Dasar Hukum Judex Juris

Dasar Hukum Judex Juris

Pengertian Judex Juris

Selanjutnya, arti judex juris merupakan kompetensi hakim dalam memeriksa atau mengadili perkara pada tingkat kasasi yang dilakukan oleh hakim agung.[6] Dengan kata lain, judex juris dilakukan pada pengadilan tingkat kasasi yang dijalankan oleh Mahkamah Agung yang hanya berwenang menentukan dan memeriksa penetapan hukum dalam pertimbangan hukum putusan.[7]

Secara normatif, judex juris tersirat dalam Pasal 30 ayat (1) UU 5/2004[8] yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung pada tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:

Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, apakah Mahkamah Agung termasuk judex factie, jawabannya adalah bukan. Pada tingkat kasasi, pada dasarnya hakim agung pada Mahkamah Agung adalah judex juris.

Meski demikian, dalam peraturan perundang-undangan, khususnya UU MA dan perubahannya, tidak ditemukan larangan bagi hakim tingkat kasasi menilai atau menentukan fakta dan bahkan mengubah pemidanaan dalam perkara pidana. Penyebutan judex factie dan judex juris hanya menunjukkan peran hakim dalam mengadili perkara. Jika hakim mengadili perkara untuk menentukan benar tidaknya penerapan hukum putusan, artinya hakim itu memerankan judex juris.[9]

Khusus dalam mengadili permohonan peninjauan kembali dan judicial review, Mahkamah Agung bertindak sebagai judex juris sekaligus sebagai judex factie karena memeriksa perkara sampai pada fakta hukum dan menerapkan hukum yang benar.[10]

Baca juga: Mengenal Judex Factie dan Judex Jurist dalam Praktik Peradilan

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Abdullah. Mahkamah Agung Judex Juris Ataukah Judex Factie: Pengkajian Asas, Teori, Norma dan Praktik. Laporan Penelitian, Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010.

[1] Abdullah. Mahkamah Agung Judex Juris Ataukah Judex Factie: Pengkajian Asas, Teori, Norma dan Praktik. Laporan Penelitian, Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010, hal. 28

[2] Abdullah. Mahkamah Agung Judex Juris Ataukah Judex Factie: Pengkajian Asas, Teori, Norma dan Praktik. Laporan Penelitian, Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010, hal. vii

[3] Abdullah. Mahkamah Agung Judex Juris Ataukah Judex Factie: Pengkajian Asas, Teori, Norma dan Praktik. Laporan Penelitian, Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010, hal. 24 – 25

[4] Abdullah. Mahkamah Agung Judex Juris Ataukah Judex Factie: Pengkajian Asas, Teori, Norma dan Praktik. Laporan Penelitian, Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010, hal. 17

[5] Abdullah. Mahkamah Agung Judex Juris Ataukah Judex Factie: Pengkajian Asas, Teori, Norma dan Praktik. Laporan Penelitian, Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010, hal. 24

[6] Abdullah. Mahkamah Agung Judex Juris Ataukah Judex Factie: Pengkajian Asas, Teori, Norma dan Praktik. Laporan Penelitian, Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010, hal. 24

[7] Abdullah. Mahkamah Agung Judex Juris Ataukah Judex Factie: Pengkajian Asas, Teori, Norma dan Praktik. Laporan Penelitian, Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010, hal. 25

[8] Abdullah. Mahkamah Agung Judex Juris Ataukah Judex Factie: Pengkajian Asas, Teori, Norma dan Praktik. Laporan Penelitian, Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010, hal. 25

[9] Abdullah. Mahkamah Agung Judex Juris Ataukah Judex Factie: Pengkajian Asas, Teori, Norma dan Praktik. Laporan Penelitian, Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010, hal. 25

[10]Abdullah. Mahkamah Agung Judex Juris Ataukah Judex Factie: Pengkajian Asas, Teori, Norma dan Praktik. Laporan Penelitian, Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010, hal. 62

Author: Antonius Gunawan Dharmadji, S.H.

Sebagai sebuah negara hukum Indonesia memiliki sistem Peradilan yang berjenjang mulai dari tingkat pertama hingga tingkat Mahkamah Agung. Tujuannya tidak lain adalah untuk memastikan keadilan dapat ditegakan dalam negeri ini dan mencegah kesewenang-wenangan para pemutus keadilan. Mahkamah Agung telah diamanatkan oleh Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman dengan badan peradilan di bawahnya, meliputi lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Sementara itu Pengadilan Pajak berada dalam lingkup peradilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal 9A Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN).

Kekuasaan kehakiman yang berjenjang berimplikasi pada perbedaan kewenangan dari pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding hingga tingkat Mahkamah Agung. Hal ini terlihat dari perbedaan upaya hukum yang diajukan oleh pengadilan yang terbagi dalam dua hal, yaitu upaya hukum biasa, meliputi: gugatan, banding, dan kasasi, serta upaya hukum luar biasa, yaitu peninjauan kembali. Sementara itu, dalam penyelesaian sengketa pajak, upaya hukum dapat dilakukan berupa keberatan dan upaya hukum administrasi lainnya ke Direktorat Jenderal Pajak (Pasal 25 jo. Pasal 36 UU Ketentuan Umum Perpajakan), dan mengajukan upaya hukum banding dan gugatan ke Pengadilan Pajak (Pasal 23 dan 27 UU Ketentuan Umum Perpajakan jo. Pasal 31 UU Pengadilan Pajak) bahkan dimungkinkan pengajuan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak).

Baca juga: Upaya Pra Peradilan Terhadap Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Perpajakan

Sistem peradilan yang berjenjang secara vertikal berkolerasi dengan perbedaan fokus dari hakim dalam memutus suatu perkara. Dalam pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding hakim akan memeriksa fakta-fakta dalam persidangan melalui tahapan pemeriksaan yaitu merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, dan mencari probabilitas atau dikenal dengan judex factie (Amir Hamzah 2013: 5). Lebih lanjut, Mahkamah Agung pada tingkat kasasi atau peninjauan kembali bertindak sebagai judex juris, yaitu tidak memeriksa fakta peristiwa hukum atau perbuatan hukum, tetapi menilai benar atau tidaknya penerapan hukum dalam putusan (A. Mukti Arto 2015: 43).

Pada praktiknya terjadi pergeseran kewenangan Mahkamah Agung dari semula sebagai judex juris bergeser menjadi judex factie. Hal ini ditegaskan oleh Sebastian Pompe dalam bukunya berjudul “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung” (Sebastian Pompe, 2012: 314), menyebutkan bahwa: “Permasalahan mendasar yang sangat berpengaruh tingginya arus perkara di MA adalah penyimpangan praktik kasasi di Indonesia yang lebih mengarah pada judex factie ketimbang judex juris.”

Terjadinya pergeseran tersebut menarik jika dihubungkan dengan sistem peradilan perpajakan di Indonesia. Hakim Pengadilan Pajak bertindak sebagai judex factie dengan putusannya bersifat final and binding. Hal tersebut mengakibatkan apapun hasil putusan dari Pengadilan Pajak harus dilaksanakan, karena tidak ada upaya hukum kasasi. Namun pada praktiknya sering kali putusan tersebut tidak dilaksanakan terlebih dahulu sebab bagi pihak yang merasa tidak puas dengan putusan Pengadilan Pajak akan mengajukan permohonan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali (PK) dan berharap hakim pada tingkat PK akan memeriksa ulang bukti-bukti persidangan.

Upaya hukum PK sering disalahartikan peruntukannya sebagai upaya hukum kasasi. Berbeda dengan kasasi, PK dikategorikan sebagai upaya hukum luar biasa karena mempunyai keistimewaan, artinya dapat digunakan untuk membuka kembali (mengungkap) suatu keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Tim Pengkaji Pusat Litbang 2006:8). Lebih lanjut, menurut Yahya Harahap permohonan terhadap PK memiliki syarat tertentu, salah satunya adalah tidak dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap melainkan PK baru dapat diajukan pada keadaan tertentu yang diperbolehkan undang-undang sebagai dasar pengajuan PK (Yahya Harahap 2000:586).

Upaya hukum PK dalam penyelesaian sengketa pajak secara khusus telah diatur dalam Pasal 91 UU Pengadilan Pajak. Dari 5 (lima) alasan PK yang diperbolehkan oleh undang-undang sebagai dasar pengajuan PK, terdapat satu alasan yang kerap kali dipergunakan sebagai dasar pengajuan PK yaitu alasan suatu putusan dianggap terdapat kekeliruan yang nyata dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Alasan tersebut umumnya menjadi “keranjang sampah” bagi pihak yang tidak puas dengan putusan Pengadilan Pajak untuk mencoba-coba mengajukan permohonan PK.

Pengertian yang salah bahwa PK sering disamakan dengan kasasi dan adanya upaya untuk mencoba-coba mengajukan PK menjadikan jumlah perkara PK di Mahkamah Agung menjadi meningkat. Dikutip dari pemaparan sosialisasi Calon Hakim Agung Kamar TUN Khusus Pajak bahwa jumlah perkara PK pajak pada tahun 2020 meningkat 16,06% dari tahun 2019 dengan total mencapai 5.313 perkara. Beban perkara PK yang begitu besar tentu saja berdampak pada lambatnya penanganan perkara dan berujung pada ketidakpastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.

Baca juga: Perysaratan Pengajuan Keberatan Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak

Menjawab persoalan awal bahwa terjadi pergesaran atau overlaping kewenangan Judex Factie atau Judex Juris, pada Mahkamah Agung hanya sebatas istilah akademis yang tidak mendasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Lebih penting dari itu, perlu dipahami bahwa upaya hukum kasasi berbeda dengan upaya hukum luar biasa yaitu PK sehingga tidak setiap perkara putusan Pengadilan Pajak dapat diajukan PK. Dengan demikian diperlukan sistem pembatasan perkara PK pajak agar hanya perkara yang benar-benar memenuhi alasan PK sebagaimana Pasal 91 UU Pengadilan Pajak yang nanti akan diperiksa oleh Mahkamah Agung.

Tag: Berita , Artikel , Kuasa Hukum Pengadilan Pajak

%PDF-1.7 %µµµµ 1 0 obj <>/Metadata 317 0 R/ViewerPreferences 318 0 R>> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <>/ExtGState<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/MediaBox[ 0 0 612.12 792.12] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 0>> endobj 4 0 obj <> stream xœÅj¾g&þ…–°4Só,aXBóCúÉ£÷ï~û›–¾÷áúý»£_-Í‚îB»¾}ÿ{›š¥¹žák¾ã¶v½„NŸ¯,S›0±6ã[KÝ~~ÿî�ŸLóƒýó¿µë¯ïß}‚9ÿñþÝ+q8x–á;Hh¨‹F¾þ—6:´õF#[Ïãräê@“b´]¤°,§\¸³ÓÂíNˆ¡á=+×vZ`'8! N7´Ž<=Kªe4˜öàà„iž×½‘‡ÐÛqi+†_¨0a¡}{‘Ý¡FZ‚*Gùð°¯_îa©Nhto)ј¥E˜ÃÃun/‰áÁyNÏ2÷ ׿‡Ž®ÁßðP°¢}‹Ü8 i·x®Ùü­ïGĶAbzY°»ET/$x)ã8‘ýJŽ]=)F�.á´$r>: ¼®ªt˜Gðocßóì6’ð»½æš–aõÙ¨9�µßеJ*Dí”\6< ®Ó/÷o]ñŸj0ü8µ�ì€kÏÊ4œ€zÞþ�æ|ý*ðš:f[àÌC­`0´¬ÀðžEKûtþQ;ê >>de™-ûã�_³¬|küÑɈ·k¶×Bûk•ƒ ¤,<Ú9JÏ\1ðhq/÷àßضáx=¸ü î±DQ­’RXÿ/âµ 1©–àt“â}|MàøúnñI§ÊÃ>9,*PtµSŒ–ö ß @ÀºÁ'£P—Kí !?D°U‹ùððÃu#p8¼~7úØÝà~¯˜Æž^ÝY8†Ûy- 7è '°k%išÎ>ô¤íáKÔ¤ZÛ€®à˜ðß6‚Çè?ß©èšFè´�qü7`ÓˆÛ¨½ê¬Õ±vtµ’)êâó�§'šyôM¦3M�ÒÛ«ÑÛ´­Û¹#^Hkk;J;q±‹zšÕ[ÀíÊÄ&ù|¦g¸lãúgZ-òΩÕ5C@òq³G»×ŒöÃðéÏ÷ ¼"Xn°\#|:¾i¦ñ�zô3†¥#žžžÅ9¸€�v[X�/Àê;½:½ÒÐÂý~÷ßÉÄœÀ£ëOßÑ�ýäør76O1h« µ¯7'€Ë'´yÿÒ¾âÏÍwxpzµ+/?QÇŽ…‰�$vœ§Àœ-ÀNŽ¿!á�ϵóOõÚ¿ÃÕål” ØÀ>|¹9»9ïrúž0“Ø‹–/Åëå¦aßó=C‰\£˜7%«nfÉÚìÑ/Yö>$ËG¸Øm[òËcØ°Ü<íŒä‡¼'Ø ØƳOßÔVŸb¯í3°6Hß�ö;ŠãÅgð‡¡•˜àóñÙ)òÁüw| O€´3œñÓ9Ž¾>…{pzõÛñó|áÃ-‹€¬á÷Qc Î «n°†hñFÓ¡añîp IË]°Á‚€�ƒäï�Nˆ1¿¨4í¯‘o²b¦ Æè3¶Éq!)›r%“¯äu¹[ŒÑÂ@ø`‰>(Y3éŠÆ±vžÝ¢@Eò Å—“'2©²ç¥Ëß+9¶…é¸Ôâ%ÛE•ÞÏKMûkx)€—Z䶉‘��”Õ&ÇMßAŒTÄ*š?¥È9Áö!Ú1vmË9DV2»®mX.õëö{U<�W»ö$Ü‹¶7ÓéCl àÉnãЦý5j™û`QK¸^zþwDù …iÁäÞ/EYM#äδ,Œ*�CNŒx:,Û`:?èCfÇ\tD>½ÀŠ%fÀ�…’€ _1>ü’í€r¸ÿ£5ÛA°Úô~XhŽi“è†F†êÐzÌMèH¶ÉÛ) Ö^lWàa�@²iÓoÎ:5CÓþ*Í0PÕö”)+Žîû"ˆ¢6n²#¦i=É^lë@î°Î <êÁTmæhR$¯ïÔ ý¹”uû«’)öÞÒl.8³Ö³y¯N¤Š¾º�ò<Ìh¿©Ë5F®B¶Âµ‰…˜÷ƒ9 H΅í%jœÃv%³½´ã1h¹¢DK’ËÐ~ß¼�Ò±Bì׉"Ö$a÷Éú¤|‚CxËmE@iën¤o<Û½¹ÚÞVf4jíÏÕ6£{sµÛz0Žß�\w[-Ûã‘ýhõ¶×€°�åk=^u¨Õžÿ’d†5„ïj~·Õr �·(>1„›mw+>áw�‹_Ï#mthù¡þµšÎ¢ÿ+è.ЧÑ$¦ã½8K鑯ÇE}‘¶­d.ÇI¤FÜæÙ/S_ÆE)Q¡ne:U0²;ÌäEŒ‰ƒÙ¼DÍd¨^ç4Õ”h5£f<›Ã ’{}‚®qªfG˜ÜùT¼ópÞFÛú”x“,§:š”a* ‰‘«?àµmêñr•DË(-cØS~”D3™¨®9ó.£i1l�› +š1l @©.JÞ'áë'±Ræñ¤T“~̪¼¾V4ƒé¿ ­�t·Ùç~ž©É¤šCè˜ØáL˜£ãÔÂ9,h¶L¡ÿ 8 b¸ =}.ïh¡&.ëè–+©ÊyFôŽK¤pêå°(‹¼Í¤3&&€ÅR¥¿ä2NkT#,y€èðM'‘Z fÆhˆäŸ‰,êfÞ(x6…y£’$*Ç9ùWG{ú:Ö¨ ÄÍtÙ-“«é‚ï^/Õ±ƒ™ˆ61îç1I>óì‘FžEDŽj8Ú¯ªURÀ­5Â%­:~”E!KÒ6YÊ4~M€¦ð$Jx‰’®f– RÍE„CÎêŠ)ã#m""Ÿ0ô*3îýP;ºú�¥RŒ˜R¸Z%È@$R;L ÏÓyÏÊŒy.%ÿ(~‚9ʹDň7,Iä¹ £”'™`!g*‘²‚Ö¬r—Ü>~`ÒÁ¤5]aÖZ8�ðõœì ŒÈ#6(š;W? ‡}Ÿªºé6™3úŒˆO´pCý?ÀS a‚¢²—mt;KËÒ,_ÿ �XNø–ŽU[@™Sba~@�AñÆHMD_xµ|_è©,+¶$ª#m=N4�Š M¯p{iû(2•È7nQ¡æj¶%ŸÌy×V‘©™�OJlVÏãÍ› ™Rì5®Aÿ­™f4uœ.Ëúg%Zk)×ËFš&h*…(ÏE˜ @e‰, ,,rBÛ�zR’›AÒ$L�žh2Oã?«Hõ½'!Á©&’íxL‚!L$£T½Æ¤),T¢*‚�9¶© „þ�t˜‚w.T¡PØKÚV—©º¨ÐòŒ£œµ›ïù¬îÎŽ.OOŽ„iJW“ áZG~­` Há�’�ðߣ»8Ú-C×6·a€o=k˜\¶I=À6÷Š)ò„„žÀ_¬18ºŒ§HB`†Ðà¾J'B7¥�ä4Íʽì¹åã9×Ó%�Ⱥz!ã©FÞBFçÝãˆõ:›� 6ÀǼ»Êµ ¶ì¶.ŸH£YÏÐ1µ—Md5bË äà)Š™QO9·à­ 0��>&Et›åÄ\µCW²>#7~ɨ+aäÙKÖPÑt´'¡1©ÊµmŽÍ4ά#º`dƒÐÃ:åæY|G‹KùB""c^±âÉÒ‚eB°ÈÄ!0e¤ÀÀcb¼¨M;̭쪑À׋ûx¹dåúŠ6,Kxø-mjŽ† <àG㪤)‡¥Ÿmb±@/#ÚÛhOgaW6ø>"sL½ˆxWrtv�4Ž¥«³#Ø*tv�îŽP�탪›r7Þ ¸¸Å�@+ªüž;ñÀ°8¥\-²âm6òLNS†›|d7šÕÓ-)@(‹u+Ùy„Ž$›±É›�Ì©È&Ž‘ÃlOÇZur&pe{ñRmßÅâƒÖkmnHªO!k»�Gí ýc£&¡RÕëc6¥V' $R#˜ºxu[ioã„25¨¯¯sscrÅÔЯ(Õ£:*PÛ‹² CÈ9Ø(2þ÷ �&„ĉeã�ªqÜ'ÚE=*œm�=M&ûhÓ#Àoî�£ßÅÒ‘€‘��Ì•šµB“1È“@NDOES쌊ºŠ‰®%ùG(š/Ù=NqÇ"y É�­ªÀƒ‹žuÖè­yXXHª3Øô–¬€â½(9P#¾gÀS¨þ3…ö7t�#R±et0òuõüʸœ,N{Ø>¬~n'ƒW9¾ÿˆ‡ÑwÌ€ô%àŠŽ¢§\w]Ñ%Ê;;Ø*äuÐ'Àc+ÅÅ£Øð"s"�C_%L-Ta3†JzÁà A–sž : 4 gHRX— SÇ lª-ÌMå|¼œ!0ÌRí…†6Õñ?¥!øš‹Ž’¾ÌÒr^¼ 5:ĹkG|);èÃÒxZb[K˜[ÐzI"y˜c=~u¡µ§ønÆ«�Є£°àS,üsœŸœ w :·j«y9€BÇgÑÃ=¸·ÃÊ„…©E§dñw¶£Ã‚´èÓ= ¿âû\˜îÁ7ÍÐ/´�˜TÇx–déV‡]DäžrO¢p 7 ¶‹á³dž9¥³…Àê¬-e[{0ss�­…ëY¶U<׋2],y܆ò¶J©Çv”›Y¶¢üL/…‰ÿ¹ÞºÃ«ÎõÄ^Ž¯IOˆÐy雥O‘ ö‡V¿© e>RƸ—+c{ˆcÊŽ2×à×]ÜŽWp6«¿o"ü~ÀÃ(áûøcnU?ˆ­=x“¸G#¡�»°Ô¬g©eï-½!ÏÂw¶¡¼­‡â+ê±åf–­(?ÓK!DlܯTÖ^¥Tì�^9ë~ó[¸Âx““gá{v¿´*ì ó<­×uª²*è� ƒñ/r/ÕuOåBÅáe”'ÑŠz¦çó˜�õðn±Ûוڅ´®ƒ›Øƒð"Jâ¼’­­q˜ª%˜Ð¾˜Ç‰¼¥ˆ45ÔÓ³°tuNÇÀðTå(Ô8ÇUã8Gîè·2m hÉ•|s,5 Ex…ÛUÈ4�W˜pô1â/âúôÇvø:�ñ�M'†˜I£;ˆÓ"^.~ [email protected]?[¯VòAª1XpP-ª¥¡î‘E`ÀRÝNcuq €ðe}:l Ä…šÎEG‰ŸÇjúiÓRš*ʧ;¤£3x×¢Mçkˆ÷g±b ËrôTNÄãݘ_½PA=KŽe¹œ[Ë™Œ÷p`$@ÿ€ÒëÁ}a¿©*C˜ÍÁïÀÂêý4ºÂÞ·ñ¤§ì ¥ÇRÉ¥9–¾¤ìa/ ©ž�«f�&ƒcQ©nj¿ ãP%pêõ±@Þ\«k¼+*+u¿bÎ]P5S‰ôâ.•WCÉ¢ú]/Ú/£”óÿ%,ÖÞMmô½È‚1}ÜÊE¹[Þµ ?ñÓp`²*ì_é2b™�ÏÒ‰7¬.†Á3µ¼ˆð€ 3Ó̆˜iÆÆð‹y:¸› bÕ|Ž© |!q!—ôÇ\u:žU#_W²íÔšv¶ g*LÏd�ßÒ9~<ç6¾ñÞ¡¤ØLÔ&ÂT4R&bð´·åx†×‡ ×&R¥”Âe]u5¬æ6úr=hm&LÍDß OôØR˜l)ð9Yi0kŠ¬"ªßËåŠ9ØŽDhÝcST»UൽüêˆèY'Uºb¦˜É<¥¨aÔ,¬ˆéÅðYßXX=¢­*�sTn±Ø¬µ£<<8F ¤z4.ÁåR;zÉ]Ÿ£«Oñ�Ô±_£�’)™¥«‹¸Dg,¢ K¸p-}QQµB\â‘(“†z~-Òx¡n˜+fÕrUm?Œ:Õ¿ý`R;]IŒG:�ií?4}�ý3¬rm8ô¡LÈY=åG4×´=xoÕßøÅ)¸À úœÁÜ5n¾«âG¸X'/|�"§ÿ!äª5/„È9–‰òƒ)Šo$õ}ØxÂãš4�úæptIñ&Õ¦qat§b¦s7´ŽaýÁ~¶â¦ÈÕh±íýćÀzµîõLãpoÈYAp½Ñ¸ p€€AÖ¸®bØTS<,b„í@ Ø‚­,íj ÛIË1ڊؾ¢TL]„-À³ P�®]vÔsÒ%¤ûA’T;©¢){%à2á„’kfUrÆDOq~ÏÀ‰¨òJÍW;àªW©’;s55™¦å8â �z6“ÊÜòjQ(æ“Õ4;lÓ"ZÉ)•:E*úZþ4¥ü”êÀWym��uÎ2D�$z/�çPÊ~ƒÚòÚõ³NmŽã9·Lå¼Jª–¢ªZV)�W8X\©y0s-ÕaëtT‚5ù¡7Ó”2Äÿ’Ù>X endstream endobj 5 0 obj <> endobj 6 0 obj [ 7 0 R] endobj 7 0 obj <> endobj 8 0 obj <> endobj 9 0 obj <> endobj 10 0 obj <> endobj 11 0 obj <> endobj 12 0 obj <> endobj 13 0 obj <> endobj 14 0 obj <> endobj 15 0 obj <> endobj 16 0 obj <> endobj 17 0 obj <> endobj 18 0 obj <> endobj 19 0 obj <> endobj 20 0 obj <>/ExtGState<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/MediaBox[ 0 0 612.12 792.12] /Contents 21 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 1>> endobj 21 0 obj <> stream xœÍ=[oÛ8Öïú„ïI^$ŠH‘º,ŠM;3½#»iw±˜Ù:VmE¶âµ¥ÍæßçBÉIM'–v¶À´I‰ç�ç~9¯6eöÍܔ΋¯ÊÒÜ,Ò™óëÅ—»õ?/¾<¬Ó‹+3Ï SfwÅÅu5-±émjféæåKçòÍkç_ÏŸùž�!…ã;¡�ž�N”Ð?›ôù³¿ÿÉ)ž?»üòüÙÅÏÂ0\:_¾=†£}G8:ô"'R‘8_V0è—ká;ó-|Ø™ó£°�¿<öëß¿^þÓùòþù³Ÿà›yþìw ;`…©= hjžÐý˜N"÷?Îä‚ý|÷o”H+EÓt3üÜ*ì—…# ª¯{Ki�™[¤?ü¼æí£%9üt¡êAsœÙ ¹þ=T®†Ÿ5-Ú‡äÓÁ’v³çÉæÏîyp@‚ 8¦�ÝäÃO¬¿ÃªŸ X)Ólipök39×îr;‰]mг4‹É¹áu]å0`‘Â_ÓÇ~ºû–øw¹¦}á‰>õÆÌ2çïhZ-+í„ÜÝð hÕÏ÷OÅø_ö3 øñÓ’â –•ï©˜F~û}ó÷c¡Àjê0˜‰_ ƒÁÀ±> –óÓ§×ÎE�óqyW–w«~ÿãç»»ò©þG'E ÜZxAØû}µF(˜yœOÈ=³Í€F·÷fû&<öÀò3˜ÇYµZ–fë€ö[!\9°Iµr ¦¯>gÿ†.°"÷4ÿ¤Sä€I€ìm‘u�wè-�0¿Ž�Áº§_N׬œkœù!…­ÊÃÏŸ$ØÔ ÀùðòÝ—hcwO÷�Š×8t«oÃÏ,•§ûfDJ‚Ç rBÅA-$}_�!'ƒÈK~DLj�ÚJ@ˆ1ÌãÃß�‚ÿø >PøEí{‰j£â'@Ó7,nïDm¬ÿ²ÇÎÅõÚ(‹?½~÷Æñ/>šbî¸ÙìüÝ›ÉÓ¤m÷Ž„àÅÅí-)3¤ç™É�ɹòÝUZÌQÐæw`ü%q³â$Ro$”F]ÝÒ¶ÜTùDnæ!P½NY1Ÿ’qPUl«Ó|°L虈>�N2í¹Â ÇõL†ÈöF>O—wbi2 Ú¤5Ú‰3ÃWfk–»­ tÂ?>|}{µ[°£mMÿºë´¨™7,rZÆè¿÷ wšúnOö˜P}“]™Ù“í…¡$aƒéã»bžã^–¸I2„ýÀ}/ͪ!u �ú½ í®á!-²â·Ï ™4]9v­¦L,Ùµö“ÓÊ”v`³ùôÝüÞ\”ø [3•Ð„ÆÂ4ËŠ0màýÜ~à͘’‘àצU^Â�ì_ê0F×ôx©1\Ë lb±CnÚªbnò�+–`ÁðïÖ¶(_¸€Å¶;q˜ ”|hDùÒýë]a–³;û‘�¦¬6iÉëzf¯½«ÏÕ; ë607 £'ûÖ¡ÜGål,º¡°ãøæ�‡¨Ú@¯Ò%‘zNþ2-¸L +ÊÜu6C$ ì¤>”—�¬oiyN=¨Ûˆ;�S²©)q@N¯ÒØ<]\#éîÚfvÆY³Ü¾.rÛ‚œhçƉ�Qðó…cyˆZÿàUH=^Qú·´ãlÓšVÆÑδâÅ.:üÆ#CEXC%-ο^e¨ˆ0B›«ð�õ”ˆü¾™Nع®µ’¬•îÞbzñð_5À^ß‹t@~„À gèÇ^‚o`åŲq#º–@ `×ö,�žn/ÁCâ×8ªâmItÝÿ|rðà8¯zAÜÂûj–þÇy�`T ,6'f.ÛƒŸ¨úf?svj~O"wß�|œÁõ D+[†oÄÓ»`'{¸>y2Àð,E €�u3]s7ÓõaHÞÝîý(IŽ?ñCàõ{»ÞSß…±y¿Æï i€ §žCßû OŽéwqÃ1DÁ9‡“£Ì?=*CDƒ&~¦SUL<üvQc ŠŒ©c0“·•§cG‚nY!4f·¾§[ÄA“nå¢q�q§)À‰)ÒWÞ˜JCØJ]Ĩn ˆâ…cÕ"ñ¨®~úüæÕÛ¯¿‚*~õù$eØšX Ñ �üØz

‚ý|÷o”H+EÓt3üÜ*ì—…# ª¯{Ki�™[¤?ü¼æí£%9üt¡êAsœÙ ¹þ=T®†Ÿ5-Ú‡äÓÁ’v³çÉæÏîyp@‚ 8¦�ÝäÃO¬¿ÃªŸ X)Ólipök39×îr;‰]mг4‹É¹áu]å0`‘Â_ÓÇ~ºû–øw¹¦}á‰>õÆÌ2çïhZ-+í„ÜÝð hÕÏ÷OÅø_ö3 øñÓ’â –•ï©˜F~û}ó÷c¡Àjê0˜‰_ ƒÁÀ±> –óÓ§×ÎE�óqyW–w«~ÿãç»»ò©þG'E ÜZxAØû}µF(˜yœOÈ=³Í€F·÷fû&<öÀò3˜ÇYµZ–fë€ö[!\9°Iµr ¦¯>gÿ†.°"÷4ÿ¤Sä€I€ìm‘u�wè-�0¿Ž�Áº§_N׬œkœù!…­ÊÃÏŸ$ØÔ ÀùðòÝ—hcwO÷�Š×8t«oÃÏ,•§ûfDJ‚Ç rBÅA-$}_�!'ƒÈK~DLj�ÚJ@ˆ1ÌãÃß�‚ÿø >PøEí{‰j£â'@Ó7,nïDm¬ÿ²ÇÎÅõÚ(‹?½~÷Æñ/>šbî¸ÙìüÝ›ÉÓ¤m÷Ž„àÅÅí-)3¤ç™É�ɹòÝUZÌQÐæw`ü%q³â$Ro$”F]ÝÒ¶ÜTùDnæ!P½NY1Ÿ’qPUl«Ó|°L虈>�N2í¹Â ÇõL†ÈöF>O—wbi2 Ú¤5Ú‰3ÃWfk–»­ tÂ?>|}{µ[°£mMÿºë´¨™7,rZÆè¿÷ wšúnOö˜P}“]™Ù“í…¡$aƒéã»bžã^–¸I2„ýÀ}/ͪ!u �ú½ í®á!-²â·Ï ™4]9v­¦L,Ùµö“ÓÊ”v`³ùôÝüÞ\”ø [3•Ð„ÆÂ4ËŠ0màýÜ~à͘’‘àצU^Â�ì_ê0F×ôx©1\Ë lb±CnÚªbnò�+–`ÁðïÖ¶(_¸€Å¶;q˜ ”|hDùÒýë]a–³;û‘�¦¬6iÉëzf¯½«ÏÕ; ë607 £'ûÖ¡ÜGål,º¡°ãøæ�‡¨Ú@¯Ò%‘zNþ2-¸L +ÊÜu6C$ ì¤>”—�¬oiyN=¨Ûˆ;�S²©)q@N¯ÒØ<]\#éîÚfvÆY³Ü¾.rÛ‚œhçƉ�Qðó…cyˆZÿàUH=^Qú·´ãlÓšVÆÑδâÅ.:üÆ#CEXC%-ο^e¨ˆ0B›«ð�õ”ˆü¾™Nع®µ’¬•îÞbzñð_5À^ß‹t@~„À gèÇ^‚o`åŲq#º–@ `×ö,�žn/ÁCâ×8ªâmItÝÿ|rðà8¯zAÜÂûj–þÇy�`T ,6'f.ÛƒŸ¨úf?svj~O"wß�|œÁõ D+[†oÄÓ»`'{¸>y2Àð,E €�u3]s7ÓõaHÞÝîý(IŽ?ñCàõ{»ÞSß…±y¿Æï i€ §žCßû OŽéwqÃ1DÁ9‡“£Ì?=*CDƒ&~¦SUL<üvQc ŠŒ©c0“·•§cG‚nY!4f·¾§[ÄA“nå¢q�q§)À‰)ÒWÞ˜JCØJ]Ĩn ˆâ…cÕ"ñ¨®~úüæÕÛ¯¿‚*~õù$eØšX Ñ �üØz

Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Hukum dan PeradilanMahkamah Agung RI

Kantor: Jl. Cikopo Selatan Desa Sukamaju, Kec. MegamendungBogor, Jawa Barat 16770

Telepon: (0251) 8249520, 8249522, 8249531, 8249539Faks: (0251) 8249522, 8249539HP Whatsapp: 082114824160 (Pusdiklat Menpim)

Surel: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Latar Belakang Penelitian

Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945 merupakan konstitusi yang memberikan mandat yang sah (legal mandatory) agar kekuasaan kehakiman bertindak independent and impartial tribunal. Kekuasaan kehakiman yang bebas (independent judiciary principle) merupakan prinsip yang bersifat umum / global sebagai konsekuensi dari konsep negara hukum (rechtstaat atau the rule of law) yang menganut ajaran trias politika. Menurut Robert N. Corly O. Lee Reed Negara hukum merupakan Negara dan masyarakatnya diatur dan diperintah oleh hukum bukan manusia (a government of laws and not the men). Pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam Negara hukum merupakan topik perbincangan yang berkelanjutan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan. Seiring dengan meningkatnya kualitas dan kuantitas kesadaran hukum masyarakat selalu diikuti atau dibarengi dengan meningkatnya tuntutan penegakan hukum dan keadilan. Meskipun antara norma hukum dan keadilan adalah berbeda, namun keduanya harus disinergikan atau dipadukan, sehingga setiap aturan hukum harus mengandung prinsip keadilan, demikian pula setiap upaya memperoleh keadilan harus diatur dalam hukum. Secara konseptual perlu diketahui dan disadari bahwa prinsip hukum adalah kesamaan , sedangkan prinsip keadilan adalah ketidaksamaan .

Lembaga Yudikatif sebagai pelaku Kekuasaan kehakiman (rechterlijke macht atau rechterlijke autoriteit) atau judicial power merupakan kekuasaan Negara yang kedudukannya setara dengan kekuasaan Negara yang lain. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia diberi kewenangan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam menyelenggarakan peradilan, kekuasaan kehakiman diberikan kekuasaan yang merdeka, yaitu suatu kekuasaan yang bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan lain ekstra judikatif kecuali secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pejabat pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman (hakim) diberikan otoritas dan kebebasan dalam mengadili perkara, namun kebebasan tersebut bukan suatu kebebasan yang absolut, melainkan kebebasan relatif. Hakim dalam mengadili perkara tidak membutuhkan akses dari siapapun, tidak memerlukan negosiasi dari pihak manapun serta tidak ada kompromi dengan pihak yang berperkara. Meskipun demikian hakim dalam mengadili perkara tidak boleh keluar dari ranah hukum / peraturan perundang-undangan yang berlaku baik materiil dan formil serta konsep keadilan.

Pengertian Judex Factie

Judex factie dan judex juris merupakan asas dan norma yang dapat dijadikan pedoman bagi semua hakim dari tingkat pertama hingga kasasi mengenai batas kewenangan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dan pengadilan tingkat pertama serta pengadilan tingkat banding di semua lingkungan peradilan.[1]

Lantas, apa yang dimaksud dengan judex factie? Judex factie adalah kompetensi hakim dalam memeriksa atau mengadili perkara dan yang menentukan fakta hukum di tingkat pertama dan tingkat banding.[2] Dengan demikian, judex factie dilaksanakan pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, yang berwenang menentukan fakta hukum[3] dan pembuktiannya.[4]

Pengadilan tingkat pertama dilaksanakan oleh pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan militer. Sementara, pengadilan tingkat banding dilaksanakan oleh pengadilan tinggi, pengadilan tinggi tata usaha negara, pengadilan tinggi agama, dan pengadilan militer tinggi.

Pengadilan tingkat banding tersebut berfungsi untuk memeriksa atau mengoreksi serta meluruskan kekeliruan putusan yang diputus pengadilan tingkat pertama.[5]

Legal argument is the reason that can be used to amplify or reject an opinion, establishment, or ideas (Sudarsono,1992:32). Arguments occur at the judges deliberation before deciding a case, both judex juris and judex facti. Issues raised is how well suited the judex juris legal arguments in deciding cassation on the basis Dissenting Opinion on article 14 of Law No. 48 Year 2009 regarding Judicial Power in conjunction with Article 30 of Law No. 5 of 2004 on the Amendment of the Act No. 14 Year 1985 regarding the Supreme Court and the Code of Criminal Procedure (Criminal Procedure Code). This research is a descriptive normative law. The data used is secondary data in the form of primary legal materials and secondary law. The data collection technique used is the study of documents and literature studies, research instrument is a Decision Number 791 K / Pid / 2013. The analysis technique used is the deductive syllogism. A decision shall be made by the judge dissent (Dissenting opinion) in case Number: 791 K / Pid / 2013 should correspond to existing provisions, namely Article 182 paragraph (6) Criminal Procedure Code by taking a decision by a majority vote because not achieved consensus. Moreover such decision should comply with the provisions of Article of Law No. 5 of 2005 concerning amendments to the Law No. 14 Year 1985 regarding the Supreme Court in conjunction with Law No. 48 Year 2009 regarding Judicial Power as the fulfillment of the reasons the appeal filed and the exclusion of consideration of the judge and the judge consideration different opinions.

Keywords: Dissenting opinion, judicial power,fraud.

%PDF-1.7 %µµµµ 1 0 obj <>/Metadata 597 0 R/ViewerPreferences 598 0 R>> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <>/ExtGState<>/XObject<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/MediaBox[ 0 0 612 792] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 0>> endobj 4 0 obj <> stream xœ½\Ko$·¾Ðè£m@->›ÝÀb ÍHrÄ€ÈÁðAY¯7{ð®ã(‡üûðUd±HöÌhZ6l�¦‡¯ªúêÁ*²oïþxùôëóû—áݻۻ——ç÷ÿúðËðÓíÓ—ß¾}úßïnxþøéóó˧/Ÿoüï?_Ü£¿|xþåûݰ¿?ÿ¾¾b#sÿ,\l˜ìÿÍ"†?>\_ýã›áóõÕþéúêö‘œO¿^_qÛˆ î«•m;óqž~³m¾ýÑÿcÇ>úosüöíõÕO_ _ÿ<<ýõúêÁŽö÷ë«ãÓÚFÃÃ÷‡á¶CâþËËË—ßúT>~ùò²•bœ=�ž´(òý5›G1(1òANƒÐchôë7~÷«ÔƒÒv^mŒÌ~ð�sR£@�¸*èÑ|¹4…íáHânI<�Ä™¬ˆzýTÒŒÜô¦"ܳÿ:V3=Lj\Ì<ÈÅN¨-ãíÿwn"�Í$–!ü=ÙUë»ý~-b±pέíú§á½Cëw¿=ü`¥}ÿe8Iz�JYdq«Öܳ‡`äcâ~w3ÛO=ïnŒûÔ;ÿ•‡¯J…ŸÕãNÛ&wRØO¹ìæÉ=žCëØiÚù!Ì.þvÙûãaÇyèÌê¬E16·SªÐÌò9üß%ßq‰º¡ög½Ã*!—Q˜>«¸zÝDªšH©qš;5ôA#€Æ†N£;¢—ó8·E¯w7Ëø.~vB¢ç€„Ø9d¬|Œ ¶»‘¡¹vâ*N3y�¤Qõ,IyŽR <8ô:'¼™€·ˆ°ØÈì0=Žiä)ŽÆP:R¿>®öeá'?¬<®ÅT¨8M^•—Tl\:⢨ð®g¸ýÁ9�ïßÝìLObÑ/ZìzÅ0Mf”•3¹LÍèD–݉,^œ$¤öâ.‹ÿ”0‰ÙgF¤57&âÌËÇ Ú=ÿádgà MÄCsÔ×Ò¨)�bãdVh¼Os‹ ZOÐ>.×Úd®ñz¥NôX궑ƒ´æŽÿ ò–>’èÎSH4þ b1þÏHu)9@ �~Éþ+Ñ@:ô‚ñD²\"¹]ŒæØê6xš,Ô­¥×Mb‘é{ädO�(q�;‹Å'„«ÎÐü¹FOQŸmÕÁkÙúlˆÓJQù…ªßŽšr° "�X8ÀX¼˜BäÇÛHZ1Š>‰›AJ1ËJyœ—Q �Ñ’€Ø“¡kêÂ#Ø�M Q+Æļ�zԭФXÇZ ¿€õ,ÍÀ>¡ÆA…ã†Æ0ýÉØ” }ªD�ï &+±�d[ˆíIgÉ;ûßÁ”ÑÞG¶shWfÃÿ]™�ÁïÜz.CËIÆ»õà€_ºÍT3s‚jË«›üøûóç´qû·çχ¯>ýróÝý×g.GU.E°Ñê€ $Ì«V#/YMf1‹Ñò†Éqib9Þm‡|�j�»pö[�ôïýž†$i}ˆVÜ5ÒA´ñ1èQâÔ%ÄU’—z¹ìPw ¯õH^ÏæôÕd5˜ÎœÝT³3kum„ËQ4#× ·Úo ‚ЂÊê``�8ívi}™æb™Ù=ÄÒYæQ&Íqö�qé%Ëo-�Þ+ûÍ*W)ãQõ^.eqLhi=¹¬NŸÇ–¡Òí:Õ�Ûyú]g¡e<óÞëPXT%É `ûÐßJ%tÌc¡FNl&~>æQÕ¾jõXÏ©ÂrrC§Ý:+wÐü»b¨8™–ñÓTë6™h4ø¿+J=eˆ-v¿Îãöý¦$—ò2|õ³Ì‰ûÓ»’i�e†§Þ½ù¿ç:Š �IãÐ “ãŒk—¡Éhj¡F?ä� ”š�ˆ"â+R|\i( Æá‰ç®x¸Ì× #¿ê».½\Ø~ÇC°É�¥†i�P‘yâföÇ!þç‚�û€¸¿Ù!¤äxÜ…pØ“o¢­MÀîbn¡·ƒŒP£–-ÈÀ:‰*Ü#Șbí7jÁJjÀõãÊÁ@ãæ, l2î YUPàhð�¸ ËÃO¸åÝ£ïçvÊ!µ†í 4Îö1P0¥„/¸?:1«¡[ÛÌÌ¥bÑ•­ê`Ÿ¥Ø6"ƱnjØÐׯ^Aøê—SØM$2�‘¨¶C!›GÓB!À-é.P»ÏÆ\zPKbTkE!‘hPÁk´´ñ*�¹ÐWm+º…KÎ}ºô- ý¸”)r”ç@D(`ÈRJÅ#–“º|¬e‘q…GÏÞ<.ÙÜ"c2,»ÏØóHà!dÁèG6”ºš¦U]«…¹Hÿ-ü¯ZDÆD¥%!º^9CË�Øty@†Z�—ZüÞ:`pV ³î…¶Y÷–„@’yÏ6˜Ëÿ""½"ƒ£ä+6š Ñ4vHÝÑÔɪ쌥xؙəåì£:9ã œnÓEŽ:�ÄEñ‰A —Õß�3’^ ¸ ü-Ï}ó˜ƒ�P¤�®%Ú%ýÐ¥úÃ�`='F¨„v>49΃œÙœªÄžô:ú°ÿàºò=ênÝKsíÁëd×zAÚ‚X†öP¥gŒªí<²š¸³’'Ä…Ôà ·ô(L¢)ÄzºýöÈâ·£´ª2J=L[”¦Ì#»§Àÿô ’z|œÅ¾MP -ÏÍ ë_›–nLä³øܑ݉„-JÑG.æZBmR™ÈòsÓ‹Yf”ÑIS3”õÙ[¥Û|KÛÀÚ'¿Qƒ)LmMc3H_Jbòþ²�EÎ7NìG+ÍÙ Ëð=ï¢Y± åÙ2‘-ÚC1\NE—[Y:>çÙ’†±Å=ÅÙÀ¢s ¥™4%ðr‹Þnú—{ŒäF2éÉ›/§ìÈñ +T±Æ´“¹qŒJN8® Ú62»F»zZ>ÔF 6âmDGäbc­7 CäbúZÐHáðS6þ<í¥)âɦœ +[é&Ï]�/·`Tí#0â¾7/æÉ¡ƒgãŠkD¼Î*pFÓ.�:,Ò5ÎPå“«43Õv†UÎvÒK$väˆ 9¥šˆ7ß8±CË ©èó85l±xŠöÕŠNžŒ¦ë A\ö¯j‘EñŠ¤Ö½ÓmË�‘RAl)­m@ý±‘>l $+£@š@›äÈßÆzMº 5ˆÍ:é¾"']lÃ-S-/§Ð¦<‰O]àØ?‹Ô?‡ÄËùO4,PX‰ÝpDÛ©Rµê�Âzvü¢*™Ÿ¢¬‚€#† ­4|h5Ù&º)sÙ„˜2£ gI €Ÿ”»vÈI¸äȶT‹5£�@€�PÜ�¡D.Dw_›š«{ gÝ]äfÙ Äæzwµgš‡§÷A3Ùv0nÌ(úÄ)áÈ_]KÃØç©’¥^·«Z䪢gl/q³¡På ý$wlˆ¬²w$(h£Õ^\‚ËNB�º/Í*Ô‡ošz*ù(ß"æ�ʺ˜F̱'&«D!§ž² ¹’�uó¬BF`‡`Ç«!#_DíŠVæð uú$´P-è:6w¦'®-Gy¥cKë%Ñö¾X'Ž„ ¼vHõͨ¨ÆÙ×£šß(�%ù<²Ö¡ò#E©î3©àËSË*³ZnˆS±£¥¶>hO0SÃ�CJj¹Pôg£ã´k) �<öñˆS±„jk‚Ó&¾¨ _’fØ_ä»#©9²‚Sf$¨–‘¯‡ŽÎ¢5±,îӛĸLŒ¢´SÝ”ª²R-¦4ÏyUhÓ9Ó¥[Þ‡•»áú„ÇÃVga–ÉÅw=^‡hò¬·ÿ,É%‰ä.]A­qvêÇxWÚ;˜+RÀ9ÆÞÑ^,Ô�N¬ò½dZ´Øœ Ÿ¨Z×ø,1À·óÜbžœ‘îŸ;èò�éðÚ : ×�Û8‘‡‡Ìý½ëÄ?x¿F…+É ¾ÀðÆ‘›9Îq¨fι„2ßI¨§�å®~Ý:Lõ'•Çºbߺ<Ö�¨Kh_&ãÎÛ½…‘†�ª™ÉXIL@q–­•tIQN_Ÿ\Oožý2zm¥ŠúõÛãKéŽÏuº¾¤Ý|®M´Š¯£‚MEûcÂM¥z8BÑ¿4 ´p!ë›àW+ç.;éSÂŽñà‘ÓÞ¸­�(�áŠ×bk‡R¨ÖA ÿÄŠ­ÖR„.Xõ至ÙrÒ¨­,§6î2TW¦Ø»Ô‹[?e•nó€{Xu/§™ß"Þ‡¦ûù:”®§V�„‚9 Ô ,H¾$øwR±mƒÔ;§]æã[ÇNÍ>ÍWÅ,ÉW)VžßíViZ…’n

Dalam hukum Indonesia, judex facti dan judex juris adalah dua tingkatan peradilan di Indonesia berdasarkan cara mengambil keputusan. Peradilan Indonesia terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi adalah judex facti, yang berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Judex facti memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut. Mahkamah Agung adalah judex juris, hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak memeriksa fakta dari perkaranya.

Kedua istilah ini berasal dari bahasa Latin. Judex facti berarti "hakim-hakim [yang memeriksa] fakta", sedangkan judex juris berarti "hakim-hakim [yang memeriksa] hukum". Kedua kata ini juga kadang-kadang salah dieja "judex factie" dan kadang "judex jurist".

Umumnya, Pengadilan Negeri yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota adalah pengadilan pertama yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara, dan bertindak sebagai judex facti. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan banding terhadap perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri, dan memeriksa perkara secara de novo. Artinya, Pengadilan Tinggi memeriksa ulang bukti-bukti dan fakta yang ada. Dengan ini, Pengadilan Tinggi juga termasuk judex facti.

Pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Mahkamah Agung tidak lagi memeriksa fakta dan bukti-bukti perkara. Mahkamah Agung hanya memeriksa interpretasi, konstruksi dan penerapan hukum terhadap fakta yang sudah ditentukan oleh judex facti. Karena ini, Mahkamah Agung disebut judex juris.

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.