Peneliti Tingkat Pusat, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Keputusan Pengangkatan dan Peresmian Keanggotaan DPRD I (Propinsi) yang berasal dari ABRI yang diangkat;

c.   setelah menerima Surat Pengajuan Calon beserta Berita Acara Hasil Penelitian Tim Peneliti Tingkat Daerah, Gubernur menerbitkan Keputusan Pengangkatan dan Peresmian Keanggotaan DPRD II (Kabupaten/Kota) yang berasal dari ABRI yang diangkat.

(1) Tata Cara Pencalonan Pengganti Antar Waktu Anggota DPR yang berasal dari ABRI yang diangkat, diatur dengan Keputusan Presiden.

(2) Tata Cara Pencalonan Pengganti Antar Waktu Anggota DPRD I (Propinsi) dan DPRD II (Kabupaten/Kota) yang berasal dari ABRI yang diangkat, diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.

Formulir yang digunakan untuk pengisian Surat Keterangan dan Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8 dan Pasal 10 ayat (2) huruf a sampai huruf e serta huruf h adalah merupakan Lampiran Keputusan ini.

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

pada tanggal 9 Juli 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 9 Juli 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 122

LAMPIRAN TIDAK DAPAT DITAMPILKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang    :     a.   bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan kekayaan alam yang sangat tinggi nilainya, karena itu perlu dijaga keutuhan dan kelestarian fungsinya untuk dapat dimanfaatkan bagi sebesar‑besarnya kemakmuran rakyat;

b.   bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dan sebagai pelaksanaan dari Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; dipandang perlu mengatur kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat      :     1.   Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang‑Undang Dasar 1945;

2.   Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);

3.   Undang‑undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);

4.   Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok‑pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

5.   Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3260);

6.   Undang‑undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);

7.   Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);

8.   Undang‑undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

9.   Undang‑undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2945);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3225);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3294);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1991 tentang Rawa (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3441);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3544);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3550);

Menetapkan    :     PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM.

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1.   Sumber Daya Alam Hayati adalah unsur‑unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama‑sama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.

2.   Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

3.   Kawasan Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.

4.   Kawasan Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

5.   Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

6.   Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

7.   Kawasan Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.

8.   Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam    dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.

9.   Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab melaksanakan tugas pokok urusan kehutanan dan perkebunan.

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang.

Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan.

Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dilakukan sesuai dengan fungsi kawasan:

a.   sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;

b.   sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya;

c.   untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

(1) Ketentuan tentang perlindungan sistem penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.

(2) Pengawetan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b diatur sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, kecuali ketentuan mengenai pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan, diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.

(3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c diatur sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, kecuali ketentuan mengenai pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa, dan pemanfaatan kawasan dalam bentuk pengusahaan kegiatan kepariwisataan dan rekreasi pada zona pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.

Kawasan Suaka Alam tersendiri dari:

a.   Kawasan Cagar Alam, dan

b.   Kawasan Suaka Margasatwa.

Suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Alam atau Kawasan Suaka Margasatwa, setelah melalui tahapan kegiatan sebagai berikut:

a.   penunjukan kawasan beserta fungsinya;

b.   penataan batas kawasan, dan

c.   penetapan kawasan.

Suatu kawasan ditunjuk sebagai Kawasan Cagar Alam, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:

a.   mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dan tipe ekosistem;

b.   mewakili formasi biota tertentu dan atau unit‑unit penyusunnya;

c.   mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia;

d.   mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alam;

e.   mempunyai ciri khas potensi, dan dapat merupakan contoh ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; dan atau

f.    mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.

Suatu kawasan ditunjuk sebagai Kawasan Suaka Margasatwa apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:

a.   merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya;

b.   memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;

c.   merupakan habitat dari suatu jenis satwa langka dan atau dikhawatirkan akan punah;

d.   merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu, dan atau

e.   mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.

(1) Menteri menunjuk kawasan tertentu sebagai Kawasan Cagar Alam atau Kawasan Suaka Margasatwa berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9, dan setelah mendengar pertimbangan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.

(2) Terhadap kawasan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan penataan batas oleh sebuah Panitia Tata Batas yang keanggotaan dan tata kerjanya ditetapkan oleh Menteri.

(3) Menteri menetapkan Kawasan Cagar Alam atau Kawasan Suaka Margasatwa, berdasarkan Berita Acara Tata Batas yang direkomendasikan oleh Panitia Tata Batas.

Pemerintah bertugas mengelola Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa.

Setiap Kawasan Cagar Alam atau Kawasan Suaka Margasatwa dikelola berdasarkan satu rencana pengelolaan.

(1) Atas dasar kepentingan keutuhan ekosistem, pengelolaan satu atau lebih Kawasan Cagar Alam dan atau Kawasan Suaka Margasatwa dapat ditetapkan sebagai satu kawasan pengelolaan, dengan satu rencana pengelolaan.

(2) Dalam hal pengelolaan satu atau lebih Kawasan Cagar Alam dan atau Kawasan Suaka Margasatwa ditetapkan sebagai satu kawasan pengelolaan, maka rencana pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 merupakan bagian tidak terpisahkan dari rencana pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(1) Rencana pengelolaan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa disusun berdasarkan kajian aspek‑aspek ekologi, teknis, ekonomis, dan sosial budaya.

(2) Rencana pengelolaan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa sekurang‑kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis‑garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang rencana pengelolaan kawasan diatur dengan Keputusan Menteri.

Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa dikelola dengan melakukan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau jenis satwa beserta ekosistemnya.

Upaya pengawetan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa dilaksanakan dalam bentuk kegiatan:

a.   perlindungan dan pengamanan kawasan;

b.   inventarisasi potensi kawasan;

c.   penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengawetan.

(1) Selain kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, pada Kawasan Suaka Margasatwa juga dilakukan kegiatan dalam rangka pembinaan habitat dan populasi satwa.

(2) Pembinaan habitat dan populasi satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa:

a.   pembinaan padang rumput untuk makanan satwa;

b.   pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat berkubang dan mandi satwa;

c.   penanaman dan pemeliharaan pohon‑pohon pelindung dan pohon‑pohon sumber makanan satwa;

d.   penjarangan  ...

d.   penjarangan populasi satwa;

e.   penambahan tumbuhan atau satwa asli, dan atau

f.    pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.

Ketentuan lebih lanjut tentang kegiatan pengawetan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa diatur dengan Keputusan .

(1) Upaya pengawetan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 dilaksanakan dengan ketentuan dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa.

(2) Termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan kawasan, adalah:

a.   melakukan perburuan terhadap satwa yang berada di dalam kawasan;

b.   memasukkan jenis‑jenis tumbuhan dan satwa bukan asli ke dalam kawasan;

c.   memotong, merusak, mengambil, menebang, dan memusnahkan tumbuhan dan satwa dalam dan dari kawasan;

d.   menggali atau membuat lubang pada tanah yang mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa dalam kawasan, atau

e.   mengubah bentang alam kawasan yang mengusik atau mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa.

(3) Suatu kegiatan dapat dianggap sebagai tindakan permulaan melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), apabila melakukan perbuatan:

a.   memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan; atau

b.   membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil, mengangkut, menebang, membelah, merusak, berburu, memusnahkan satwa dan tumbuhan ke dan dari dalam kawasan.

(4) Kegiatan dalam rangka pembinaan habitat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 tidak termasuk dalam pengertian kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3).

Kawasan Cagar Alam dapat dimanfaatkan untuk keperluan:

a.   penelitian dan pengembangan;

b.   ilmu pengetahuan;

d.   kegiatan penunjang budidaya.

(1) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a; meliputi:

a.   penelitian dasar; dan

b.   penelitian untuk menunjang pemanfaatan dan budidaya.

(2) Ketentuan tentang kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri dan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

Kegiatan ilmu pengetahuan dan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b dan c dilakukan dalam bentuk pengenalan dan peragaan ekosistem cagar alam.

(1) Kegiatan penunjang budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d dilakukan dalam bentuk pengambilan, pengangkutan, dan atau penggunaan plasma nutfah tumbuhan dan satwa yang terdapat dalam kawasan cagar alam;

(2) Ketentuan tentang pengambilan, pengangkutan, dan penggunaan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri, dan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

Kawasan Suaka Margasatwa dapat dimanfaatkan untuk keperluan:

a.   penelitian dan pengembangan;

b.   ilmu pengetahuan;

d.   wisata alam terbatas; dan

e.   kegiatan penunjang budidaya.

(1) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, meliputi:

a.   penelitian dasar;

b.   penelitian untuk menunjang pemanfaatan dan budidaya.

(2) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri, dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

Kegiatan ilmu pengetahuan dan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b dan c dapat dilaksanakan dalam bentuk pengenalan dan peragaan ekosistem suaka margasatwa.

(1) Wisata alam terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf d terbatas pada kegiatan mengunjungi, melihat dan menikmati keindahan alam dan perilaku satwa di dalam Kawasan Suaka Margasatwa dengan persyaratan tertentu.

(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Kegiatan penunjang budidaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.

Pelaksanaan pemanfaatan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 24 dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.

KAWASAN PELESTARIAN ALAM

(1) Kawasan Pelestarian Alam, terdiri dari:

a.   Kawasan Taman Nasional;

b.   Kawasan Taman Hutan Nasional;

c.   Kawasan Taman Wisata Alam.

(2) Berdasarkan sistem zonasi pengelolaannya Kawasan Taman Nasional dapat dibagi atas:

b.   zona pemanfaatan;

c.   zona rimba; dan atau zona lain yang ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pelestarian sumber daya atau hayati dan ekosistemnya.

(1) Suatu kawasan ditunjuk sebagai Kawasan Taman Nasional; apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:

a.   kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;

b.   memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami;

c.   memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;

d.   memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam;

e.   merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

(2) Ditetapkan sebagai zona inti, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

a.   mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;

b.   mewakili formasi biota tertentu dan atau unit‑unit penyusunnya;

c.   mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia;

d.   mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami;

e.   mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi;

f.    mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.

(3) Ditetapkan sebagai zona pemanfaatan, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

a.   mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik;

b.   mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;

c.   kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.

(4) Ditetapkan sebagai zona rimba, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

a.   kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi;

b.   memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan;

c.   merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.

Suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Hutan Raya, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:

a.   merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah;

b.   memiliki keindahan alam dan atau gejala alam;

c.   mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa, baik jenis asli dan atau bukan asli.

Suatu kawasan ditetapkan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:

a.   mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau ekosistem gelala gejala alam serta formasi geologi yang menarik;

b.   mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;

c.   kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.

Penetapan Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 10.

Pengelolaan Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, dilakukan oleh Pemerintah.

Ketentuan tentang pengelolaan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Suaka Margasatwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 berlaku terhadap pengelolaan Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam dikelola dengan melakukan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.

Upaya pengawetan kawasan taman nasional dilaksanakan sesuai dengan sistem zonasi pengelolaannya.

Upaya pengawetan pada zona inti dilaksanakan dalam bentuk kegiatan:

a.   perlindungan dan pengamanan;

b.   inventarisasi potensi kawasan;

c.   penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan.

Upaya pengawetan pada zona pemanfaatan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan:

a.   perlindungan dan pengamanan;

b.   inventarisasi potensi kawasan;

c.   penelitian dan pengembangan dalam menunjang pariwisata alam.

(1) Upaya pengawetan pada zona rimba dilaksanakan dalam bentuk kegiatan:

a.   perlindungan dan pengamanan;

b.   inventarisasi potensi kawasan;

c.   penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan;

d.   pembinaan habitat dan populasi satwa.

(2) Pembinaan habitat dan populasi satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, dilaksanakan dalam bentuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).

Ketentuan lebih lanjut tentang pengawetan Kawasan Taman Nasional diatur dengan Keputusan Menteri.

(1) Upaya pengawetan Kawasan Taman Hutan Raya dilaksanakan dalam bentuk kegiatan:

a.   perlindungan dan pengamanan;

b.   inventarisasi potensi kawasan;

c.   penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan;

d.   pembinaan dan pengembangan tumbuhan dan atau satwa.

(2) Pembinaan dan pengembangan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, adalah untuk tujuan koleksi.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pengawetan Kawasan Taman Hutan Raya diatur dengan Keputusan Menteri.

(1) Upaya pengawetan Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam dilaksanakan dengan ketentuan dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan.

(2) Termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi Kawasan Taman Nasional atau Taman Hutan Raya, adalah:

a.   merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistemnya;

b.   merusak keindahan alam dan gejala alam;

c.   mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan;

d.   melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang.

(3) Suatu kegiatan, dapat dianggap sebagai tindakan permulaan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), apabila melakukan perbuatan:

a.   memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan;

b.   membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil, menangkap, berburu, menebang, merusak, memusnahkan dan mengangkut sumber daya alam ke dan dari dalam kawasan.

(4) Kegiatan dalam rangka pengawetan pada zona inti taman nasional termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi Kawasan Taman Nasional, apabila kegiatan tersebut telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

(1) Upaya pengawetan Kawasan Taman Wisata Alam dilaksanakan dalam bentuk kegiatan:

a.   perlindungan dan pengamanan;

b.   inventarisasi potensi kawasan;

c.   penelitian dan pengembangan yang menunjang pelestarian potensi;

d.   pembinaan habitat dan populasi satwa.

(2) Pembinaan habitat dan populasi satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, meliputi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pengawetan Kawasan Taman Wisata Alam diatur dengan Keputusan Menteri.

Termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi Kawasan Taman Wisata Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) adalah:

a.   berburu, penebang pohon, pengangkut kayu dan satwa atau bagian‑bagiannya di dalam dan ke luar kawasan, serta memusnahkan sumber daya alam di alam kawasan;

b.   melakukan kegiatan usaha yang menimbulkan pencemaran kawasan;

c.   melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana         pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pajabat yang berwenang.

Kegiatan dalam rangka pembinaan habitat dan populasi satwa pembinaan dan pengembangan tumbuhan atau satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasl 41 ayat (1) huruf d dan pasal 43 ayat (1) huruf d, tidak termasuk dalam pengertian kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 46.

Kawasan Tamanan Nasional dapat dimanfaatkan sesuai dengan sistem zonasi pengelolaannya.

(1) Zona inti dapat dimanfaatkan untuk keperluan:

a.   penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan;

b.   ilmu pengetahuan;

c.   pendidikan; dan atau

d.   kegiatan penunjang budidaya.

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23.

(1) Zona Pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk keperluan:

a.   pariwisata alam dan rekreasi;

b.   penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan;

c.   pendidikan; dan atau

d.   kegiatan penunjang budidaya.

(2) Kegiatan pariwisata alam dan rekreasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan huruf d. dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 28.

(4) Kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dapat berupa karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasil‑hasil penelitian serta peragaan dokumentasi tentang potensi kawasan tersebut.

(1) Zona Rimba dapat dimanfaatkan untuk keperluan:

a.   penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan;

b.   ilmu pengetahuan;

d.   kegiatan penunjang budidaya;

e.   wisata alam terbatas.

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28.

(1) Kawasan Taman Hutan Raya dapat dimanfaatkan untuk keperluan:

a.   penelitian dan pengembangan;

b.   ilmu pengetahuan;

d.   kegiatan penunjang budidaya;

e.   pariwisata alam dan rekreasi;

f.    pelestarian budaya.

(2) Kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, meliputi:

a.   penelitian dasar;

b.   penelitian untuk menunjang pengelolaan dan budidaya.

(3) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, c dan d, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 26 dan Pasal 28.

(5) Kegiatan pariwisata alam dan rekreasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dilaksanakan sesuai dengan peraturan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

(6) Kegiatan pelestarian budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang kebudayaan.

(1) Sesuai dengan fungsinya, taman wisata alam dapat dimanfaatkan untuk keperluan:

a.   pariwisata alam dan rekreasi;

b.   penelitian dan pengembangan;

d.   kegiatan penunjang budidaya.

(2) Kegiatan pariwisata alam dan rekreasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

(3) Kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dapat berupa karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasil‑hasil penelitian serta peragaan dokumentasi tentang potensi kawasan tersebut.

(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan d, dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 25 dan Pasal 28.

Pelaksanaan pemanfaatan kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53, dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dan Pasal 46.

(1) Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan dalam rangka mempertahankan dan atau memulihkan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pemerintah dapat menghentikan kegiatan tertentu dan atau menutup Kawasan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam sebagian atau seluruhnya untuk jangka waktu tertentu.

(2) Kriteria dan tata cara penghentian kegiatan dan atau penutupan kawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

(1) Daerah penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar dan atau dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan.

(2) Penetapan daerah penyangga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada kriteria sebagai berikut:

a.   secara geografis berbatasan dengan Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam;

b.   secara ekologis masih mempunyai pengaruh baik dari dalam maupun dari luar Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam;

c.   mampu menangkal segala macam gangguan baik dari dalam maupun dari luar Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam.

(3) Penetapan tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani dengan suatu hak (alas titel) sebagai daerah penyangga, ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.

(4) Penetapan daerah penyangga dilakukan dengan tetap menghormati hak‑hak yang dimiliki oleh pemegang hak.

(5) Pengelolaan daerah penyangga yang bukan kawasan hutan tetap berada pada pemegang hak dengan tetap memperhatikan ketentuan ayat (2) huruf b.

(6) Kriteria dan tata cara penetapan kawasan hutan sebagai daerah penyangga diatur dengan Keputusan Menteri.

Untuk membina fungsi daerah penyangga, pemerintah melakukan:

a.   peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;

b.   peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat;

c.   rehabilitasi lahan;

d.   peningkatan produktivitas lahan;

e.   kegiatan lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang‑undangan yang berlaku sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dianggap telah ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang‑undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 19 Agustus 1998

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 19 Agustus 1998

MENTERI NEGARA SEKRETARIAT NEGARA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 132

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

Bangsa Indonesia dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang tinggi keanekaragaman dengan keunikan, keaslian, dan keindahan merupakan kekayaan alam yang sangat potensial.

Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang potensial itu dapat dijadikan salah satu modal dasar pembangunan nasional Indonesia yang berkelanjutan. Karena itu perlu dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar‑besarnya kesejahteraan rakyat, melalui upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga tercapai keseimbangan dan keserasian antara aspek perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari.

Upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya itu antara lain ditempuh melalui penetapan wilayah‑wilayah tertentu baik di daratan dan atau perairan sebagai Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam, yang merupakan perwakilan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, keutuhan sumber plasma nutfah, keseimbangan ekosistem, keunikan dan keindahan alam sehingga lebih dapat mendukung pembangunan dan menunjang peningkatan kesejahteraan rakyat serta pelestarian lingkungan hidup.

Upaya konservasi tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seluruh kiprah pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh berbagai sektor. Pelaksanaan pembangunan nasional itu sendiri telah berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mampu mengembangkan berbagai bidang kegiatan masyarakat, sehingga kebutuhan hidupnya semakin beragam.

Sejajar dengan kemajuan dan kehidupan masyarakat di berbagai bidang, maka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin terasa perlu digalakkan.

Dalam hubungan ini, Kawasan Suakan Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang memiliki potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sangat penting peranannya untuk dijadikan obyek penelitian dan pendidikan, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, disamping dapat dimanfaatkan sebagai wahana pengembangan budidaya, pariwisata alam dan rekreasi serta sarana pemantapan fungsi hidrologisnya, pencegahan bencana banjir, erosi dan pemeliharaan kesuburan tanah serta fungsinya sebagai plasma nutfah.

Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, pada hakikatnya merupakan salah satu aspek pembangunan yang berkelanjutan serta berwawasan lingkungan, sehingga dampaknya sangat positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, yang sekaligus akan meningkatkan pula pendapatan negara dan penerimaan devisa negara, yang pada gilirannya dapat memajukan hidup dan kehidupan bangsa.

Oleh karena itu, pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, tidak hanya didasarkan pada prinsip konservasi untuk konservasi itu sendiri, tetapi konservasi untuk kepentingan bangsa dan seluruh masyarakat Indonesia.

Mengingat akan kepentingan itu, dan sebagai pelaksanaan Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya maka perlu ada landasan hukum bagi penetapan dan pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam pengelolaan cagar alam sangat sedikit campur tangan manusia, oleh karenanya bobot pengelolaannya lebih ditekankan pada perlindungan dari luar kawasan seperti serangan hama, penyakit, kebakaran, dan pencemaran yang berasal dari luar kawasan. Selain itu, dilakukan upaya pengamanan untuk menjaga dan mencegah gangguan manusia, seperti: perambahan kawasan, pencurian, dan pembakaran.

Dalam menunjang pengawetan cagar alam diperlukan data dan informasi awal tentang potensi kawasan. Oleh karenanya diperlukan inventarisasi tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.

Dalam menunjang pengawetan cagar alam, kegiatan penelitian dan pengembangan, sangat penting, untuk mengetahui proses‑proses ekologi yang terjadi, diantaranya siklus energi, siklus hara, siklus air, interaksi antar dan inter spesies baik tumbuhan maupun satwa. Dengan demikian, keutuhan kawasan dapat diketahui secara kuantitatif, dan perkembangannya dapat dipantau.

Yang dimaksud dengan pembinaan habitat dan populasi satwa adalah kegiatan‑kegiatan yang dilakukan oleh petugas yang berwenang dengan tujuan untuk menjaga keberadaan populasi satwa tertentu dalam keadaan seimbang dengan dayadukungnya melalui kegiatan  seperti  pembinaan  vegetasi,  pembinaan

populasi satwa, pengadaan sumber air minum, tempat mandi atau berkubang, penjarangan populasi satwa serta penambahan tumbuhan dan satwa asli dalam upaya pemutihan populasi dan keragaman jenisnya.

Penelitian dasar yaitu penelitian yang hasilnya untuk mendukung penelitian terapan yang diperlukan untuk menunjang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa serta  budidayanya  di luar  kawasan,  seperti  penelitian  perilaku  satwa,

dominasi tumbuhan dan atau satwa, dan penilaian‑penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c.

Penelitian untuk menunjang pemanfaatan dan budidaya ditujukan terhadap seleksi jenis tumbuhan dan satwa yang karena kandungannya dapat dimanfaatkan misalnya untuk obat‑obatan, sebagai benih atau bibit unggul dalam menunjang peningkatan produksi pangan, sandang dan papan, serta perbanyakan dan peningkatan kualitas jenis melalui rekayasa genetik.

Kegiatan penelitian tersebut lebih banyak di luar kawasan, sedangkan dalam kawasan cukup mengambil contoh spesimen.

Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku adalah ketentuan yang mengatur tentang tata cara dan instansi yang berwenang memberi rekomendasi dan atau izin untuk melaksanakan penelitian.

Kewenangan yang terkait dengan penelitian ini yang sekarang dikoordinasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, tidak mengurangi kewenangan Menteri untuk mengatur tata cara pelaksanaan penelitian yang sasaran penelitiannya berlokasi pada Kawasan Cagar Alam pada khususnya atau kawasan hutan pada umumnya.

Yang dimaksud dengan pengenalan ekosistem cagar alam adalah pengenalan secara langsung di lapangan baik tipe ekosistemnya maupun pengenalan jenis tumbuhan dan atau satwanya.

Yang dimaksud dengan peragaan ekosistem cagar alam adalah           wujud fisik dan fungsinya dapat dilihat secara visual baik melalui material asli seperti specimen helbarium dan satwa, maupun audiovisual, multi medium, dan slide.

Pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan plasma nutfah terikat kepada ketentuan pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman.

Lihat penjelasan Pasal 21 ayat (1)

Lihat penjelasan Pasal 21 ayat (2)

Penetapan zona‑zona pada Kawasan Taman Nasional dilakukan secara variatif sesuai dengan kebutuhan pengelolaan kawasan taman nasional, karena itu penetapan zona‑zona tersebut tidak selalu harus lengkap sesuai dengan pembagian pada ayat ini, karena itu pembagian zona tidak selalu sama pada setiap Kawasan Taman Nasional.

Yang dimaksud ekosistem yang masih utuh yaitu ekosistem yang keadaannya relatif masih asli, demikian pula keadaan unsur‑unsur biotik dan fisiknya, serta interaksinya masih mampu memberikan fungsi ekologis.

Memusnahkan sumber daya alam misalnya dengan melakukan pembakaran menyebarkan racun, dan menggunakan bahan peledak (amunisi).

Jumlah pengunjung yang masuk ke dalam kawasan disesuaikan dengan daya dukung kawasan yang bersangkutan. Dalam rangka pengendalian pengunjung masuk ke dalam kawasan, Pemerintah menetapkan syarat dan tata cara memasuki kawasan.

Pengertian menghormati hak yang dimiliki orang adalah suatu pengertian yang mengandung arti menghargai, menjunjung tinggi, mengakui dan menaati peraturan yang berlaku terhadap hak yang dimiliki orang lain.

Yang dimaksud dengan hak yang dimiliki orang adalah segala kepentingan hukum yang diperoleh atau dimiliki berdasarkan peraturan perundang‑undangan, hukum adat atau kebiasaan yang berlaku. Kepentingan hukum tersebut antara lain berupa pemilikan atau penguasaan tanah atas dasar sesuatu hak yang diakui dalam Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‑pokok Agraria.

Ketentuan‑ketentuan tentang hak dan kewajiban pemegang hak atas daerah penyangga bukan kawasan hutan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA  NOMOR 3776

Undang - Undang Narkotika

Draft lengkap UU Narkotika Indonesia Nomor 35 Tahun 2009

Undang-Undang Narkotika di Indonesia adalah regulasi yang mengatur penanganan narkotika dan zat adiktif lainnya. Undang-Undang Narkotika yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berikut ini adalah ringkasan tentang Undang-Undang Narkotika di Indonesia:

Definisi Narkotika: Undang-Undang Narkotika memberikan definisi yang luas tentang narkotika, termasuk zat-zat yang dilarang seperti ganja, kokain, heroin, ekstasi, dan berbagai jenis obat-obatan terlarang lainnya.

Pelarangan dan Pengawasan: Undang-Undang Narkotika secara tegas melarang produksi, peredaran, pengedaran, serta penyalahgunaan narkotika. Semua kegiatan terkait narkotika harus diawasi dan diatur oleh pemerintah.

Hukuman: Undang-Undang Narkotika memberikan sanksi yang sangat keras terhadap pelanggaran terkait narkotika. Sanksi ini termasuk hukuman mati, penjara seumur hidup, atau hukuman penjara jangka panjang dan denda yang tinggi. Hukuman yang diberikan tergantung pada jenis narkotika, jumlah yang ditemukan, dan peran pelaku dalam tindakan ilegal tersebut.

Rehabilitasi: Selain memberikan sanksi pidana, undang-undang juga mendorong rehabilitasi bagi pengguna narkotika yang tertangkap. Program rehabilitasi ini bertujuan untuk membantu pemulihan fisik dan psikologis para pengguna narkotika.

Pengawasan dan Penegakan Hukum: Undang-Undang Narkotika memberikan wewenang kepada aparat penegak hukum dan lembaga pemerintah terkait untuk melakukan pengawasan, penyelidikan, penindakan, dan pemberantasan kegiatan terkait narkotika.

Tambahan informasi tentang hukuman bagi bandar, pengedar, dan pengguna narkotika di Indonesia adalah sebagai berikut:

Penting untuk dicatat bahwa hukuman yang disebutkan di atas dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor, seperti jenis narkotika, jumlah yang ditemukan serta peran pelaku.